Zakharia dan Elisabet: Menebar Simpati dan Empati

Setiap keturunan langsung dari Harun otomatis mengemban tugas istimewa sebagai imam yang melayani Allah di Bait Suci. Karena aturan tersebut, tidak heran kalau pada saat itu ada banyak sekali imam. Salah satunya adalah Zakharia, keturunan Harun dari rombongan Abia.

Mereka dibagi ke dalam 24 sektor untuk bertugas bergantian, khusus pada hari raya keagamaan seperti Hari Raya Pentakosta atau Hari Raya Tabernakel. Semua imam itu bertugas bersama-sama. Setiap sektor melayani dua kali dalam setahun. Masing-masing 1 minggu.

Bagi para imam, melayani Allah di Bait Suci adalah saat yang ditunggu-tunggu. Masa terpenting dalam hidup mereka. Bila tiba gilirannya, mereka akan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Begitu pula Zakharia, yang hari itu mendapat tugas untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar ukupan.

Zakharia dan Elisabet

Zakharia menikah dengan Elisabet, wanita yang juga keturunan Harun. Sebagai seorang imam, menikahi wanita yang sama-sama berasal dari keturunan Harun adalah sebuah kehormatan besar. Sebab itu berarti ia akan sanggup memertahankan kemurnian darah keturunannya.

Keturunan? Iya, betul keturunan. Tapi sayang sekali, justru itulah yang tidak dimiliki Zakharia dan Elisabet. Dalam usia tua, mereka belum juga dikaruniai anak. Sungguh sebuah kenyataan yang pahit.

Bagi masyarakat Yahudi, tidak memiliki keturunan adalah sebuah aib. Seseorang bisa dikucilkan karena tidak mempunyai anak. Perceraian dimungkinkan terjadi di antara pasangan suami istri yang tidak memiliki keturunan. Ketiadaan keturunan juga bisa menjadi alasan bagi seorang suami untuk memeristri wanita lain. Bandingkan kisah Abraham dalam Kejadian 16.

Oleh karena itu, kesempatan berada di dalam Bait Suci tidak disia-siakan oleh Zakharia. Ia yang selama ini secara tekun berdoa dalam pengharapan untuk mendapatkan anak, tentu akan menggunakan kesempatan itu untuk membawa permohonannya kepada Allah yang dilayani dan disembahnya.

Namun, ketika doanya dijawab oleh Tuhan melalui berita Malaikat Gabriel, Zakharia justru tidak percaya. Ia bertanya, "Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya" (Lukas 1:18). Zakharia lalu meminta tanda untuk dapat memercayai berita itu. Sebagai akibatnya, ia pun harus menuai apa yang ditaburnya. Keraguannya menyebabkan ia menjadi bisu. Tidak lama kemudian, apa yang disampaikan oleh Malaikat Gabriel menjadi kenyataan. Elisabet mengandung. Zakharia tentu sangat bersukacita.

Selanjutnya, fokus beralih pada Elisabet. Ketika kandungan Elisabet memasuki bulan ke-6, Maria, kerabatnya dari Nazaret, berkunjung ke kotanya di Yudea. Yang menakjubkan bagi Elisabet, sesaat ketika ia melihat Maria muncul di hadapannya dan memberi salam, ia merasakan tiba-tiba anak dalam kandungannya melonjak kegirangan.

Elisabet dipenuhi Roh Kudus dan ia pun berkata kepada Maria, "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana" (Lukas 1:42-45). Episode ini kemudian ditutup dengan nyanyian Maria.

Salah satu kekhasan Injil Lukas adalah gaya penceritaannya yang sederhana. Pun bila itu berkenaan dengan peristiwa besar atau tidak biasa. Misalnya, ketika Maria menerima kabar dari malaikat tentang kehamilannya (Lukas 1:26-38), atau ketika Maria melahirkan di kandang ternak (Lukas 2:1-7). Kedua peristiwa itu diceritakan dengan sangat "mulus", seolah tanpa riak pergumulan. Begitu juga pertemuan antara Maria dengan Elisabet dan Zakharia.

Wajar saja, sebab Lukas tidak hendak berkhotbah. Ia hendak bercerita, bahwa Sang Juru Selamat dunia yang dinanti-nantikan itu telah lahir. Dan betapa Allah sendiri yang turun tangan memuluskan kelahiran-Nya. Karena itu, bagi Lukas, kedalaman makna tidaklah begitu dipentingkan. Sebab yang lebih utama adalah fakta.

Dalam praktik, perihal pertemuan Maria dengan Elisabet dan Zakharia seperti juga perihal pergumulan batin Maria ketika mendengar berita kehamilannya dan perihal kelahiran Yesus di kandang ternak tentunya tidak "semulus" dan "sesederhana" yang ditampakkan dalam teks. Ada luapan emosi dan pergumulan batin yang dalam. Sebab bagaimanapun juga, peristiwa yang mereka hadapi itu bukan peristiwa biasa.

Secara manusiawi, Zakharia dan Elisabet punya alasan untuk memberondong Maria dengan seribu satu pertanyaan dan nasihat bernada curiga bagaimana mungkin seorang gadis baik-baik seperti Maria hamil sebelum menikah? Sungguh memalukan. Ini akan mencoreng nama baik keluarga besar mereka. Dan sebagainya.

Namun, sikap negatif itu tidak mereka tunjukkan. Sebaliknya, Elisabet dan Zakharia mendengarkan cerita Maria dengan empati dan simpati. Jauh dari sikap menghakimi atau pun mencemooh. Mungkin saja mereka tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi pada Maria, tapi toh mereka percaya dan berusaha memahami. Sikap demikian itu sudah lebih dari cukup bagi Maria membuatnya merasa tidak "sendirian" lagi. Dukungan dari orang yang dekat dalam pergumulan yang berat itu bagaikan oase di padang gersang.

Sebagai kerabat, Maria dan Elisabet tampaknya memiliki relasi sangat dekat. Itulah sebabnya ketika Maria harus mengalami kejadian "monumental", yang diingatnya adalah Elisabet. Betul bahwa Maria sudah rela untuk taat kepada kehendak Tuhan mengandung Sang Bayi itu tapi bagaimanapun, secara manusiawi wajar kalau ia tetap merasa gentar. Ia membutuhkan orang terdekat untuk berbagi cerita. Mencurahkan segala beban berat yang menindih dalam hati.

Selain memberitahu Maria bahwa ia akan mengandung, malaikat juga menyebut nama Elisabet. Elisabet adalah bukti, tidak ada yang mustahil bagi Allah. Jika Allah menghendaki, akan terjadilah demikian. Tidak ada yang dapat menghalangi Allah untuk menyatakan kehendak-Nya.

Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. Memiliki keluarga, saudara, dan kerabat selalu menyenangkan. Apalagi kalau mereka bertindak sebagai kawan seiring dan sejalan dalam pergumulan, sahabat yang bisa mengerti dan memahami kondisi yang kita hadapi.

Elisabet adalah bukti, tidak ada yang mustahil bagi Allah. Jika Allah menghendaki, akan terjadilah demikian.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Memiliki orang seperti itu tentu akan memudahkan hidup kita, meringankan langkah kita, menjadikan kita lebih percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan. Zakharia dan Elisabet menjadi orang yang demikian bagi Maria.

Berita Natal adalah berita tentang simpati dan empati. Berita tentang persahabatan dan kasih sayang. Ketika hati kita tergerak akan penderitaan orang lain, mau menjadi sahabat bagi mereka, membalut luka mereka, merasakan segala kegetiran dan kesedihan mereka, dan menerima mereka apa adanya tanpa menghakimi.

Di sekeliling kita, ada banyak orang yang membutuhkan empati dan simpati. Mereka memerlukan orang yang mau menolong dan menopang. Entah mereka yang hidup dalam kesepian di masa tua, mereka yang kehilangan kasih sayang orang tua di panti-panti asuhan, atau mereka yang "sendirian" hidup dalam belenggu masa lalu yang kelam dan suram.

Mereka mungkin tidak membutuhkan belas kasihan kita. Tapi mereka membutuhkan pelukan persahabatan, pengertian, dan penerimaan. Marilah kita nyatakan empati dan simpati kita kepada mereka. Dengan begitu, kita telah menunjukkan bahwa Kristus telah lahir di hati kita dan Kristus terlihat dalam hidup kita.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku : Penggenapan Pengharapan
Penulis : Ayub Yahya
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta 2007
Halaman : 17 -- 23