Hindu

Hindu mulai berpengaruh pada sekitar 2000 SM ketika bangsa Arya yang sangat maju saat itu, menaklukkan bangsa yang tinggal di Lembah Indus. Bangsa Arya membawa serta agamanya ke daerah yang ditaklukkan. Agama tersebut merupakan agama nyanyian pujian, doa, dan kidung yang ditulis pada apa yang saat ini disebut kitab Weda. Kitab Weda dianggap sebagai "pewahyuan" dan disakralkan oleh orang Hindu, sesakral Alkitab bagi orang Kristen.

Ada banyak dewa yang disebutkan dalam kitab Weda. Dewa-dewa itu mengingatkan kita pada para dewa dan dewi dalam mitologi Yunani dan Romawi. Layaknya bangsa kuno lain, bangsa Arya percaya bahwa dewa dan dewi tersebut dapat menyebabkan kematian dan bencana. Jadi, inti dari agama mereka adalah untuk membuat para dewa senang.

Dalam sistem agama Hindu, ada sebuah golongan yang disebut Brahmana, golongan orang-orang yang menjalankan tugas sebagai pendeta. Golongan Brahmana menjadi semakin kuat sampai mereka berada di kelas sosial tertinggi. Mereka menambahkan banyak tulisan di kitab Weda yang mereka sebut Brahmana. Tulisan-tulisan tersebut menguraikan ritual pengorbanan dengan rinci.

Pada sekitar 500 SM, kitab Weda masih ditambahi dengan banyak tulisan. Tujuannya adalah untuk membuat sebuah sistem kelas yang jelas. Sebuah himne menyatakan bagaimana empat kelas masyarakat berasal dari kepala, lengan, paha, dan kaki dewa pencipta -- Brahma. Empat kelas masyarakat tersebut adalah Brahmana (pendeta); Ksatria (pejuang dan bangsawan); Waisya (petani); dan Sudra (budak). Tiga kelas pertama dapat memeroleh segala keuntungan yang ditawarkan oleh agama Hindu, namun tidak demikian dengan kelas terendah, Sudra. Mereka yang termasuk kelas Sudra bahkan tidak diperbolehkan mendengar kitab Weda atau menggunakannya untuk berusaha mencari keselamatan.

Empat Tahap dan Empat Tujuan dalam Kehidupan Hindu

Kitab Weda menyajikan sebuah sistem yang rinci mengenai bagaimana tiga kelas masyarakat tertinggi yang beruntung itu memeroleh keselamatan. Pertama-tama, setiap bocah laki-laki dalam agama Hindu ditasbihkan (menurut sistem ini, gadis dianggap tidak pantas). Bocah laki-laki itu kemudian dianggap sebagai orang yang telah "terlahir kembali". Ia kemudian harus melalui empat tahap kehidupan: (1) pelajar; (2) kepala rumah tangga dengan istri dan anak-anak; (3) pertapa yang berusaha mencari wahyu; (4) pengembara yang telah meninggalkan segala hal duniawi.

Ia diberi empat tujuan dalam hidup, yakni untuk menjadi orang yang budiman dan saleh; memiliki materi; menikmati hidup melalui kasih, kesenangan, dan apresiasi keindahan; serta untuk mengalami kemenangan rohani dalam hidup.

Kitab Upanishad, yang disusun antara tahun 800 dan 300 SM menyatakan cara lain untuk seseorang dapat memeroleh keselamatan. Kitab ini, yang juga disakralkan oleh orang Hindu, berisi pandangan dunia yang benar-benar asing bagi pikiran dunia barat.

Kitab Upanishad mengajarkan bahwa di luar dunia ini, "brahmanatman"lah (sesuatu seperti Allah) satu-satunya yang benar-benar ada dan berarti. Apa yang manusia lihat, dunia ruang, dan waktu adalah maya. Maya sifatnya hanya sementara dan tidak memiliki makna yang nyata. Namun, semua yang hidup dan bernapas memiliki "atman" atau jiwa yang merupakan bagian dari "paramatman" atau dunia arwah. Setiap "atman", saat berada dalam dunia maya, mencoba untuk kembali ke "paramatman".

Reinkarnasi pada Akhirnya Berujung ke Nirwana

Kitab Upanishad menyatakan bahwa jalan satu-satunya bagi "atman" untuk kembali ke asalnya adalah melalui "punar-janman" atau reinkarnasi. "Atman" (jiwa) seseorang mungkin berawal dari cacing, kemudian melalui kematian dan kelahiran kembali, jiwa itu menjadi sesuatu yang lebih tinggi derajatnya sampai menjadi manusia. Saat "atman" menjadi manusia, "atman" itu harus tumbuh dengan mencapai kelas sosial yang lebih tinggi. Manusia mencapai kelas sosial yang lebih tinggi dengan mengikuti darmanya -- tugasnya untuk melakukan sesuatu hal tertentu sesuai dengan kelasnya. Tugas tersebut meliputi tugas moral, sosial, dan agama -- ketiganya sangat penting dalam agama Hindu.

Cara lain untuk membebaskan jiwa adalah melalui yoga -- kedisiplinan yang menahan hasrat jasmani di bawah penguasaan diri sehingga "atman" dapat lolos dari lingkaran kematian dan kelahiran kembali untuk kemudian bergabung ke "paramatman" (dunia arwah).

Sekalinya "atman" dapat masuk ke "paramatman" (kenyataan yang sebenarnya), maka "atman" tersebut telah diterima di nirwana. Kemudian yang ada hanyalah hidup yang lebih tinggi. Ia berhasil masuk ke dalam keabadian.

Orang Hindu Meyakini Dunia Ini Tidak Bermakna

Kesimpulannya, orang Hindu meyakini bahwa dunia ini tidak bermakna karena dunia ini hanya sementara dan satu-satunya realitas adalah sesuatu yang dapat ia lihat sekilas melalui disiplin dan meditasi yang intensif. Mereka percaya bahwa jiwa mereka telah melalui lingkaran kelahiran, kematian, kelahiran kembali yang panjang dan akan terus begitu sampai menemukan kelepasan di nirwana (keabadian). Orang Hindu percaya bahwa Upanishad memberi mereka hikmat yang mereka perlukan untuk menolak dunia agar jiwanya dapat mencapai "paramatman" yang kekal.

Ajaran Upanishad masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap pemikiran para guru agama Hindu, khususnya mereka yang memiliki filosofi Weda. Meski kepopulerannya tahan lama, ajaran Upanishad juga mendapat kritik. Sebut saja kaum Brahmana, yang berpikir bahwa jiwa dapat dibebaskan untuk pergi ke nirwana hanya jika ia sudah mencapai kelas Brahmana. Artinya, sebagian besar masyarakat India yang miskin dan buta huruf (tidak dapat membaca Upanishad) akan ada dalam lingkaran reinkarnasi (samsara) -- kematian dan kelahiran kembali -- selamanya. Pandangan ini ditentang oleh Budha Gautama pada 500 SM yang mulai mengajarkan "jalan tengah" keselamatan. Budhaisme menghilang di India pada sekitar 1000 M saat bentuk baru Hinduisme muncul.

Hinduisme "populer" ini dengan cepat mengambil hati umatnya. Literatur baru muncul, misalnya syair kepahlawanan yang panjang, Ramayana dan Mahabarata. Muncul juga Bagawad-Gita atau "kidung dewa" yang menggambarkan jalan keselamatan melalui penyembahan terhadap dewa Krisna. Muncul juga Purana yang berisi kisah erotis tentang dewa-dewa yang sangat populer di kalangan orang-orang Hindu yang tinggal di desa.

Ada sekitar 330 juta dewa dalam Hinduisme yang baru -- sekitar satu dewa untuk setiap Hindu. Sekitar 200 juta orang menyembah dewa Wisnu dan meyakini bahwa ia menyatakan dirinya kepada orang Hindu setidaknya sepuluh kali. Dewa Wisnu pernah menyatakan diri dalam wujud kura-kura raksasa, Budha Gautama, serta Rama dan Krisna -- dua figur sentral dalam syair kepahlawanan. Jutaan lainnya menyembah Siwa, dewa kesuburan, yang ritual penyembahannya sejahat bangsa Kanaan -- bangsa yang dihancurkan oleh bangsa Israel atas perintah Allah.

Hinduisme ini mengajarkan bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui salah satu dari tiga cara, yakni dengan menjalankan darma atau tugas; pengetahuan yang diajarkan Upanishad; dan pengabdian kepada salah satu dewa, misalnya Wisnu atau Siwa. Cara yang terakhir adalah cara yang paling banyak digunakan orang-orang dari kelas bawah (mayoritas orang India) karena cara itu menawarkan kemudahan bagi jiwa mereka untuk mencapai kelas yang lebih tinggi, dan akhirnya nirwana.

Menurut cara pemikiran Barat, Hindusme terdengar seperti kesemrawutan yang sia-sia. Penuh dengan perubahan, tambahan, dan kontradiksi. Segala usaha untuk memahaminya secara logis adalah seperti memerbaiki komputer dengan mata tertutup. Namun, orang India mengabaikan kompleksitas Hinduisme karena agama tersebut telah tumbuh bersama mereka sejak awal sejarah mereka. Agama Hindu melekat dalam budaya mereka, bahkan dalam mimpi pun mereka tidak akan meragukannya.

Itulah yang membuat kekristenan tidak terlalu berdampak terhadap orang Hindu. Meskipun ada juga yang menerima Kristus dengan sukacita, namun sebagian besar menolak Injil karena Kristen nampak begitu erat dengan budaya Barat yang asing.

Bentuk baru Hinduisme telah menyerap gagasan-gagasan tertentu dari agama Kristen. Vedanta adalah contoh yang baik. Menurut Vedanta, dewa pencipta, Brahma, telah banyak kali menginkarnasi diri menjadi manusia dan akan terus berinkarnasi. Kristus, Budha, Krisna, dan sebagainya, diyakini sebagai inkarnasi dari dewa Brahma, yang oleh orang Hindu disebut juga sebagai inkarnasi juru selamat.

Pengikut Vedanta percaya bahwa inkarnasi Brahma yang terkini adalah Sri Ramakrisna yang tinggal di Bengala sekitar akhir abad ke-19. Pengikutnya mengatakan bahwa ia mempraktikkan semua disiplin rohani Hinduisme, Kristen, dan Islam, serta menerima visi Allah dalam setiap agama itu. Oleh karena itu, ia dapat berkata, "Kebenaran itu satu; orang yang berhikmat menyebutnya dengan beragam nama." Ramakrisna sering kali berkata, "Banyak kepercayaan memiliki jalan yang berbeda, namun semuanya menuju pada satu realitas, Allah."

Maka dari itu, Vedanta bersahabat dengan semua agama. Aldous Huxley, penulis Brave New World dan salah satu pengikut setia Vedanta, berkata, "Sangatlah mungkin untuk seseorang tetap menjadi seorang Kristen, Hindu, Budha, atau Islam yang baik dan tetap sepakat pada dasar doktrin filosofi perenial."

Namun apa yang dikatakan Vedanta tentang Yesus Kristus? Swami Prabhavananda mengatakan bahwa seorang Hindu akan mudah menerima Kristus sebagai inkarnasi ilahi dan menyembahnya dengan terang-terangan sebagaimana layaknya ia menyembah Krisna atau inkarnasi (guru) lain yang ingin ia sembah. Namun, ia tidak dapat menerima Kristus sebagai Putra tunggal Allah ...." (t/Dian)

Diterjemahkan dari:

Judul buku : So What`s the Difference?
Penulis : Jack Durkee, David Harvey, The Rev. H.S. Vigeveno, Georgiana Walker
Penerbit : G/L Publications, California 1967
Halaman : 94 -- 100

e-JEMMi 27/2008