Situasi Kultural-Religius di Asia dalam Terang Firman Allah

Kebudayaan dan agama erat sekali hubungannya. Bahkan, seringkali sangat sulit dipisahkan. Oleh sebab itu, agar dapat mengerti dan memberikan evaluasi terhadap kebudayaan-kebudayaan Asia, maka kita harus mengetahui lebih dahulu agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan orang Asia. Kita tentu tahu bahwa semua agama besar di dunia berasal dari Asia, seperti: Hindu, Budha, Islam, Kung-Fu Tze, Shinto, dan Kristen. Agama-agama tersebut bertemu bersama dalam situasi kebudayaan Asia yang diselubungi oleh kepercayaan dinamisme dan animisme. Selain itu, dalam pertumbuhannya, agama-agama ini saling bersaing dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Bagi para utusan Injil lintas-budaya, harus bersedia mempelajari kebudayaan masyarakat yang akan dilayani. Ini penting, agar mereka dapat menentukan unsur-unsur mana dalam kebudayaan masyarakat tersebut yang bersifat netral, mana yang melawan atau bertentangan dengan Alkitab, dan mana yang sesuai dengan Alkitab. Sebab, memang tidak ada satu pun kebudayaan di dunia ini yang dapat dikemukakan sebagai contoh kebudayaan yang Alkitabiah. Setiap kebudayaan bangsa yang diperhadapkan kepada Injil, pasti mengalami koreksi, penyucian, dan perombakan.

Setiap utusan Injil yang mengabaikan hal ini, bisa jatuh ke dalam sikap ekstrem, misalnya:

  1. Ia mungkin langsung mengambil orang-orang yang baru bertobat itu dari lingkungan kebudayaannya. Akibatnya, mereka tidak punya kesempatan bersaksi di lingkungannya yang lama.

  2. Mungkin langsung memakai kebudayaan setempat sebagai sarana pekabaran Injil tanpa melihat bahwa kebudayaan tersebut memiliki unsur-unsur yang bertentangan dengan Injil. Misalnya: Pemakaian sarana wayang untuk pekabaran Injil. Ini memang baik, tetapi kalau si utusan Injil tidak tahu bahwa dalam wayang sendiri ada unsur-unsur magis religiusnya, maka bisa jadi pekabaran Injil bertabrakan dengan pemanggilan roh-roh halus.

Sebaiknya, orang-orang setempat yang sudah diubahkan hidupnya karena percaya kepada Tuhan Yesus, benar-benar dibimbing untuk mempelajari Alkitab dengan baik, sehingga dengan demikian mereka akan mampu untuk menentukan sendiri unsur-unsur kebudayaannya, mana yang masih bisa dipertahankan dan mana yang harus dibuang atau ditinggalkan. Utusan Injil dari daerah atau negara lain, tentu sulit untuk melakukan hal tersebut, karena mereka tidak bisa menyelami kebudayaan setempat secara tepat.

Unsur-unsur Kebudayaan Asia yang Bersifat Umum

Kedudukan Manusia Sebagai Satu Oknum yang Berpribadi

Pada umumnya, manusia sebagai pribadi di Asia, tenggelam atau hilang dalam masyarakatnya karena kuatnya tradisi dan kebudayaan yang mengelilinginya. Tanggung jawab dan hak pribadinya terhanyut dalam air bah masyarakat serta kebudayaannya.

Melalui komunikasi Injil, setiap "manusia" dipanggil secara pribadi oleh Sang Pencipta. Panggilan ini merupakan panggilan keselamatan. Bila ia menjawab "ya" terhadap panggilan-Nya, maka "ia" menemukan kepribadiannya sendiri. Kepribadian tersebut adalah kepribadian yang dikuasai dosa dan yang membutuhkan kemerdekaan dari dosa tersebut.

Bila jawaban "ya" tadi disertai dengan kerinduan dan kesediaannya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, maka "ia" mengalami pembaharuan hidup atau dengan kata lain, mengalami kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus dan Firman Allah (2 Korintus 5:17).

Dalam proses perkembangan selanjutnya, "ia" akan tiba pada suatu masa di mana "ia" sendiri berdiri dan menilai kembali hubungan, serta ikatannya dengan kebudayaannya yang lama. Misalnya pergaulan duniawi; tidak mengindahkan Tuhan; pemujaan atau penyembahan berhala; dan adat-istiadat yang dikuasai iblis. Kemudian, ia mulai sadar bahwa kebudayaannya itu hanyalah ciptaan manusia. Suatu ciptaan yang terutama beroleh tempat dalam hati manusia sendiri atau dalam kata-kata J. Ban Baal, "Kita adalah kebudayaan kita." (J. Zoetmulder, Cultuur Oost an West, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta, dll, hal. 15).

Orang yang baru dilahirkan kembali oleh Roh Kudus membutuhkan waktu untuk menjadi matang dalam imannya dan matang dalam penilaiannya terhadap kebudayaan, mana yang dapat dipertahankan dan mana yang perlu ditinggalkan atau disucikan. Biasanya kematangan tersebut baru dicapai setelah ia sungguh-sungguh mendalami Firman Tuhan (Alkitab) dalam bahasa kebudayaannya. Inilah pentingnya penterjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa di dunia.

Sebagai hasil terbesar dari pengaruh Injil dalam kebudayaan dan peradaban manusia adalah pembentukan manusia sebagai satu pribadi, yang berdiri di hadapan Tuhan dan sesama manusia, serta kebudayaannya dengan penuh tanggung jawab. Mungkin hal inilah yang menjadi dasar kemajuan bangsa-bangsa Eropa yang sudah menerima Injil lebih dahulu. Namun sayang, dalam proses perkembangannya, pengindividuan di Barat sudah terlampau jauh dan bebas, sehingga individu menjadi tujuan. Dengan demikian kehilangan kepribadian Kristen yang Alkitabiah.

Sebagian utusan Injil Barat seringkali dengan tidak sadar telah memamerkan keindividuannya. Mereka kurang menghargai kepribadian Kristen Asia yang bersifat gotong royong, toleran, serta memiliki ikatan kekeluargaan yang mesra. Yang penting seharusnya adalah berusaha menemukan keseimbangan antara individu, keluarga, masyarakat, serta kebudayaan. Misalnya: Orang yang menjadi Kristen tetap setia ikut dalam kerja bakti desa. Artinya, saling tolong-menolong dan tetap memberi sumbangan untuk desa. Bahkan, orang Kristen seharusnya lebih baik daripada orang yang belum menerima Kristus.

Di sinilah tugas utusan Injil lintas-budaya. Ia perlu memelihara dan menolong orang Kristen baru di dalam hubungan dengan kebudayaannya dan tidak mengeluarkannya dari ikatan kebudayaan tersebut. Selain itu, seorang penginjil tidak menyodorkan syarat-syarat atau cara-cara kekristenan yang terikat kepada kebudayaannya. Dalam hal ini, hikmat Tuhan dalam Roh Kudus sebagai Maha Guru untuk menyaring, sangat dibutuhkan.

Dalam hubungannya dengan kebudayaan, pertobatan secara marga atau keluarga, seperti pertobatan Kornelius dalam Kisah Para Rasul pasal 10, lebih menguntungkan daripada pertobatan individu. Ini disebabkan dalam pertobatan individu, kadang-kadang terjadi pengucilan. Si petobat baru dikucilkan dari keluarga atau marganya atau masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini utusan Injil harus menggumulkan dua cara atau kemungkinan untuk:

  1. Membentuk suatu masyarakat Kristen yang cukup kuat, agar dengan kasih dan kerendahan hati, mampu menyaingi kebudayaan-kebudayaan dan ikatan tradisi yang menolak Firman Allah.

    Hal ini "mungkin", bila terjadi pertobatan massal, seperti: marga, desa, people movement yang benar-benar meninggalkan segala adat-istiadat yang bersangkutan dengan penyembahan berhala atau penyembahan menurut agama/kepercayaan yang lama. Contoh: lahirnya Gereja Kristen Injili Sumatera Selatan (GEKISUS) pada tahun 1964.

    Hampir seluruh anggota gereja ini berlatar-belakang Islam. Sebelumnya, siang dan malam selama dua setengah bulan, Injil terus-menerus diberitakan secara terbuka kepada penduduk. Pemberitaan ini diakhiri dengan mengundang mereka untuk bertobat dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya. Undangan ini ternyata disambut oleh sebagian penduduk dengan diikuti pembakaran jimat-jimat, benda-benda berhala, dan penghalauan kuasa-kuasa setan.

    Pada tanggal 16 Agustus 1964, 299 orang dibaptiskan. Mereka berasal dari satu marga yang berdomisili dalam empat desa yang berpenduduk 1000 orang. Ini berarti, 30% penduduk menjadi Kristen. Karena jumlah yang cukup banyak ini, mereka dapat berdiri dan bertahan terhadap celaan, ancaman, dan aniaya dari masyarakat sekitarnya. Demikian juga, kesaksian-kesaksian hidup dari keluarga Kristen baru yang sudah mengalami pembaharuan hidup itu, turut meredakan suasana celaan dan ancaman.

    Pelayanan kasih yang menyusul kemudian, setelah didirikan gereja, sangat menolong posisi kehidupan orang-orang Kristen setempat. SD dan SMP Kristen serta balai kesehatan didirikan. Pelayanan pendidikan dan kesehatan ini didirikan untuk semua golongan dalam masyarakat sebagai pelengkap sarana komunikasi Injil.

    Bentuk-bentuk kebudayaan yang berupa pakaian daerah dan yang bersifat netral masih dipertahankan di sini. Misalnya: mendengarkan firman Tuhan dengan duduk bersila (di rumah-rumah keluarga); makan dengan tangan (tanpa sendok) sesudah dibasuh; dan memakai kain sarung dan kopiah.

    Demikian juga halnya, cara pria dan wanita berjalan masih tetap dipertahankan. Pria dan wanita tidak boleh berjalan berdampingan, meskipun mereka sudah menjadi suami-istri. Suami/pria harus berada di depan sejauh lebih kurang 5 meter, baru kemudian istri/wanita menyusul di belakangnya. Ini merupakan suatu cara untuk menghormati suami/pria. Baru kira-kira setahun kemudian, cara hidup ini dapat diubah, yaitu setelah mereka mengerti Firman Tuhan mengenai kedudukan wanita.

    Dengan cara-cara tersebut di atas, maka agama Kristen bisa bertahan dan berkembang di Sumatera Selatan, khususnya wilayah Bengkulu Selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Semula, semua usaha pelayanan Injil dan pelayanan kasih ini dikerjakan oleh orang-orang Indonesia pribumi. Namun kemudian, menyusullah tenaga-tenaga asing. Ini penting untuk menghindari anggapan bahwa agama Kristen adalah agama Barat.

  2. Menyatakan kehadiran Kristus.
  3. Oleh Anugerah Tuhan Yesus dan hikmat Roh Kudus, Dr. Adriani dan Dr. Kruyt dalam sejarah gereja di Indonesia telah berhasil menempuh cara dan pendekatan ini di Sulawesi Tengah. Kehadiran mereka dalam nama Tuhan Yesus Kristus di tempat itu, telah menunjukkan kehadiran Kristus dalam pengertian, penderitaan, kasih, dan pelayanan. Tentu kehadiran Kristen tidak cukup untuk menerobos dan membongkar kebudayaan lama, adat-istiadat, dan penyembahan berhala yang ditolak oleh Firman Allah. Oleh sebab itu, pemberitaan Injil harus tetap disampaikan secara verbal untuk membawa orang sampai mendapat kesempatan mengambil keputusan, menerima atau menolak Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya.

    Dalam usahanya mencapai orang-orang Poso bagi Kristus, Dr. Kruyt telah menyediakan diri untuk tidak dihormati oleh orang-orang yang dilayaninya. Ia mengadakan kontak, baik dengan para pemimpin masyarakat atau pun dengan masyarakat biasa. Dengan susah payah, Kruyt menjalin hubungan baik dengan mereka. Ia pernah nyaris mati dikeroyok orang-orang yang tak menyukainya.

    Puji Tuhan, ia tidak mundur. Bahkan, ia terus berusaha mencari cara yang tepat agar bisa berkomunikasi baik dengan mereka. Dengan segala tantangan dan penolakan dari masyarakat setempat, ia mendirikan sekolah-sekolah. Kemudian, cara yang rupanya sangat disenangi oleh masyarakat di tempat itu ialah cara pengobatan untuk orang-orang sakit yang diberinya nama "obat-obatan Allah". Cara ini sangat penting untuk perkembangan usaha pekabaran Injil di Sulawesi Tengah, khususnya daerah Poso.

    Dalam kehadirannya, Kruyt harus menghadapi suatu kelompok masyarakat di mana setiap oknumnya tak mungkin mengambil suatu keputusan sendiri, terlepas dari kelompok masyarakatnya. Dalam salah satu suratnya kepada Direktur Gunning, tersirat pernyataan bahwa "... di kalangan orang-orang Poso tidak ada pertobatan pribadi, pertobatan perorangan, seperti yang kita artikan." (J. Kruyt, 1997:11).

    Dr. Adriani, dalam hubungan pelayanannya terhadap orang-orang Poso memperlihatkan kepada kita "bahwa belajar berbicara dan mengerti bahasa para pendengar kita adalah penting untuk pemberitaan Injil yang Sejati." (Ibid, hal. 113). Dalam kehadirannya di antara orang-orang Poso, Adriani telah tekun belajar dari murid-muridnya sendiri dalam membuat cerita yang hidup untuk mengkomunikasikan Injil kepada mereka. Dengan sabar, Ia mengajarkan cerita Alkitab kepada anak-anak, kemudian setelah itu ia meminta mereka menceritakan kembali apa yang sudah mereka dengar. Dari cerita murid-muridnya inilah, kemudian dijadikan bahan untuk membuat karangan-karangan untuk pelayanan Injil.

    Melalui waktu yang cukup panjang, yaitu 17 tahun, akhirnya Kruyt dan Adrian berhasil membaptiskan orang-orang Kristen pertama di Poso, Sulawesi Tengah.

    Pelayanan dalam bentuk kehadiran ini cenderung dipergunakan pada masa kini. Oleh sebab itu, saya sangat setuju dengan pandangan Dr. McGavran yang disampaikan pada konsultasi para misiolog di Selly Oak, Birmingham, tanggal 16 April 1968 yang lalu. Saya menyimpulkan pandangannya sebagai berikut:

    1. Kehadiran diterima sebagai alat dan "bukan" tujuan -- supaya tidak menuju relativisme.

    2. Kehadiran maupun proklamasi cenderung untuk menjadi soal rasio dan intelektual, seolah-olah iman timbul dari diskusi ilmiah.

    3. Kehadiran bukanlah konsep Alkitabiah untuk pekabaran Injil. Para nabi dan rasul serta Tuhan Yesus sendiri tidak pernah menjadi tamu terhormat untuk mendekati agama-agama lain. Kehadiran hanya dapat dipakai dalam situasi-situasi yang sulit, seperti di Tiongkok atau negara-negara lain yang tertutup bagi proklamasi Injil.

    4. Kehadiran adalah jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang Kristen pribumi dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya.

    Kehadiran setiap orang Kristen, termasuk utusan Injil, harus merupakan kehadiran Kristen. Setelah itu, Injil diproklamasikan.

Diambil dari:

Judul Buku : Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah
Judul Artikel: Situasi Kultural-Religius di Asia dalam Terang Firman Allah
Penulis : Dr. P. Octavianus
Penerbit : Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia Departemen Literatur, 1985
Hal : 33 - 39


e-JEMMi 28/2004