Teologi Kebudayaan

Jelas bahwa gereja yang taat kepada Amanat Agung harus melibatkan diri dalam pelayanan lintas budaya dengan memakai kontekstualisasi. Tetapi sebelum kita dapat melaksanakannya dengan tepat, kita seharusnya mengerti teologi kebudayaan, yaitu apa yang diajarkan oleh firman Allah tentang kebudayaan. Bagaimana Allah sendiri memandang keanekaragaman kebudayaan manusia?

Penjelasan yang paling singkat dan saksama terdapat dalam Ikrar Lausanne tahun 1974 (Wagner, tak tertanggal: 173-183). Pada tahun 1974 di Lausanne, Swiss, diadakan suatu konferensi internasional mengenai penginjilan dunia. Tokoh-tokoh Kristen di seluruh dunia, yang dipimpin oleh Dr. Billy Graham, berkumpul untuk bertukar pikiran dan menggumuli berbagai soal berkaitan dengan penginjilan. Sebagai hasilnya mereka menyusun suatu ikrar mengenai penginjilan. Dalam pasal 10 tertulis:

PASAL 10: PEKABARAN INJIL DAN KEBUDAYAAN

"Perkembangan strategi untuk penginjilan dunia menuntut visi dan metode-metode baru. Di bawah bimbingan Allah, akan timbul gereja- gereja yang berakar di dalam Kristus dan erat berhubungan dengan kebudayaannya. Kebudayaan memiliki keindahan dan kebaikan. Namun karena manusia telah jatuh dalam dosa, maka seluruh kebudayaannya dinodai oleh dosa dan sebagian lagi dikuasai roh jahat. Injil tidak menganggap kebudayaan yang satu lebih unggul daripada yang lain, tetapi Injil menilai semua kebudayaan menurut ukuran kebenaran dan keadilannya sendiri, dan menuntut moral yang tinggi dalam setiap kebudayaan. Badan-badan pekabaran Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing bersama dengan Injil, dan gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada kebudayaan daripada Alkitab. Penginjil-penginjil Kristus harus dengan rendah hati mengosongkan dirinya dari segala sesuatu, kecuali keaslian kepribadiannya, untuk menjadi pelayan bagi orang lain, dan gereja-gereja harus berusaha mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu dilakukan demi kemuliaan Allah." (Kejadian 4:21-22; Markus 7:8-9,13; 1 Korintus 4:5, 9:19-23; Filipi 2:5-7)

Ikrar ini sedikitnya memaparkan tiga pokok yang terpenting tentang teologi kebudayaan:

  1. Kebudayaan memiliki dimensi ilahi dan dimensi setan.

  2. Tidak ada suatu kebudayaan yang lebih unggul daripada kebudayaan yang lain.
  3. Kita harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apa pun.

Pertama, pasal 10 ini menjabarkan bahwa kebudayaan memiliki dua dimensi. Keanekaragaman kebudayaan manusia memiliki unsur-unsur positif dan negatif, unsur-unsur ilahi dan setani. Kebudayaan manusia penuh dengan keindahan dan kebaikan, sekaligus dinodai dosa dan dikuasai Iblis.

Kedua, pasal 10 ini mengajarkan bahwa tidak ada "kebudayaan yang lebih unggul daripada yang lain." Sadar atau tidak, pada umumnya, para penginjil cenderung menganggap bahwa kebudayaan mereka lebih baik daripada kebudayaan para penerima. Tetapi menurut firman Allah, kita tidak boleh bermegah tentang adat kita sendiri. Kita hanya boleh bermegah tentang Yesus, Pencipta dan Hakim adat kita!

Ketiga, pasal 10 ini memaparkan bahwa kita harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apa pun. "Badan-badan pekabaran Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing ke dalam Injil dan gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada kebudayaan daripada Alkitab." Kita harus memberitakan Injil semata tanpa tambahan tata ibadah tertentu atau kebudayaan yang berasal dari si pemberita Injil.

Dr. Harvie Conn, ahli misiologi dari Westminster Theological Seminary, menggambarkan proses ini sebagai berikut. Menurutnya kontekstualisasi adalah "seni menabur benih Injil dalam beraneka ragam kebudayaan tanpa membawa potnya" (Conn, 1982:12). Dalam definisi ini, "pot" yang biasanya dibawa si penginjil itu melambangkan kebudayaan, adat, dan tradisinya.

Pokok ketiga ini juga sesuai dengan pendapat Pdt. Dr. P. Octavianus. Ia menyatakan rintangan kebudayaan merupakan penghalang utama bagi penginjilan. Itulah sebabnya, kita harus membawa Injil itu kepada orang yang belum percaya tanpa perlu menambah-nambahi dengan "syarat-syarat atau cara-cara kekristenan yang terikat kepada si utusan Injil" (Octavianus, 1985:35,54).

Kita harus ingat bahwa persoalan "sinkretisme" tidak hanya terjadi kalau kita menyesuaikan diri terlalu banyak sehingga arti Injil menjadi kabur, tetapi juga bila Injil disampaikan bersama dengan kebudayaan si penginjil sehingga dianggap asing oleh para pendengarnya. Hal seperti ini pun dapat menimbulkan masalah "sinkretisme" sebab dalam pemikiran para pendengarnya Injil telah dicampur dengan unsur-unsur asing (dari penginjil) sehingga mengaburkan makna dari Injil itu sendiri.

Diedit dari sumber:

Judul Buku : Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstual
Judul Artikel: Teologi Kebudayaan
Penulis : Budiman R.L., D.Min.
Hal : 10-13

e-JEMMi 27/2004