You are heree-JEMMi No.03 Vol.16/2013 / Las Casas

Las Casas


Zaman Penjelajahan yang dimulai pada akhir abad ke-15 membuka sebuah era baru misi luar negeri bagi Gereja Katolik Roma. Dunia Baru dilihat sebagai lahan ekspansi yang potensial, sehingga baik Paus maupun para pemimpin politik menggebu-gebu dalam melakukan bagian mereka untuk membawa dunia baru tersebut ke bawah kekuasaan Katolik. Ratu Isabella, yang tanpa henti memburu penganut bidah Protestan di Spanyol, menganggap penginjilan kepada orang-orang Indian sebagai pembenaran yang paling utama bagi ekspansi kolonial; dan ia bersikeras bahwa para pendeta dan biarawan harus menjadi bagian dari pendatang pertama yang menetap di Dunia Baru. Golongan Fransiskus dan Dominian (dan nantinya golongan Jesuit) dengan antusias menerima tantangan ini dan dalam hitungan dekade, ajaran Katolik telah menjadi kekuatan yang permanen dan berpengaruh. Kecepatan perkembangan ini dianggap sebagai sesuatu yang fenomenal dalam kekristenan. Pada tahun 1529, seorang misionaris golongan Fransiskus di Meksiko menulis tentang pertobatan massal yang hampir mustahil untuk dicatat: "Kami membaptis begitu banyak orang. Saya tidak bisa memberikan perkiraan yang akurat tentang jumlahnya di sebuah provinsi di Meksiko. Sering kali kami membaptis 14.000 orang dalam satu hari, kadang-kadang 10.000 orang, dan kadang-kadang 8.000 orang."

Rintangan terbesar dalam misi di Dunia Baru adalah penduduk koloni itu sendiri dan perlakuan mereka yang kejam terhadap orang Indian pribumi. Meskipun Ratu Isabella telah mengeluarkan ketetapan bahwa kebebasan orang-orang Indian harus dihormati, namun dalam kenyataannya orang-orang Indian tetap diperlakukan dengan tidak manusiawi dalam sistem yang mendukung perbudakan terhadap mereka secara terang-terangan. Perlakuan kejam tersebut tidak luput oleh pengamatan para misionaris, dan beberapa dari mereka mengambil risiko untuk menerima kemarahan para penduduk koloni dengan berdiri di pihak yang benar. Salah seorang dari para misionaris itu adalah Las Casas, seorang yang meskipun lambat dalam menyadari dan mengakui kekejaman itu, namun akhirnya menjadi pahlawan terbesar bagi orang-orang Indian pada masa kolonialisme di Spanyol. Dalam diri Las Casas, semangat misi dan humanitarianisme terjalin dalam sebuah kesatuan yang jarang dimiliki oleh para misionaris, sebelum atau sesudah dirinya.

Las Casas lahir di Spanyol pada tahun 1474. Ia adalah putra seorang pedagang yang pernah berlayar bersama Colombus pada pelayarannya yang kedua. Setelah mendapat gelar dalam bidang hukum dari University of Salamanca, ia berlayar ke pulau Hispaniola untuk bekerja sebagai penasihat hukum gubernur. Dengan cepat, ia menyesuaikan diri dengan gaya hidup para kolonis yang makmur dan menerima pandangan konvensional terhadap penduduk pribumi. Ia ikut serta dalam penyerangan-penyerangan dan menjadikan penduduk pribumi sebagai budak di perkebunannya. Pada tahun 1510, ketika berusia 30-an, ia mengalami perubahan rohani dan kemudian ditahbiskan. Ia adalah pendeta pertama yang ditahbiskan di Amerika dan kemudian mengalami sedikit perubahan dalam sikap hidupnya. Dengan mudah, ia berpindah ke dalam gaya hidup boros yang merupakan ciri-ciri hidup sebagian besar pejabat gereja saat itu. Namun secara bertahap, ia mulai menyadari bahwa perlakuan terhadap orang-orang Indian tidaklah konsisten dengan ajaran Kristen sehingga di usianya yang ke-40, ia berpaling dari sistem kejam yang pernah menjadi bagian hidupnya itu dan mulai berjuang menentangnya. Ia kemudian bergabung dengan golongan Dominian yang memberi dukungan simpatik terhadap pandangannya.

Sebagai pengacara Dunia Baru yang paling vokal bagi orang-orang Indian, Las Casas bolak-balik ke Spanyol. Ia mengajukan kasus-kasus yang dihadapi orang-orang Indian kepada petugas-petugas pemerintahan dan siapa pun yang mau mendengarnya, meskipun kadang kala caranya mengajukan kasus itu cenderung naif dan terlalu menyederhanakan: "Allah menciptakan orang-orang sederhana ini tanpa kejahatan dan tanpa tipu muslihat. Mereka sangat taat dan setia kepada majikan mereka, begitu pula kepada orang-orang Kristen yang mereka layani. Mereka sangat patuh, sabar, pendamai, dan saleh. Mereka juga tidak suka bertengkar, membenci, bersungut-sungut, atau menaruh rasa dendam. Mereka tidak memiliki keinginan untuk memiliki kekayaan duniawi. Pastilah orang-orang ini akan menjadi yang paling diberkati di dunia jika saja mereka menyembah Allah yang benar."

Pelayanan Las Casas lebih dari sekadar humanitarianisme. Penginjilan adalah sebuah prioritas dan selama beberapa tahun ia berkeliling di Amerika Tengah untuk melakukan pelayanan perintisan. Salah satunya adalah membujuk seorang pemimpin suku pribumi yang sudah lama meneror penduduk koloni untuk menghentikan perbuatannya itu dan memperbolehkan semua anggota sukunya untuk dibaptis. Karena pertentangan penduduk koloni, sebagian besar pelayanannya tidak berkembang dengan mudah.

Di usia yang ke-70, Las Casas ditahbiskan menjadi Uskup Chiapa, keuskupan yang miskin di daerah Meksiko Selatan. Tempat itu dipilihnya dari antara keuskupan lain yang lebih makmur, meskipun menurut Latourette, dia pasti tahu bahwa keputusannya itu akan menjadi tugas yang paling sulit di sepanjang kariernya. Sebagian besar pemilik perkebunan di Spanyol menyalahkan dia karena undang-undang baru yang dikeluarkan oleh kerajaan Spanyol, yaitu hukum yang dirancang untuk memberi perlindungan dan kemerdekaan bagi orang-orang Indian. Pelaksanaan hukum ini akan meruntuhkan ekonomi perkebunan, begitu kata para tuan tanah Spanyol, dan mereka mengabaikan begitu saja undang-undang tersebut. Sebaliknya, Las Casas memerintahkan para imamnya untuk menolak pengampunan dosa bagi siapa pun yang melanggar hukum. Dengan demikian, genderang peperangan pun ditabuh. Saat itu, banyak imam yang dikepalainya berbalik menentang dirinya. Setelah 3 tahun, ia melepaskan jabatan keuskupannya karena putus asa dan merasa kalah. Pada tahun 1547, pada usianya yang ke-73, ia berlayar dari Dunia Baru dan tidak pernah kembali lagi. Perjuangannya demi hak asasi manusia dilanjutkannya dari Spanyol sampai hari kematiannya sekitar dua dekade kemudian. Sampai kini, ia masih dikenang sebagai salah satu misionaris Kristen yang paling berperikemanusiaan. (t\Jing Jing)

Diterjemahkan dari:

Judul Buku : From Jerusalem To Irian Jaya
Penulis : Ruth A. Tucker
Penerbit : Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan
Halaman : 57 -- 59

e-JEMMi 03/2013