You are hereArtikel Misi / Gadis Pejuang Iman

Gadis Pejuang Iman


(Riwayat Hidup Sumi San dari Negeri Jepang)
Diringkas oleh: Novita Yuniarti

Sumi San dilahirkan dalam keluarga yang sederhana, ayahnya seorang pedagang pipa air, sedang ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Semasa remaja, ia harus hidup berkekurangan karena ayahnya mengalami kerugian besar dalam berdagang. Dampaknya, orang tua Sumi harus menanggung utang yang tidak sedikit jumlahnya. Demi membantu meringankan beban orang tuanya, Sumi meninggalkan kampung halamannya dan bekerja di sebuah perusahaan tekstil di Kobe. Tidak ada waktu baginya untuk memikirkan hal-hal lain di luar rutinitasnya. Waktunya ia habiskan untuk bekerja dan belajar. Semangat dan kemauan yang begitu kuat menyebabkan ia tidak memedulikan kondisi kesehatannya. Tanpa disadari, ia menderita penyakit bronkitis dan beri-beri yang menyebabkan ia harus dirawat di sebuah rumah sakit selama tiga bulan. Setelah sembuh dari sakitnya, ia dikeluarkan dari pekerjaannya. Hal ini membuatnya sangat sedih karena pekerjaan tersebut sangat ia butuhkan dan merupakan satu-satunya cara agar ia dapat membantu meringankan beban orang tuanya.

Sumi pun memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Funo. Persoalan utama baginya saat ini adalah bagaimana ia dapat membantu orang tuanya dalam hal keuangan. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendaftar ke sebuah sekolah perawat di Hiroshima. Berkat ketekunan dan kesabarannya, ia diterima di sekolah tersebut, bahkan mendapat beasiswa sehingga ia tidak perlu menanggung semua biaya sekolahnya. Berkat semangat dan kesabarannya pula, Sumi mampu menyelesaikan pendidikannya dengan nilai yang sangat memuaskan dan mendapat kesempatan bekerja pada sebuah rumah sakit.

Namun di tengah kebahagiaannya, ia mendapat kabar bahwa ibunya meninggal karena sakit. Masalah tidak berhenti sampai di situ. Ia dihadapkan pada persoalan baru -- siapakah yang akan menggantikan ibunya mengurus rumah tangga? Sebagai anak tertua, Sumi sadar bahwa dialah yang akan melaksanakan tugas tersebut. Sungguh bukan hal mudah baginya. Namun, ia dan ayahnya yakin bahwa mereka dapat mengatasi kesulitan yang sedang terjadi dan segalanya pasti akan kembali normal dengan bantuan dewa Hotoke San. Sumi dan keluarganya adalah penganut agama Budha. Prinsip hidupnya didasarkan pada ajaran tersebut, yaitu bahwa "hidup hanyalah soal nasib semata, biarpun manusia dapat berbuat sesuatu untuk meringankan beban hidupnya". Sumi dibesarkan dalam ajaran ini dan ia menyerahkan hidupnya pada nasib. Ia berusaha untuk mencari jalan keluar dari masalah yang terjadi dalam hidupnya dan berharap mudah-mudahan nasib baik akan menghampirinya pada masa yang akan datang.

Di samping mengurus rumah tangga, Sumi juga terus memerdalam pengetahuan keperawatannya. Ia berharap suatu hari nanti dapat bekerja pada sebuah distrik dengan penghasilan yang jauh lebih besar daripada penghasilan bekerja di rumah sakit. Nasib baik nampaknya berpihak pada Sumi, ia diterima sebagai perawat di Badan Kesehatan Distrik di bagian timur Kobe. Suatu hari, Sumi mendapat tugas baru. Ia ditugaskan merawat Machan, putra tunggal keluarga Komatsu yang menderita bisul pada kakinya. Tugas tesebut mengharuskannya untuk datang setiap hari ke rumah Machan. Kedatangan Sumi selalu disambut gembira oleh Machan, mereka berdua benar-benar telah menjadi sahabat. Namun secara diam-diam, Komatsu, ayah Machan, menaruh perhatian khusus kepada Sumi. Sumi mengetahui hal tersebut, dan karenanya ia berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan Komatsu, mengingat Komatsu sudah memiliki istri.

Setelah mendapatan perawatan yang intensif, kaki Machan benar-benar sembuh. Di akhir kunjungannya, Sumi mendapatkan sebuah kado dari Machan. Tidak hanya itu, Komatsu juga memberikan sebuah bungkusan kecil sebagai tanda terima kasihnya kepada Sumi yang telah merawat Machan. Dari bungkusan kecil tersebut, Sumi tahu bahwa tanda terima kasih tersebut adalah uang. Sumi menolak pemberian tersebut dengan alasan pihak rumah sakit telah menggajinya atas tugas tersebut. Tidak hanya itu, Komatsu juga meminta Sumi untuk sesekali bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Karena terus didesak dan merasa telah berutang budi pada pihak keluarga Komatsu (dalam budaya Jepang, suatu utang harus dilunasi secara penuh dan tidak boleh kurang suatu apa pun), akhirnya Sumi menerima bungkusan tersebut (bungkusan berisi uang seratus yen, lebih banyak dari jumlah gajinya selama dua bulan) dan berjanji sesekali akan menemui Komatsu hanya untuk berbincang-bincang sebagai seorang teman.

Tawaran Komatsu yang telah diterimanya ternyata membuat Sumi merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk meninggalkan Kobe dan mencari pekerjaan di tempat lain. Sumi mencoba melamar ke beberapa tempat dan ia diterima bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Tokyo. Ia merasa lega, pikirnya ia akan terbebas dari persoalan tersebut. Namun setelah setahun bekerja di Tokyo, tiba-tiba ia mendapat kunjungan dari seseorang. Ya, orang tersebut adalah Komatsu. Tentu saja kunjungan Komatsu membuatnya sangat terkejut. Apa sebenarnya tujuan Komatsu berkunjung ke Tokyo? Apakah hanya sekadar untuk menemuinya? Tujuan Komatsu menemui Sumi adalah untuk menjodohkannya dengan Jiro, adik kandungnya. Dan tanpa sepengetahuan Sumi, ternyata Komatsu telah terlebih dahulu menemui keluarga Sumi di Funo untuk membicarakan rencana tersebut, dan pihak keluarga pun menyetujuinya.

Sumi memang merindukan sebuah rumah tangga sebagaimana layaknya seorang wanita, namun bukan dengan Jiro, karena sebenarnya Sumi mencintai Katzuo, pemuda asal Funo yang sedang ditugaskan di Cina sebagai seorang prajurit. Hingga saat ini, Sumi tidak pernah mengetahui dengan pasti kabar maupun keberadaan Katzuo, namun Sumi yakin Katzuo akan kembali ke Funo karena bagaimanapun mereka pernah berjanji akan membawa hubungan tersebut sampai ke pernikahan. Sumi menolak tawaran Komatsu, namun Komatsu tidak kehabisan akal, Komatsu berencana mengajukan Sumi ke pengadilan atas tuduhan Sumi telah berutang kepada keluarga Komatsu dan tidak mampu membayarnya, jika Sumi menolak tawaran Komatsu untuk menikah dengan adiknya. Akhirnya dengan berat hati, Sumi menerima tawaran tersebut.

Pernikahan Sumi dan Jiro pun berlangsung menurut cara dan adat Jepang. Sumi pun resmi menjadi istri Jiro. Selama resepsi berlangsung, Jiro hanya diam saja. Namun setelah meminum sake, ia tertawa dan berteriak-teriak layaknya orang gila, sehingga para tamu menjadi sangsi apakah ia benar-benar waras. Selama mengarungi rumah tangga bersama Jiro, hampir setiap malam Jiro tidak berada di rumah, ia pergi ke tempat hiburan malam dan menghabiskan sepanjang malam dengan minuman keras dan wanita. Sumi tinggal sendirian di rumah, rasa sepi mulai menghampirinya dan ia bertekad untuk mengakhiri penderitaannya dengan bunuh diri. Namun, pikiran tersebut segera dibuangnya jauh-jauh ketika ia mengingat utang ayahnya yang belum lunas.

Pada suatu malam, Komatsu berkunjung ke rumah Sumi untuk menjalankan rencana yang telah ia rencanakan dengan matang. Komatsu tidak pernah memikirkan kebahagiaan Jiro maupun Sumi. Ia melakukannya agar Sumi berada di sampingnya dan untuk kepuasan dirinya saja. Ia tahu Jiro tidak pernah berada di rumah. Ia berusaha merayu Sumi. Tidak hanya itu, Komatsu juga menggunakan kekerasan. Tetapi Sumi melawan dan berteriak dengan sekuat tenaga sehingga teriakannya sampai terdengar oleh kakak laki-laki Komatsu yang tinggal tidak jauh dari rumah Sumi. Sumi menceritakan apa yang telah dialaminya kepada kakak iparnya. Kakak Komatsu menaruh rasa iba kepada Sumi dan berjanji akan mencarikan tempat yang aman baginya. Pagi harinya, mereka berdua pergi ke suatu tempat yang telah dijanjikannya. Mereka pergi ke sebuah rumah di dekat pantai. Rumah tersebut adalah milik Yamada -- teman kakak Komatsu. Yamada adalah seorang janda yang suaminya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sumi merasa aman berada di rumah Yamada dan karena itulah Sumi tidak segan untuk menceritakan pengalaman pahitnya kepada Yamada.

Yamada memperkenalkan Sumi kepada Koide. Ia adalah seorang Kristen dan Koide mulai menceritakan kasih Kristus kepada Sumi. Meskipun hati Sumi sudah dipenuhi oleh kebencian dan dendam, tetapi Yamada dan Koide tidak menyerah. Mereka berdua terus menceritakan kasih Allah dan mengajaknya ke gereja. Pada awalnya Sumi menolak, namun setelah dipikirkannya, ia berpendapat apa salahnya apabila ia memenuhi ajakan Koide. Sumi tidak tertarik pada khotbah yang disampaikan dalam kebaktian tersebut karena khotbah yang disampaikan malam itu mengenai kasih Allah kepada manusia. Karena pengalaman hidupnya, maka ia meragukan ajaran tersebut. Namun Koide tidak menyerah, ia terus mengajak Sumi mengikuti kebaktian yang setiap minggu diadakan oleh Pendeta Honda di gereja. Sumi menjadi pengunjung tetap, tapi ia belum bersedia menyerahkan hidupnya kepada Kristus. Seusai kebaktian, pendeta Honda menghampiri Sumi dan bertanya kepadanya mengapa ia tidak mau percaya kepada Kristus. Sumi menjawab bahwa ia akan percaya jika pendeta Honda mampu memerlihatkan Tuhan kepadanya. Malam itu, pendeta Honda dan Koide mendoakan Sumi. Dan Tuhan menjamah hatinya, ia bersedia mengampuni orang-orang yang telah menyakitinya dan menyerahkan hidupnya kepada Kristus.

Dua tahun kemudian terjadi perang pasifik. Rumah Sumi tak luput dari keganasan perang tersebut -- semuanya hancur. Ia tidak memunyai rumah lagi, jalan satu-satunya adalah kembali ke Funo dan tinggal di sana sampai perang berakhir. Sumi berangkat menuju kampungnya dengan menggunakan kereta api, perjalanan tersebut cukup melelahkan. Sumi tiba di desa Sawadani. Ketika ia sedang menunggu bis yang menuju Funo, seorang pria mendekatinya dan mengajaknya berbincang-bincang. Pria tersebut menawarkan kepada Sumi untuk menjadi perawat di Sawadani, mengingat tidak ada perawat di tempat itu saat ini. Sumi pun menerima tawaran tersebut.

Pasien pertamanya adalah seorang ibu yang akan melahirkan. Ini adalah kelahiran anaknya yang ketiga. Kedua anaknya yang terdahulu meninggal selama proses persalinan dan ia sangat takut jika anaknya yang ketiga akan lahir dengan kondisi yang sama. Sumi memanfaatkan waktu tersebut untuk menceritakan kasih Allah kepadanya dan berdoa baginya. Persalinan berjalan dengan lancar dan anaknya dapat lahir dengan selamat. Setiap hari, semakin banyak pasien yang harus ditanganinya. Sumi tidak hanya merawat pasien-pasiennya, tetapi ia juga memberikan hiburan, semangat, dan mendoakan mereka. Namun, ada satu hal yang mengusik hatinya. Sebagai bidan, ia tahu bahwa banyak anak yang lahir di luar pernikahan. Penduduk setempat menganggap hal itu sebagai hal yang biasa. Namun, Sumi tahu bahwa hal tersebut merupakan dosa. Ia tahu bahwa jalan keluar atas masalah ini adalah dengan menyampaikan ajaran Kristus. Sumi semakin yakin bahwa Tuhan menempatkannya di Sawadani untuk menyampaikan Kabar Baik kepada penduduk setempat. Tapi ia tahu, ia tidak dapat melaksanakannya sendirian. Ia tidak memiliki pendidikan khusus, namun ia berdoa agar Tuhan membimbingnya untuk menanamkan nilai-nilai Kristen di Sawadani.

Tiga tahun setelah perang berakhir, tepatnya pada tahun 1948, Pendeta Honda membangun kembali pelayanannya -- menceritakan Kabar Baik. Suatu hari, ia mendapat surat dari Sumi yang memintanya datang ke Sawadani. Namun, ia tidak dapat memenuhi permintaan Sumi. Ia menyarankan agar Sumi menemui Pendeta Hashimoto. Pendeta Hashimoto bukan orang asing bagi Sumi, ia sering memimpin kebaktian yang sering dikunjungi Sumi ketika berada di Kobe. Pendeta Hashimoto memenuhi permintaan Sumi meskipun pada saat itu kondisinya tidak terlalu sehat untuk melakukan perjalanan jauh. Ia juga mengajak Koide ke Sawadani. Kebaktian dimulai pukul tujuh malam. Jumlah orang yang menghadiri kekebaktian tersebut sungguh di luar dugaan -- lebih dari empat puluh orang. Pada hari kedua, orang yang datang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Apa yang diharapkan Sumi terjadi pada hari ketiga -- beberapa penduduk memutuskan untuk mengikut Kristus dan dibaptis. Di antara orang-orang yang akan di baptis, ada seorang pria bernama Sugimoto -- dialah yang menjadi motor penggerak pertumbuhan orang Kristen di Sawadani. Kejadian ini membuat Sumi bahagia. Namun di tengah kebahagiaan tersebut, Sumi dinyatakan positif mengidap kanker payudara. Penyakit tersebut tidak membuat imannya goyah. Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Karena pertumbuhan orang Kristen yang luar biasa, mau tidak mau menimbulkan sebuah tantangan baru.

Suatu sore, Pendeta Hashimoto didatangi orang yang tidak ia kenal. Orang tersebut adalah seorang pendeta Budha. Kunjungan tersebut merupakan awal usaha menghalangi upaya penginjilan di Sawadani. Para pendeta Budha memiliki pengaruh yang cukup besar di Sawadani. Mereka memaksa agar setiap orang tua melarang anak-anak mereka untuk pergi ke gereja. Hal ini membuat Sumi sangat sedih. Namun, pekerjaan Tuhan tidak dapat dihancurkan oleh tangan manusia. Larangan para orang tua tidak menyebabkan anak-anak mereka meninggalkan gereja. Meskipun harus pergi ke gereja secara sembunyi-sembunyi, namun mereka tidak takut menyaksikan Kristus kepada penduduk yang belum percaya.

Pada tanggal 24 Mei 1949, Sumi menjalani operasi di sebuah rumah sakit di Hamada. Penyakitnya bertambah parah dan menurut dokter tidak ada harapan baginya untuk sembuh. Kabar tersebut tidak membuat Sumi putus asa. Ia tetap bersemangat dan percaya kepada Yesus. Sikapnya itu membuat setiap orang yang berada di rumah sakit menjadi heran. Akibatnya, banyak pasien yang mampu berjalan, datang ke kamar Sumi dan berbincang-bincang dengannya. Sumi menyaksikan Kristus kepada mereka dan Injil pun tersebar di rumah sakit tersebut. Suatu keajaiban terjadi di Hamada. Sumi yang sedang sakit parah membawa tiga puluh orang yang belum percaya datang kepada Kristus. Beberapa di antara mereka menjadi pelayan Tuhan sepenuh waktu dan meneruskan apa yang telah dimulai oleh Sumi dari tempat tidurnya di rumah sakit.

Pada musim panas 1949, Sumi kembali ke Sawadani. Ia disambut hangat oleh teman-temannya sesama Kristen. Ia akan tinggal di Sawadani untuk mengabarkan Injil. Satu kerinduannya adalah memunyai gedung gereja sendiri dan usul ini disetujui oleh setiap anggota. Untuk mewujudkan hal tersebut, ia menyumbangkan delapan ribu yen guna meyokong pembangunan gedung gereja. Meskipun para pendeta Budha berusaha menghalangi upaya tersebut, namun pembangunan gereja itu terus berjalan. Tahun 1951, segala keperluan untuk membangun gereja telah tersedia dan pembangunan gereja segera dilaksanakan. Gereja tersebut dibangun di atas bukit sehingga dapat terlihat dari berbagai penjuru.

Pada bulan Oktober 1952, Sumi mendapat pekerjaan sebagai perawat di Oyama. Di tempat barunya ini, Sumi tetap bersaksi bahwa Kristus datang untuk menolong dan menyelamatkan manusia. Setelah enam bulan berada di Oyama, penyakitnya kambuh kembali dan sel kankernya telah menyebar, bahkan menyerang organ tubuhnya yang lain. Namun, penyakitnya tidak mematahkan semangatnya untuk tetap memberitakan Injil. Pada bulan April 1953, Sumi mendapatkan perawatan di rumah sakit -- penyakitnya sudah sangat parah. Tidak ada harapan baginya untuk sembuh. Tekanan darahnya turun secara drastis dan daya tahan tubuhnya semakin menurun. Berkat perawatan yang intensif, kondisi Sumi mulai membaik dan ia diizinkan pulang. Pada tanggal 1 September 1953, Sumi menghadiri peresmian gereja di Sawadani dan ia bersyukur karena akhirnya mereka memiliki gereja sendiri. Kondisi kesehatan Sumi semakin memburuk. Kanker tersebut telah menjalar sampai ke wajahnya, kerongkongannya membesar sehingga ia mengalami kesulitan bernapas. Dokter pun sudah tidak dapat berbuat apa-apa.

Pada suatu malam, tepatnya di bulan Desember, Sumi bergumul dengan rasa sakitnya, napasnya seolah terhenti. Dengan tersenyum, ia menutup matanya perlahan-lahan, pergi meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke rumah Bapa. Beberapa hari kemudian, ia dikuburkan di lereng bukit -- menghadap ke arah gereja di Sawadani. Upacara penguburan tersebut dihadiri oleh banyak orang. Di antara mereka, hadir pula para pemuka desa Sawadani untuk memberikan penghormatan dan penghargaan atas apa yang telah Sumi lakukan untuk Sawadani. Sumi telah tiada, namun kematiannya membuktikan adanya kemenangan dari Kristus -- adanya harapan menuju kehidupan kekal. Sungguh, di sebuah desa di pegunungan Jepang telah dibangun gereja Tuhan. Telah tiba waktunya dan nyata, bahwa yang telah dilakukan oleh Sumi di Sawadani adalah "rumah emas, perak, batu yang indah" yang akan tetap tinggal sampai selama-lamanya.

Diringkas dari:

Judul buku : Gadis Pejuang Iman
Judul asli buku : Upon This Rock
Penulis : Eric Gosden
Penerjemah : Barus Siregar
Penerbit : Badan Penerbit Kristen, 1965
Halaman : 5 -- 88

e-JEMMi 23/2008