8. SEORANG YANG MENGAGETKAN KELUARGANYA
(Jepang, abad ke-20)
Mata Yoshiko terbelalak. Ia ketakutan. Dengan penuh amarah
ayahnya sedang mencetuskan perasaannya tentang cara hidup pamannya.
"Ia seorang pemabuk kelas berat!" kata Ayah dengan geram.
"Mengapa ia tidak minum arak terus sampai mati? Biar tidak memalukan
keluarganya terus menerus."
Yoshiko mundur ke sudut ruang tamu. Ia sayang kepada Paman.
Bukankah Paman selalu manis kepadanya? Tidak jarang Paman
membawakannya mainan baru bila ia datang ke desa mengunjungi
keluarganya. Memang, wajahnya sering nampak merah, dan kata-katanya
sering melantur pada saat-saat seperti itu. Tetapi ia selalu manis
budi terhadap keponakannya yang masih gadis, si Yashiko. Mengapa Ayah
sampai hati mengatai dia?
Ternyata, ayahnya belum juga selesai mencaci-maki pamannya.
"Pemabuk, penjudi, pemboros!" ia berseru. "Tidak ada orang yang mau
meminjamkan uang lagi kepadanya. Tidak ada orang yang mau menjualnya
suku cadangan untuk bengkel sepeda miliknya. Hidupnya sudah gagal
sama sekali!"
Tiba-tiba, seolah-olah dipanggil, . . . Paman sendiri muncul
di ambang pintu.
Yoshiko berlari menyambut dia. Lain daripada biasanya, kali
ini wajahnya kelihatan agak tenang. Sama sekali tidak ada bau arak
padanya. Paman tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Yashiko
secara lembut.
Tetapi Ayah memandang dia dengan marah. Sebenarnya ia tidak
senang Paman datang ke rumahnya. Bahkan Nenek juga sudah ikut
bersikap kurang ramah terhadap putra bungsunya. Namun apa boleh buat,
ia sudah datang, dan menurut adat bangsa Jepang seluruh keluarga
harus berkumpul untuk menyalaminya.
Setelah mereka bersalam-salaman, Paman Yoshiko mulai
berbicara. "Aku datang membawa berita baik," kata Paman sedikit
gugup. "Begini: Aku telah membaca sebuah Buku, dan kini aku telah
menjadi seorang manusia baru. Aku akan menempuh jalan hidup yang
baru. Aku tidak akan minum arak atau berjudi lagi. Aku tidak akan
memalukan keluargaku lagi."
Mata Yoshiko berbinar-binar. Sudah jelas, pikiran ayahnya
mengenai pamannya itu keliru! Yoshiko ingin menyanyi gembira.
Tetapi Ayah hanya mencibir sambil berkata: "Hmm! Hidup baru!
Siapa yang percaya omonganmu! Tidak ada kuasa di seluruh dunia ini
yang dapat melepaskan engkau dari nafsu minum arak. Orang yang tidak
berguna seperti engkau ini, mana bisa berubah!"
Air muka Paman berubah pucat. Rupa-rupanya ia menyangka bahwa
keluarganya akan senang mendengar tentang perubahan dalam cara
hidupnya. Tetapi ternyata mereka tidak mau mengerti apa yang sudah
terjadi atas dirinya.
Namun Paman membongkok dengan sopan. "Bolehkah aku
menceritakan apa yang telah terjadi?"
"Boleh. Tapi jangan bertele-tele! Omongan kosong pemabuk"
Nenek menegur Ayah. "Adikmu tidak mabuk sekarang. Biarlah ia
menceritakannya."
Mereka semua duduk pada bantal di atas lantai. Yoshiko
mendengarkan dengan penuh perhatian pada saat pamannya mulai
bercerita:
"Beberapa waktu yang lalu, ada dua orang datang membetulkan
sepedanya di bengkelku. Sambil bekerja, aku bercakap-cakap dengan
mereka. Ternyata mereka adalah penjual buku-buku agama mereka. Kubeli
beberapa buku kecil dari mereka. Kata mereka, buku-buku kecil itu
adalah sebagian dari sebuah Buku besar yang berjudul `Alkitab'.
Kubaca buku-buku kecil itu. Tetapi aku sama sekali tidak dapat
mengerti isinya."
Si Yoshiko menganggukkan kepalanya. Ia merasa bersimpati
terhadap pamannya. Minggu yang lalu di sekolah telah dimulai
pelajaran baru, dan Yashiko juga sama sekali tidak dapat mengerti
isinya.
Mengingat saat-saat ia kebingungan itu, Paman
menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ia pun meneruskan ceritanya:
"Ketika orang-orang itu datang kembali, kukatakan kepada
mereka bahwa aku tidak mengerti isi buku-buku itu. Lalu mereka
mengundang ak datang ke rumah penginapan, di mana mereka akan
menjelaskan ajaran-ajaran dalam buku-buku itu."
Dengan agak malu Paman melanjutkan. "Memang aku pergi ke
sana. Tetapi sebelum ke sana aku minum arak lebih dahulu, sehingga
hampir mabuk."
Ayah mulai komat-kamit lagi. Tetapi rupa-rupanya Nenek sangat
memperhatikan cerita Paman, sehingga Ayah tidak berani memberi
komentar dengan suara keras.
"Mereka sabar sekali," kata Paman. "Berkali-kali aku
mendengarkan penjelasan mereka. Tidak pernah mereka menegur aku
walaupun aku minum arak dahulu sebelum ke sana. Ayat demi ayat mereka
bacakan dan mereka jelaskan pula."
Paman berhenti sejenak sambil mengenang kembali pengalamannya
itu. "Aku semakin tertarik. Ajaran-ajaran itu sngat baik. Dan pada
suatu hari mereka membuka Alkitab dan menunjukkan sebuah ayat, lalu
minta supaya aku sendiri membacanya. Ayat itu tertulis di dalam Buku
agama mereka supaya semua orang dapat membacanya. Tahukah kalian apa
bunyi ayat itu?" tanya Paman sambil memandang ke sekelilingnya.
Semuanya diam.
"Begini bunyinya: `Janganlah kamu mabuk.'''
"Ahhh!" kata ayah Yoshiko.
"Kemudian mereka terus menjelaskan ajaran-ajaran agama mereka
kepadaku, dan aku sendiri membaca lebih lanjut. Aku lalu mengambil
keputusan untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus, yang diceritakan di
dalam Alkitab itu. Aku tidak mau minum arak lagi, atau main judi
lagi, atau menghambur-hamburkan uang dengan cara-cara yang jahat."
Paman Yoshiko menatap keluarganya. "Tapi ayah Yoshiko tertawa
mengejek. "Ceritanya cukup menarik," katanya. "Tapi yang penting
ialah, pelaksanaan selanjutnya. Beberapa kali sudah kaukatakan
kepadaku bahwa engkau tidak mau minum-minum lagi?"
Nenek tersenyum. "Memang engkau telah membuat keputusan yang
baik, anakku," katanya menghibur. "Nah, datanglah kembali bila engkau
sudah melaksanakannya."
Paman Yoshiko bangkit berdiri. "Tadi kukira beritaku akan
menyenangkan kalian," katanya dengan sedih.
"Tentu senang, jika terbukti benar," kata ayah Yoshiko
pendek.
Hanya Yoshiko saja yang mengikuti pamannya sampai ke pintu
gerbang kebun bunga di depan rumah mereka. "Cerita Paman sungguh
menyenangkan hatiku" katanya.
Mendengar kata-kata Yoshiko, Paman yang tadinya kelihatan
sedih mulai terseyum lagi. "Nanti kau akan menjadi lebih senang lagi,
Nak," katanya. Dan dengan langkah yang mantap ia mulai berjalan
menuju ke kota.
Tidak lama kemudian, tibalah musim dingin. Salju turun.
Selama beberapa minggu tidak ada seorang pun yang pergi ke luar desa.
Lalu pada suatu hari ayah Yashiko pergi ke kota. Ketika
kembali ke rumah, ia membawa berita yang mengejutkan tentang Paman.
"Aku baru berkunjung ke rumah Adik," kata Ayah kepada Nenek,
"dan istrinya menceritakan sesuatu yang sulit untuk dipercayai.
Katanya, putra bungsu Ibu selama beberapa minggu ini tidak pernah
minum arak setetes pun. Uang penghasilannya ditabung. Ia tidak pernah
menginjakkan kakinya di rumah perjudian. Ia tidak pernah lagi
memboroskan uangnya dengan cara yang memalukan keluarganya."
"Apa kata putra bungsuku sendiri?" tanya Nenek.
Yoshiko ikut mendengarkan dengan penuh perasaan. Ia juga
ingin tahu keadaan pamannya.
"Aku tidak berjumpa dengan dia," kata Ayah. "Waktu itu ia
pergi mengurus pekerjaan."
"Memang sulit untuk dipercayai!" kata Nenek, seolah-olah
berbicara pada dirinya sendiri.
"Nenek," kata Yoshiko lirih, "aku mempercayainya."
"O, begitu, ya, Nak?" Nenek mengeluh. "Indah sekali,
seandainya benar! Tetapi seumur hidupku belum pernah aku mendengar
bahwa ada kuasa yang dapat membelokkan seorang pemabuk dan penjudi
dari jalannya yang sesat."
Ayah pun ikut mengeluh." Ada juga berita yang kurang
menyenangkan," katanya. "Adikku ditimpa kesulitan. Tidak ada lagi
penjual suku cadang sepeda yang mau percaya bahwa ia akan melunasi
hutangnya. Dengan uang penghasilannya, ia hanya dapat secara kontan
membeli bahan yang paling diperlukan untuk bengkelnya."
Nenek menggelengkan kepala. "kata orang, putra bungsuku
berhutang di mana-mana. Bukan hanya kepada orang-orang di kota sana,
tetapi juga kepada orang-orang di desa sini." Raut mukanya menjadi
sedih. Memang kelakuan paman Yoshiko cukup menyedihkan ibunya, dan
cukup memalukan kakaknya juga.
Waktu terus berlalu. Tidak lama lagi Tahun Baru akan tiba.
Pada suatu pagi Ayah oergi ke kota lagi. "Aku akan menengok
adikku," katanya. Tetapi ia pun agak sinis menambahkan: " . . . walau
mungkin sekali ia tidak ada di rumah. Hari inilah waktunya untuk
membayar hutang, dan ia biasanya menyembunyikan diri sehingga
orang-orang tidak dapat menagihnya."
Tetapi Ayah keliru. Ternyata Paman ada di rumah. Bengkelnya
bersih dan rapih, air mukanya berseri-seri, dan keluarganya asyik
bersiap-siap merayakan Tahun Baru.
Paman menyambut kakaknya dengan gembira. "Lihat saja, Kak,"
katanya, "aku sudah lebih dahulu pergi berkeliling dan menagih uang
dari orang-orang yang berhutang kepadaku. Dan, dengan uang yang
sudah kutabung, aku sudah dapat mulai mencicil hutangku sendiri. Aku
akan minta kepada tiap orang agar ia rela bersabar sampai aku dapat
melunasi semuanya."
Ayah Yoshiko memandang adiknya dengan heran. "Rupanya aku
keliru," katanya lirih. "Rupanya sudah terjadi sesuatu yang kuanggap
mustahil."
Paman menuntun kakanya ke etalase di jendela muka dari
bengkel sepedanya. "Memang betul, Kak, mustahil!" ia mengiakan.
"Tetapi Tuhan Allah justru sanggup melakukan yang mustahil. Melalui
Firman Tuhan aku telah dibimbing untuk menjauhi arak dan perjudian."
Ia menunjuk ke arah etalase itu. Ditengah-tengahnya ada
sebuah Kitab Perjanjian Baru dan beberapa buku kecil. "Firman Tuhan
menunjukkan jalan hidup baru bagiku. Aku memamerkannya, biar
langgananku melihat dan menanyakannya."
Ayah Yashiko menyorotkan matanya ke muka adiknya, seperti
hendak menyelidik. Lalu ia pun ikut tersenyum. "Sekarang aku
percaya," katanya. "Aku dapat melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa engkau sudah berubah. Aku akan cepat-cepat pulang dan
memberitahu Ibu. Tidak ada hadiah Tahun baru yang akan lebih
menyenangkan hatinya daripada berita itu. Dan kalau si Yoshiko,"
katanya menambahkan, "sejak semula ia percaya kepadamu. Pasti ia akan
menari kegirangan!"
Kedua pria bersaudara itu mulai berjalan bersama-sama pada
jalan yang berlapis salju. "Aku akan mengantarkan engkau pulang,"
kata Paman." Ada hutang yang harus kulunasi kepada seseorang di
desamu. Dan aku pun akan menengok Ibu dan si Yashiko."
Pada malam itu, setelah waktu kunjungan Tahun Baru selesai,
ada suasana sukaria di rumah keluarga Yoshiko. Dari sakunya Ayah
mengambil sebuah Buku kecil. "Kita pun akan membaca Firman Tuhan,"
katanya. "Kalau memang ada kuasa di dunia ini yang dapat mengubah
adikku sehingga menjadi seperti yang kita saksikan hari ini, maka aku
pun ingin mengetahuinya."
Nenek mengangguk. "Ajaib betul!" katanya. "Nah, bacalah,
anakku. Kami akan membuka telinga kami dan hati kami."
Yoshiko diam saja. Untuk yang pertama kalinya ia sempat
mendengarkan isi Alkitab. Yang dibacakan oleh Ayah adalah cerita
tentang Tuhan Yesus memberkati anak-anak. Memang cerita itulah yang
telah diberi tanda oleh Paman, justru oleh karena ia tahu bahwa
si Yoshiko akan turut mendengarkannya.
"Aku senang kepada Tuhan Yesus," bisik Yoshiko. "Aku ingin
mendengar lebih banyak lagi cerita tentang Dia.
TAMAT