4. BUDAK PEREMPUAN CILIK YANG PANDAI MEMBACA
(Pulau Malagasy, 1882)
Satu abad yang lalu, di sebuah pulau besar yang jauh dari
kepulauan Indonesia, seorang anak perempuan kecil sedang menangis
tersedu sedan.
Pantas saja ia menangis! Coba bayangkan: Si Upik baru saja
diculik dari rumah orang tuanya. Ia ditangkap oleh orang-orang kejam
yang memperbudak manusia.
Seluruh badan gadis cilik itu gemetar menahan tangisnya.
Dengan bengis si penjual budak memandangnya; tangannya
menggenggam cambuk. "Cukup kau menangis!" ia berteriak. "Kau mau
kucambuki?"
Mata si Upik terbelalak, penuh rasa takut dan ngeri. "Wah,
jangan, pak!"
"Kenapa jangan?" bentak penjual budak itu. "Kau bukan lagi
anak ibumu yang manja. Kau sekarang seorang budak belian. Coba pikir,
di kampung halamanmu sendiri, siapa yang peduli akan nasib budak?"
Lalu ia pergi, seraya memberikan peringatan terakhir: "Aku
tidak mau mendengar tangisanmu lagi, tahu! Bagaimana aku dapat
menjualmu besok kalau mukamu bengkak karena menangis terus?"
Apa yang dikatakan oleh pedagang budak itu memang benar. Di
seluruh pulau Malagasy yang besar itu, tidak ada seorang pun yang
menghiraukan nasib budak belian. Bahkan di kampung halaman si Upik
sendiri, jauh di sebelah selatan, seorang budak pasti dihukum kalau
menangis terus dan merepotkan pemiliknya.
Gadis kecil itu mulai berusaha membiasakan diri dengan
kegaduhan dan keramaian kota di sekelilingnya. Dengan berbuat
demikian mudah-mudahan ia tidak lagi terlalu memikirkan kebahagiaan
hidupnya dulu.
Orang tuanya tidak ada di rumah ketika ia diculik. Karena itu
ia berharap agar mereka luput dari serangan para perampok. Betapa
sedihnya mereka bila nanti mereka pulang dan mendapati putri kecil
mereka tidak ada di situ lagi! Mereka akan merasa sangat kehilangan
"si Upik" (begitulah nama julukan yang sering mereka pakai baginya).
Mereka hanya dapat berharap agar anak perempuan yang secantik dia
akan dijual ke dalam sebuah rumah tangga yang cukup baik.
Ketika si Upik menguasap matanya dan melihat ke
sekelilingnya, ia pun mulai tertarik oleh kesibukan di sekitar tempat
itu. Ia memperhatikan orang banyak yang lalu lalang; beberapa
diantaranya, dengan pakaian yang indah-indah, sedang ditunggui oleh
budak-budak belian. Si Upik mulai memikirkan apa yang akan terjadi
attas dirinya besok pagi.
Ketika pagi itu tiba, si Upik diberi sehelai jubah baru yang
sederhana. Rambutnya pun disisir rapi. Si penjual budak sudah pandai
membuat barang dagangannya kelihatan menarik di mata calon pembeli!
Rasanya waktu lewat dengan lamban sekali pada pagi itu.
Orang-orang kaya biasanya tidak mau datang ke pasar terlalu pagi.
Hanya beberapa orang biasa datang dan membeli budak-budak yang tidak
seberapa mahal harganya.
Sekali-sekali ada orang yang menanyakan si Upik, yang duduk
di bawah naungan sebuah pohon besar dengan perasaan sedikit takut dan
sedikit mengharap-harap. Tetapi mereka selalu terus pergi setelah
mendengar harga yang ditawarkan itu, walau ada juga orang yang sempat
berkomentar dengan berbisik: "Cantik sekali! Mungkin ia akan laku
juga semahal itu."
Sebelum sang surya naik tinggi di atas cakrawala, datanglah
sebuah tandu yang indah, diusung oleh empat budak laki-laki. Budak
yang kelima memagang menaungi seorang wanita muda yang berbaring di
atas usungan itu; pakaiannya sangat mewah.
Wanita yang kaya-raya itu mengamat-amati setiap budak yang
dipertontonkan kepadanya. Kekuatiran dan kesedihan
budak-budak itu tidak dihiraukannya. Rupa-rupanya ia menganggap
seorang budak itu sama seperti seekor anjing kesayangan saja.
Hanya ada satu budak yang tidak kelihatan sedih. Itulah si
Upik. Ia begitu tertarik akan penampilan wanita kaya itu sehingga ia
memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Belum pernah ia melihat
seorang wanita dengan pakaian sebagus itu!
"Gadis yang itu!" Sang penumpang tandu menunjuk kepada si
Upik. "Kelihatannya cerdik, lagi cantik. Suruh dia berdiri!"
Sebelum si Upik insaf apa yang terjadi, jual beli itu sudah
selesai. Sekarang ia telah menjadi milik wanita muda yang kaya-raya
itu.
Tidak lama kemudian, usungan itu dibawa dengan cepat,
menerobosi orang banyak. Si upik berusaha mengikuti langkah-langkah
yang terlalu panjang dari budak-budak dewasa itu. Ia berlari-lari
kecil; napasnya mulai terengah-engah. Seorang budak laki-laki yang
tinggi besar berjalan di sisinya untuk menjaga agar ia tidak berusaha
melarikan diri.
Di tempatnya yang baru, si Upik dengan cepat dan lancar dapat
belajar cara-cara melayani majikannya. Majikannya ternyata sangat
baik hati. Ia merasa senang, terutama oleh karena gadis cilik itu
tidak pernah menangis lagi, dan tidak pernah bermuram durja.
Pada suatu hari sang majikan bertanya dengan sikap tak acuh:
"Apa kau lahir sebagai budak, Upik?"
Untuk seketika mata si Upik tergenang air mata. Tetapi segera
ia dapat menguasai dirinya. Ia bertindak tegak dan menjawab dengan
tenang. "Tidak, nyonya besar. Aku diculik. Kampung halamanku di
sebelah selatan. Dari sanalah para perampok menyeretku. Orang tuaku
tidak tahu aku diculik."
Wajah majikannya mengerut. "Ah! Sama sekali tidak
terpikirkan. Apalagi kau masih kecil! Kau begitu tabah, Upik. Aku
sama sekali tidak menyangka kau pernah hidup bebas dengan keluargamu
sendiri."
Kemudian dilanjutkannya: "Sebetulnya aku tidak begitu suka
mempunyai budak yang asalnya bukan budak. Mencicipi kebebasan, lalu
kehilangan kebebasan itu, rasanya lebih pahit daripada kalau kamu
belum pernah hidup bebas. Tetapi setidak-tidaknya kau lebih mujur
menjadi budak di rumahku daripada menjadi budak di rumah orang lain,
ya, Upik?"
Si Upik tersenyum. "Nyonya besar sudah membuatku bahagia dan
puas," jawabnya dengan tulus ikhlas
Namun kadang-kadang si Upik merasa kesepian. Pada saat-saat
demikian, bila tidak ada tugas, ia suka pergi menyendiri dan duduk di
bawah sebuah pohon yang besar di taman. Dari dalam jubahnya ia
mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa serta. Lama ia duduk sambil
membaca buku kecil itu.
Buku kecil itu adalah buku yang kebetulan dibaca pada saat ia
diculik. Tanpa disadari ia tetap menggenggam buku itu ketika ia
ditangkap dan diseret oleh para perampok. Kini buku kecil itu menjadi
harta si Upik yang paling berharga: Isinya tak lain ialah Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Malagasy (yang mirip sedikit dengan
bahasa Indonesia).
Di dalam rumah tangga majikannya itu tidak ada seorang
Kristen pun kecuali si Upik. Juga tidak ada seorang pun di antara
mereka yang dapat membaca, sang majikan juga tidak. Namun budak-budak
yang buta huruf itu senang mengintip pada saat-saat si Upik pergi
menyendiri. Dan mereka pun senang mendengar si Upik membaca, karena
ia selalu membaca dengan bersuara, sesuai dengan kebiasaan pada zaman
itu.
Tidak lama kemudian, setiap pelayan di rumah tangga itu
mengetahui bahwa si Upik memiliki sebuah Buku kecil, dan bahwa ia
pandai membaca isinya. Tetapi tidak seorang pun yang berani
memberitahu sang majikan. Meskipun ia baik hati, mungkin ia akan
merasa cemburu terhadap seorang budak yang begitu pandai. Mungkin
ia akan menghukum si Upik; mungkin ia akan merampas Bukunya.
Pada suatu hari yang panas, sang majikan berjalan-jalan di
taman untuk menikmati buaian angin sejuk. Sayup-sayup terdengar
olehnya suara orang. Karena ingin tahu, ia menghampiri tempat dari
mana suara itu terdengar.
Tampaklah si Upik sedang duduk di bawah pohon, asyik membaca.
"Ha! Sedang apa kau Upik?" tanya majikannya. "Sedang
menghafal cerita, ya?"
Dengan hormat si Upik berdiri. Mula-mula ia hendak
menyembunyikan Buku kecil itu, tetapi kemudian diperlihatkannya.
"Tidak, nyonya besar. Aku sedang membaca Kitab Suci."
"Membaca? Sungguh kau dapat?"
"Sungguh, nyonya besar," jawabnya seraya menganggukkan
kepalanya. "Ayah yang mengajarku membaca."
Budak-budak yang lain sedang mengintip peristiwa itu dari
jauh, dengan hati yang berdebar-debar. Apakah majikan mereka akan
marah? Ataukah merasa geli saja?
Heran, . . . kedua dugaan itu meleset. Apa yang mereka dengar
kemudian?
"Dapatkah kau mengajarku membaca, Upik?"
"Dapat, nyonya besar! Dengan senang hati," jawab si Upik.
Pelajaran itu segera dimulai. Karena tidak ada buku lain,
Kitab Perjanjian Baru milik si Upik menjadi buku pelajaran.
Si Upik mulai dengan cerita-cerita yang diajarkan oleh Tuhan
Yesus, seperti misalnya cerita domba yang hilang dan cerita orang
Samaria yang murah hati. Kata demi kata sang majikan belajar membaca
perumpamaan-perumpamaan itu.
"Sangat menarik!" serunya. "Cerita-cerita ini amat indah.
Tetapi . . . siapakah Tuhan Yesus itu?"
Maka pelajaran membaca yang berikutnya diambil dari Kitab
Injil Lukas, pasal 2. Budak cilik itu menolong majikannya membaca
tentang kelahiran Yesus pada malam yang ditaburi bintang-bintang.
Mereka membaca tentang para malaikat yang menyanyi dan memuliakan
Tuhan, tentang sinar surgawi yang turun menerangi palungan Sang Bayi
Kudus.
Tetapi pelajaran membaca terpaksa diperpendek pada hari itu.
"Cerita ini terlalu panjang, Upik," majikannya mengomel. "Engkau saja
yang membacakannya."
Maka si Upik melanjutkan membaca tentang peristiwa-peristiwa
yang indah itu. Pasal demi pasal, pelajaran demi pelajaran, si Upik
membacakan cerita Tuhan Yesus, termasuk ajaran-ajaranNya,
penyalibanNya, dan kebangkitanNya. Ia pun meneruskan cerita itu
dengan membacakan perbuatan-perbuatan para pengikut Tuhan Yesus
setelah Hari Pentakosta.
Sang majikan, beserta semua budaknya yang cukup dewasa, terus
mendengarkan dengan penuh perhatian. Belum pernah mereka mendengar
cerita yang demikian!
Bukan hanya itu saja: Wanita bangsawan itu mulai mengundang
teman-temannya untuk berkumpul di rumahnya pada waktu senja. "Aku
mempunyai seorang budak baru," katanya, "seorang gadis kecil.
Anehnya, ia dapat membaca. Buku miliknya sendiri memuat cerita-cerita
yang sangat menarik, serta ajaran-ajaran yang belum pernah kudengar.
Ayo datang dan mendengar Upikku membaca!"
Mungkin saja majikan itu pun ingin agar teman-temannya
mengetahui bahwa ia sendiri sekarang dapat membaca. Karena setiap
kali tetangga-tetangganya datang, ia mengambil Buku kecil dari tangan
si Upik dan membuka halaman-halaman tertentu. Walau ia membaca dengan
pela-pelan, namun kedengarannya cukup jelas, sehingga teman-temannya
menjadi takjub.
Lambat laun Kabar Baik itu mulai meresap ke dalam hatinya.
Pada suatu hari wanita yang kaya-raya itu berkata, "Upik, letakkan
dulu Bukumu dan jelaskan kepadaku bagaimana caranya aku dapat menjadi
pengikut Tuhan Yesus."
Hal ini tidak mengherankan si Upik. Siapa yang tidak mau
mengikut Tuhan Yesus, demikianlah pikirannya. Siapa yang tidak mau
berbakti kepada Allah Bapa, yang begitu mengasihi kita sehingga Ia
mengutus Tuhan Yesus untuk menjadi Juru Selamat kita!
Namun si Upik jadi terheran-heran juga pada suatu hari semua
budak dipanggil menghadap majikan mereka. "Kalian sudah tahu,"
katanya dengan lambat, "bahwa aku telah menjadi pengikut Tuhan Yesus.
Oleh karena itu, aku tidak boleh lagi memperbudak sesamaku. Kalian
semua merdeka."
Merdeka! Para budak itu hampir-hampir tidak mempercayai apa
yang mereka dengar. Sungguh suatu hari yang diliputi kebahagiaan!
Beberapa di antara mereka segera pulang ke kampung. Yang
lainnya lebih suka tetap tinggal pada majikan mereka sebagai pegawai
bayaran.
Dengan sangat gembira si Upik pulang ke rumah orang tuanya.
Ia memasuki rumah itu bagaikan orang yang sudah bangkit dari kubur.
Kedatangannya kembali itu membawa kebahagiaan yang tiada taranya bagi
orang tuannya.
Tetapi kemudian secara sukarela si Upik kembali lagi kepada
sang majikan yang sangat dikasihinya. Mereka berdua, diiringi oleh
bebarapa pembantu, pergi jauh ke suatu tempat di mana ada
utusan-utusan Injil. Di sana mereka memohon agar penginjil-penginjil
dikirim ke kota mereka di pulau Malagasy, untuk mengajar dan
membimbing orang-orang Kristen yang baru.
Utusan-utusan Injil yang datang dari negeri jauh itu
merupakan jawaban atas permohonan doa mereka. Tetapi iklim di pulau
Malagasy itu asing bagi para penginjil. Mereka dijangkiti penyakit,
dan satu persatu meninggal. Akhirnya keadaan kembali seperti semula:
Tidak ada yang memimpin dan mengajar pengikut-pengikut Tuhan Yesus
yang baru itu.
Namun sang majikan tidak putus asa. Dengan Alkitab di
tangannya, ia mula membaca dan berdoa serta mengharapkan pimpinan Roh
Kudus. Lalu dengan sikap yang tenang dan gigih, ia sendiri mengajar
setiap orang yang rela berguru kepadanya.
Lambat laun di kotanya di pulau Malagasy itu tumbuhlah suatu
jemaat Kristen yang banyak sekali anggotanya. Dan hingga kini
orang-orang Kristen yang tinggal di kota itu masih suka bercerita
dengan bangga:
"Semuanya itu terjadi oleh karena seorang budak perempuan
kecil yang kesepian membaca Kitab Perjanjian Barunya dengan suara
keras, dan oleh karena seorang wanita muda yang kaya-raya terbuka
hatinya untuk menerima ajaran Firman Allah serta melaksanakannya
dalam hidupnya sendiri!"
TAMAT