48. BINTANG PELAJAR SEKOTA
(Indonesia, 1939 - 1995)
Pada tahun 1939 itu, gempar sekali umat Kristen di kota Ujung
pandang!
Ada penginjil tersohor yang datang dari benua Tiongkok;
namanya, Dr. John Sung. Kata orang, ia sudah berkhotbah di mana-mana
di Asia Tenggara, di Taiwan, di Philipina, di Malaysia, di Singapura,
di MuangThai. Dan di mana pun juga ada banyak sekali orang yang
bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus.
Pada tahun 1939, untuk pertama kalinya penginjil ternama itu
datang ke Indonesia. Ada kampanye penginjilan raksasa di Jakarta, di
Bandung, di Madiun, di Solo, di Surabaya, . . . dan di Ujungpandang.
Pada tahun 1939 itu juga, di kota Ujungpandang tinggallah
seorang gadis kecil yang biasa dipanggil "Mia. Nama lengkapnya ialah,
Maria Josephien Jacob. Tetapi nama itu rasanya terlalu panjang untuk
seorang anak perempuan yang begitu kecil.
Si Mia adalah salah satu di antara delapan anak dari seorang
janda. Ibu Jacob harus bekerja keras untuk memenuhi keperluan
keluarganya yang banyak itu. Pagi-pagi ia menggoreng pisang, lalu
kakak-kakak Mia menjajakannya waktu mereka pergi ke sekolah. Siangnya
ibu itu mencuci pakaian orang lain. Setelah dikanji, lalu diseterika,
pakaian uang sudah bersih itu diantarkan sore hari. Malam pun Ibu
Jacob masih tetap bekerja; ia menjahitkan pakaian orang Belanda, kaum
penjajah pada masa itu.
Walau ia begitu sibuk, Ibu Jacob sangat setia kepada Tuhan.
Setiap jam lima pagi, ia membagunkan seisi rumah untuk berdoa
bersama-sama (si Mia biasanya duduk di pangkuan Mama). Setiap malam,
ibadah keluarga itu diulang lagi. Setiap hari Minggu, seluruh
keluarga Jacob pergi ke gereja. Dan setiap bulan, masing-masing anak
disediakan amplop persepuluhan untuk dipersembahkan kepada Tuhan.
Waktu ibunya pergi berkunjung, si Mia sering diajak. Mereka
suka membawa sup dan bubur untuk tetangga yang sedang sakit. Mereka
juga pergi ke sebuah rumah yang dipakai untuk perjudian dan
pelacuran, untuk menginjili penghuninya. Alhasil, seorang wanita yang
tinggal di situ percaya kepada Tuhan Yesus. Ia keluar dari rumah itu,
dan kemudian ia menikah dengan seorang pemuda dari gereja.
Tentu saja seluruh keluarga Jacob ikut gempar pada waktu
mereka mendengar bahwa Dr. John Sung dari benua Tiongkok akan datang
di kota Ujungpandang untuk mengabarkan Injil. Setiap kali ada
kebaktian kebangunan rohani, mereka selalu hadir, Ibu Jacob juga
selalu turut memberi persembahan khusus untuk membiayai KKR itu.
Si Mia duduk terpaku selama Dr. John Sung berkhotbah.
Kata-katanya sederhana saja; dengan sangat jelas ia memaparkan dosa
manusia serta keselamatan yang tersedia dalam Yesus Kristus.
Sepulangnya dari kebaktian khusus itu, si Mia tidak dapat
melupakan penjelasan tentang dosa dan keselamatan yang disampaikan
tadi. Dengan menangis ia menemui ibunya di kamar.
"Mama," katanya dengan terisak-isak, "semua uang yang hilang
itu, Mia yang ambil. Minta ampun, Mama, Mia sering berbohong, Mia
sering melawan Mama . . . ."
Ibu Jacob merangkul dan memeluk anaknya yang masih kecil itu.
Lalu ia berdoa sambil menumpangkan tangannya di atas kepala Mia. Dan
si Mia dalam hatinya merasa pasti: Baik ibunya maupun Tuhan Yesus
Sang Juru Selamat sudah mengampuni dosanya. . . . .
Pada tahun 1942 itu, kembali gempar penduduk kota
Ujungpandang!
Tentara Jepang telah mengepung seluruh Nusantara. Si Mia
terpaksa putus sekolah, karena keluarga Jacob dari kota mengungsi ke
desa Wiliwili.
Pada masa perang itu, banyak anak yang pendidikannya telantar.
Melihat keadaan yang menyedihkan itu, ibu dan kakak si Mia membuka
sebuah sekolah darurat. Paling sedikit di desa itu anak-anak dapat
diajar membaca dan menulis. Ada seorang pejabat pemerintahan Jepang
yang menyumbangkan buku-buku tulis untuk usaha pendidikan itu. Tetapi
ibu dan kakak si Mia hanya sanggup menyekolahkan anak-anak itu sampai
tingkat SD kelas 3 saja. Pendidikan Mia sendiri masih tetap
terlantar.
Menjelang masa berakhirnya Perang Dunia II, keluarga Jacob
sempat kembali ke kota Ujungpandang. Mia rajin belajar, karena hendak
mengejar waktu yang terhilang itu. Tamatlah dia dari SD; lalu ia
masuk SLTP.
Pada masa perjuangan fisik itu, kota Ujungpandang masih
dikuasai Belanda. Bahasa pengantar di SLTP tempat Mia belajar itu,
bahasa Belanda; bahasa Indonesia hanya diajarkan sebagai pelengkap
saja. Sebagai akibatnya, Mia sangat pandai bahasa Belanda, sedangkan
bahasa Indonesianya agak kurang. Mia tahu, ia tidak akan naik kelas
kecuali pelajaran bahasa Belanda mendapat angka tinggi.
Namun kepala sekolah SLTP itu memberi Mia nasihat yang
bijaksana: "Mia, tekunilah bahasa Indonesia," katanya. "Kelak
Indonesia akan merdeka. Bahasa Indonesia akan sangat dibutuhkan di
kemudian hari."
Pada tahun 1949, Mia Jacob tamat SLTP. Setiap pelajaran yang
angka rata-ratanya cukup tinggi itu dipanggil satu per satu ke kantor
kepala sekolah. Teman-teman yang masuk ranking itu seorang demi
seorang dipanggil . . . tetapi nama Mia Jacob belum disebut-sebut.
Ternyata si Mia adalah pelajar yang paling akhir dipanggil
untuk menghadap. Pada saat itu, barulah ia mengerti mengapa ia
diharuskan sengaja menunggu sekian lama: Dialah bintang pelajar,
bukan hanya di sekolahnya saja, tetapi di semua SLTP di seluruh kota
Ujungpandang! Dan bukan hanya itu saja: Kepala sekolah menawarkan
beasiswa, jika Mia rela pergi ke Belanda dan belajar menjadi seorang
juru rawat.
Begitu ia keluar dari kantor kepala sekolah, Mia dikerumuni
oleh teman-temannya. Mereka semua ingin merayakan prestasi mereka.
"Nanti di rumah saya ada pesta," kata salah seorang pelajar
wanita itu. "Tentu kalian diundang!"
"Wah, saya akan mentraktir kalian ke rumah makan!" kata
seorang gadis lain lagi dengan penuh semangat.
"Papa saya punya bioskop," kata anak perempuan yang ketiga
dengan pongah. "Kalian boleh nonton gratis!"
Mia ikut saling menyalami teman-temannya. Namun dalam
hatinya ia tidak begitu menghiraukan hiruk-pikuk mereka. Mengapa saya
mendapat angka yang tertinggi? tanyanya pada diri sendiri. Saya bukan
yang terpandai. Ada seorang teman sekelas yang lebih pandai. Namun
. . . sayalah yang menjadi bintang pelajar sekota. Pasti ini karunia
Tuhan, bukan karena kemampuan saya. Ini kebaikan Tuhan kepada saya!
Kepada teman-temannya yang sedang bersuka ria itu, Mia mohon
diri. Tetapi ia tidak segera pulang: Ia mampir dulu ke gereja. Tentu
Mia tahu, Tuhan ada di mana-mana. Namun Miia merasakan Tuhan lebih
dekat bila ia memasuki gedung ibadah.
Hari itu hari kerja, dan tidak ada acara apa-apa; gedung
gereja pun tertutup. Mia mencari penjaganya dan minta agar gereja
dibuka. Untung, penjaga itu sudah mengenal si Mia dan keluarganya
dengan baik; ia tidak curiga, walau Mia tidak menjelaskan maksudnya.
Mia memasuki aula kebaktian yang besar itu. Selangkah demi
selangkah ia maju ke depan. Ia berlutut di hadapan mimbar. Di situ ia
mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku tidak layak
menerima pemberian-Mu yang terlalu baik ini. Terima kasih, Tuhan! Aku
serahkan seluruh hidupku kepada-Mu yan terlalu baik ini. Terima
kasih, Tuhan! Aku serahkan seluruh hidupku kepada-Mu. Pakailah
sesuka-Mu!"
Barulah sesudah itu Mia keluar dari gereja, pulang ke rumah,
dan memberitahu ibu dan kakak-kakaknya bahwa ia telah mendapat
kehormatan khusus sebagai bintang pelajar sekota Ujungpandang. . . .
Pada tahun 1951 itu, gempar lagi penduduk kota Ujungpandang!
Pemberontakan Andi Aziz telah berkobar di pulau Sulawesi.
Sebagai akibatnya, untuk yang kedua kalinya Mia Jacob terpaksa putus
sekolah.
Ternyata Mia tidak jadi pergi ke Belanda untuk menerima
beasiswa yang ditawarkan itu. Ia tetap memasuki SLTA di kota
Ujungpandang. Tetapi baru kelas 2, sekolahnya pun terhenti.
Ketika pemberontakan itu aman dan sekolah-sekolah dibuka
kembali, keadaan sudah berubah. Bahasa Belanda bukan lagi bahasa
pengantar, melainkan bahasa Indonesia. Sedangkan Mia merasa masih
kurang pandai berbahasa Nasional itu.
Lalu ada kesempatan yang tak terduga untuk mulai memperbaiki
bahasa Indonnesianya. Mia diminta menerjemahkan sebuah buku kecil
tentang George Muller, seorang tokoh Kristen Inggris keturunan Jerman
yang sangat mengandalkan kuasa doa dalam memelihara ratusan anak
yatim piatu.
Pada tahun 1955, dari pulai Sulawesi Mia pindah ke pulau
Jawa. Di Semarang ia masuk sebuah sekolah tinggi teologia yang
diselenggarakan oleh gereja-gereja Baptis. Pendidikan Alkitab dan
ketuhanan itu akan melengkapi dia untuk memenuhi panggilannya yang
dulu sudah ia rasakan sejak ia menjadi bintang pelajar sekota.
Selama berkuliah di Semarang, Mia diminta menerjemahkan
cerita-cerita Alkitab untuk anak-anak Sekolah Minggu. Namun
kekurangannya dalam bahasa Indonesia itu masih sangat terasa . . .
lebih-lebih ketika ia mulai berkenalan dengan seorang mahasiswa
teologi yang bernama Juliaan Sigar. Dengan cepat mereka berdua
menjadi akrab, sekalipun pemuda itu berani memperbaiki cara Mia
berbicara. "Sebaiknya Mia belajar membedakan kata `kita' dengan kata
`kami'," Juliaan menasihati dengan lemah lembut.
Tidak lama kemudian, Nona Mia Jacob menjadi Ibu Mia Sigar. Ia
menolong suaminya menggembalakan sebuah gereja di Semarang, kemudian
sebuah gereja di Solo. Dan Pendeta Sigar masih tetap menolong
istrinya memperbaiki bahasa Indonesianya.
Pada tahun 1963, suami-istri yang pandai itu diminta pindah
ke Bandung, agar mereka dapat melayani melalui Lembaga Literatur
Baptis. Tidak lama kemudian, Pdt. Juliaan Sigar keluar dari kantor
penerbit itu, karena ia menjadi gembala sidang sebuah gereja di kota
Bandung. Tetapi Ibu Mia Sigar masih tetap bekerja diLembaga Literatur
Baptis selama sepuluh tahun lebih. Banyak sekali lembaran Sekolah
Minggu, pelajaran Sekolah Injil Liburan, dan buku-buku tentang
pengabaran Injil yang diredaksikannya selama tahun-tahun ini.
Ketika putri tunggalnya masih kecil, Ibu Mia rindu agar dapat
bekerja di rumah; dengan demikian ia tidak usah datang ke kantor
setiap hari. Terbukalah kesempatan itu pada tahun 1974, ketika ia
pindah pekerjaan ke Lembaga Alkitab Indonesia. Ia diminta mengambil
alih suatu proyek penerjemahan yang sudah setengah jalan, yaitu:
Kabar Baik untuk Masa Kini, atau Kitab Perjanjian Baru Dalam Bahasa
Indonesia Sehari-hari.
Tugas besar itu diselesaikannya pada tahun 1978. Lalu Ibu Mia
diminta mengetauai sebuah panitia yang terdiri atas tiga wanita,
untuk memperlengkapi terjemahan gaya baru itu dengan Perjanjian
Lamanya. Kedua anggota panitia itu masing-masing adalah seorang
rohaniawati dari Gereja Katolik, dan seorang pengarang dan ahli
Alkitab dari Gereja Protestan. Sebagai seorang Baptis, Ibu Mia
berhasil membimbing pekerjaan mereka dengan lancar. Pada tahun 1985,
terbitlah Alkitab Kabar Baik yang sudah lengkap.
Sejak dahulu Ibu Mia sangat memperhatikan anak-anak. Walau
anaknya sendiri hanya seorang, namun sering ada anak-anak lain di
rumahnya, juga di gereja dan di SD Kristen yang dibina oleh suaminya.
Tidaklah mengherankan, sesudah selesai dengan Alkitab Kabar Baik, Ibu
Mia juga menerjemahkan Kabar Baik Untuk Anak-Anak.
Ibu Mia masih ingat kesulitannya yang dulu, dalam hal
menguasai bahasa Indonesia. Mungkin itu yang menyebabkan dia tetap
rela mengerjakan berbagai macam terjemahan Alkitab untuk orang yang
memerlukan bahasa Indonesia yang sederhana dan jelas.
Sampai saat ini Ibu Mia Sigar masih mengenangkan
pengalamannya yang dulu, ketika ia menjadi bintang pelajar sekota
Ujungpandang. Kata Ibu Mia: "Jauh sebelum saya memikirkan apa pun
untuk melayani Tuhan dalam bidang literatur rohani, Ia sudah
mempunyai rencana bagi saya. Rencana-Nya, serta cara-Nya Ia
memperlengkapi saya untuk tugas yang telah disediakan-Nya itu, nyata
jelas!"
TAMAT