46. SEPULUH SEN, SEPULUH RIBU JIWA
(Tiongkok, 1885 - 1935)
Dr. Charles Maddry semalam baru tiba di kota Pingdu, Tiongkok
Utara. Ia dan kawan-kawannya dari Amerika Serikat itu sangat capai.
Pada tahun 1835 itu, belum ada kapal terbang jet yang dalam waktu
beberapa jam saja dapat membawa seseorang dari benua Amerika ke benua
Tiongkok. Pelayaran melintasi Lautan Pasifik dengan naik kapal api
itu, cukup memakan waktu dan cukup meletihkan bagi para penumpangnya.
Lagi pula, cuaca pada bulan Juni tahun 1935 itu cuku panas.
Dr. Maddry adalah direktur internasional yang mengawasi
pelayanan ratusan utusan Injil Baptis di seluruh dunia. Ia dengan
kawan-kawannya dari Amerika Serikat telah datang untuk menengok
perkembangan gereja-gereja di Tiongkok Utara.
Pada pagi hari yang panas di bulan Juni itu, Dr. Maddry
bangun agak kesiangan, lalu duduk dan sarapan dengan kawan-kawannya.
Tuan rumahnya, salah seorang utusan Injil setempat, ternyata bangun
lebih pagi dan sudah keluar rumah.
Tiba-tiba tuan rumah itu pulang dan mengumumkan: "Pendeta Lie
sudah datang dan sedang menunggu Saudara sekalian!"
Rasa capai yang dialami Dr. Maddry itu seolah-olah hilang.
Sudah lama ia ingin bertemu dengan Pendeta Lie. Bukankah para utusan
Injil yang bercuti dinas ke Amerika berkali-kali bercerita tentang
pendeta yang sudah tua itu? Bukankah setiap surat dan laporan yang
datang dari Tiongkok Utara itu selalu menyebutkan pelayanannya yang
setia?
"Terima kasih atas berita itu!" kata Dr. Maddry. Lalu ia dan
teman-temannya cepat-cepat menyelesaikan sarapan mereka, agar mereka
dapat ikut pergi ke tempat Pendeta Lie sedang menunggu mereka.
Beberapa waktu kemudian Dr. Maddry berhadapan muka dengan
hamba Tuhan yang sudah lama di dengarnya itu. Dr. Maddry sendiri
lebih tinggi tubuhnya daripada kebanyakan orang Barat. Namun orang
Timur yang sedang berdiri tegak di depannya itu tinggi juga; lagi
pula, pembawaannya penuh wibawa. Jubahnya yang panjang dan jenggotnya
yang putih itu menambah luhur penampilannya.
Kedua bapak yang tinggi itu berjabatan tangan. Salah seorang
utusan Injil menemani mereka sebagai penerjemah, karena Dr. Maddry
tidak dapat berbicara bahasa Mandarin, dan Pendeta Lie tidak dapat
berbicara bahasa Inggris.
Secara basa-basi, selama mereka berdua saling berkenalan, Dr.
Maddry mendengar bahwa Pendeta Lie sudah berumur 75 tahun. Namun ia
masih kuat: Buktinya, tadi pagi ia telah bangun jam empat, lalu
sebelum sarapan, ia berjalan kaki sejauh dua belas kilometer agar
dapat bertemu dengan saudara-saudara seiman yang datang dari jauh.
Sepanjang hari kedua bapak yang tinggi itu berkeliling
bersama-sama; mereka menengok beberapa gereja, sekolah, dan rumah
sakit Kristen di kota Pingdu. Lalu Pendeta Lie mengajak Dr. Maddry
untuk meninggalkan dulu tempat ramai dan beristirahat sejenak.
Kedua bapak yang tinggi itu bersama-sama memasuki sebuah
taman yang indah. Mereka berdiri di pinggir sebuah kuburan. "Ini
kuburan pendeta Amerika yang dulu sangat membina watak saya," Pendeta
Lie bercerita kepada sang tamu melalui pengalih bahasa itu.
"Apakah dia yang mula-mula membimbing Bapak sampai percaya
kepada Tuhan Yesus?" tanya Dr. Maddry.
"O, bukan! saya sudah menjadi orang Kristen waktu masih muda,
waktu dulu di kampung," jawab Pendeta Lie.
"Di manakah kampung halaman Bapak?"
"Di Sah Ling, dekat kota Tengzhou."
"Tentu Dr. Maddry tahu mengenai Tengzhou. Kota itu dulu
menjadi pusat pelayanan Nona Lottie Moon, utusan Injil Baptis
almarhumah yang paling terkenal itu. Bukankah persembahan khusus
untuk penginjilan sedunia yang dukumpulkan setiap Hari Natal di
Amerika Serikat itu diberi nama menurut nama Nona Lottie Moon?"
Dr. Maddry bertanya lagi, apakah Pendeta Lie pernah mengenal
Nona Moon. Waktu pertanyaannya diterjemahkan, ia sempat mendengar
nama penginjil wanita yang termasyhur itu dalam bentuk bahasa
Tionghoa: Mu Lah Die.
"Memang dulu saya kenal Mu Lah Die," jawab Pendeta Lie dengan
semangat. "Tetapi juga bukan dia, yang memenangkan jiwa saya bagi
Tuhan Yesus . . . atau boleh dikatakan, bukan dia yang secara
langsung berbuat demikian."
"Hmmm, kedengarannya sangat menarik, Pendeta," sahut Dr.
Maddry. "Coba ceritakan!"
Maka pendeta Tionghoa yang sudah tua itu menyampaikan sebuah
cerita yang sungguh mempesonakan temannya dari Amerika . . . .
Menjelang akhir abad ke-19, desa Sah Ling memang kecil, namun
makmur. Jumlah penduduknya, kurang lebih seratus jiwa. Dan setiap
penduduk itu bernama Lie! Sesungguhnya mereka semua masih ada
hubungan keluarga satu sama lain.
Salah seorang penduduk lama di Sah Ling itu biasanya
dijuluki: "Si Kakek Lie." Ia memang termasuk yang tertua di desa itu.
Pada tahun-tahun 1880-an itu, penduduk desa Sah Ling mulai
mendengar tentang seorang wanita aneh yang sewaktu-waktu keluar dari
kota Tengzhou dan berkeliling di daerah pedesaan. Dia itu seorang
Barat, tetapi ia suka berpakaian seperti seorang wanita Tionghoa
hanya saja, kakinya terlalu besar. Rupanya kaki wanita Amerika itu
tidak pernah diikat agar tetap kecil, seperti kaki wanita Tionghoa
pada abad yang lalu. Nama wanita asing itu, Mu Lah Die.
Sambil berkeliling dari desa ke desa , Mu Lah Die suka
bercerita. Ceritanya itu amat bagus! Ia bercerita bahwa Yang Maha
Agung sungguh mengasihi setiap orang, dan ingin menyelamatkan umat
manusia dari dosanya.
Mula-mla wanita asing itu hanya berkumpul dengan kaum wanita
dan anak-anak saja, karena menurut adat ia tidak layak bergaul dengan
kaum pria. Tetapi ternyata kaum pria tidak mau ketinggalan! Mereka
suka datang dan berdiri di pinggir kelompok wanita yang sedang asyik
mendengarkan cerita Mu Lah Die.
Kelompok yang mengelilingi tamu aneh itu makin lama makin
besar, sampai membanjiri halaman rumah penginapan. Maka tempat
pertemuan itu dipindahkan ke pengirikan, yakni lantai datar tempat
para petani biasa mengirik. Setiap kali Mu Lah Die muncul di desa,
baik pria maupun wanita berbondong-bondong datang di tempat yang
lebih luas itu.
Mu Lah Die tidak sampai ke Sah Ling, karena desa itu amat
kecil. Namun Si Kakek Lie termasuk di antara kaum pria yang tertarik
akan ceritanya. Ia bukan hanya ikut mendengarkan cerita Mu Lah Die di
desa yang dekat dengan Sah Ling; ia pun ikut mengantar Mu Lah Die
pulang ke rumahnya di kota Tengzhou, agar ia dapat mendengar lebih
banyak lagi tentang Yang Maha Agung yang mengasihi manusia.
"Ini, Bapak, cerita saya semuanya dimuat di sini," kata Mu
Lah Die pada suatu hari, seraya mengulurkan sebuah Buku kecil
kepadanya.
Si Kakek Lie malu mengakui bahwa ia buta huruf. Ia bungkuk
sebagai tanda hormat dan mengucapkan terima kasih atas hadiahnya
itu. Lalu ia pulang ke kampungnya.
Di desa Sah Ling, Si Kakek Lie segera mencari seorang saudara
sepupunya yang masih muda. Saudara sepupunya itu sedang belajar
kesusasteraan Tionghoa, agar kelak ia dapat lebih maju mungkin
menjadi seorang pegawai pemerintah Kekaisaran Tiongkok. Tentu saja ia
dapat membaca Buku kecil yang diserahkan kepadanya oleh si Kakek Lie.
"Pasti sangat penting, karena wanita asing yang aneh itu
memberikannya kepada saya," kata si Kakek Lie. "Bagaimana kalau kamu
membacakan Buku kecil ini kepada seisi desa Nak?"
Pemuda yang berpendidikan klasik itu tidak keberatan. Ia
senang, malah, karena ada kesempatan untuk memamerkan kepandainnya.
maka ia mulai membacakan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Mandarin
kepada seluruh penduduk desa Sah Ling . . . .
Mata Pendeta Lie berbinar-binar pada saat ia mengakhiri
ceritanya: "Sayalah pemuda yang berpendidikan itu! Dan oleh karena
membacakan Kitab Perjanjian Baru itulah, saya sendiri menjadi seorang
pengikut Tuhan Yesus."
Dr. Maddry ikut terharu. Di gedung penerbitan Kristen, ia
pernah melihat sebuah Kitab Perjanjian Baru bahasa Mandarin berukuran
kecil, sama seperti yang diceritakan oleh saudara seimannya yang
sudah tua itu. Perjanjian Baru edisi kecil seperti itu, harganya
kurang lebih sepuluh sen uang Amerika.
"Pendeta Lie," tanya Dr. Maddry dengan lemah lembut, "Bapak
sudah berpuluh-puluh tahun menjadi seorang pengabar Injil. Selama
setengah abad ini, kira-kira berapa orangkah yang telah menjadi
orang Kristen melalui kesaksian Bapak?"
Pendeta Lie menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah botak
itu. "Wah, kurang tahu saya, Pak," ia mengakui dengan terus terang
"Saya belum pernah menghitung. "Tetapi inilah yang saya ketahui: Saya
sempat membaptiskan lima ribu orang Kristen baru."
Dr. Maddry merasa lebih terharu lagi. Di samping membaptiskan
lima ribu orang, pasti Pendeta Lie juga mempengaruhi lebih banyak
orang lagi, sehingga mereka pun menjadi percaya kepada Tuhan Yesus.
Lima puluh tahun yang silam, di Amerika ada seorang Kristen
yang memasukkan sepuluh sen saja ke dalam tempat persembahan untuk
pengabaran Injil, kata Dr. Maddry dalam hati. Sepuluh sen itu
kemudian dipakai untuk biaya mencetak sebuah Kitab Perjanjian Baru
berukuran kecil, yang dihadiahkan oleh seorang pengabar Injil wanita.
Dan dari persembahan yang hanya sepuluh sen itulah, mungkin sebanyak
sepuluh ribu jiwa sudah masuk Kerajaan Surga!
TAMAT