44. ALKITAB YANG TETAP BERSIH
(Amerika Serikat, awal abad ke-20)
"Ya, boleh, Nak," kata seorang ibu rumah tangga kepada
seorang anak laki-laki belasan tahun yang sedang berdiri di depan
pintu rumahnya. "Kamu boleh menyewa kamar di sini selama bersekolah.
Tetapi ibu tidak sanggup membersihkan kamar itu. Kamulah yang harus
membersihkannya, ya? Dengan demikian Ibu dapat memberi harga sewa
yang lebih murah."
Nama anak remaja Amerika itu John. Ia seorang putra desa yang
terpaksa harus tinggal di sebuah kota kecil kalau mau meneruskan
pendidikannya pada tingkat SLTA.
Terus terang, si John tidak begitu senang mendengar bahwa ia
harus membersihkan kamarnya sendiri. Tetapi ia merasa dapat berbuat
demikian kalau terpaksa. Memang, ibu tidak menentukan berapa sering
saya harus membersihkan kamar, begitulah pikirannya. Maka John setuju
akan menyewa kamar itu.
Beberapa hari setelah John mulai memakai kamar itu, ketika ia
pulang dari sekolah, ia menemukan sebuah Alkitab di atas mejanya.
Alkitab itu bukan milik John; pasti orang lain telah meletakkannya di
situ.
John mengangkat Alkitab itu. Di atasnya ada secarik
kertas dengan tulisan: "Inilah Buku yang paling baik di seluruh
dunia. Mudah-mudahan kamu akan membacanya setiap hari."
John tersenyum sinis. Peduli amat dengan Alkitab! katanya
pada diri sendiri. Dulu, waktu ia masih kecil, kadang-kadang si John
pergi ke gereja dengan neneknya. Tetapi sejak di gereja desa itu, ia
tidak pernah lagi membuka-buka Alkitab.
"Saya tidak perlu membaca Alkitab," gumamnya. Lalu ia
merebahkan diri di tempat tidurnya yang kumal dan mulai membaca
sebuah cerita . . . .
Dua minggu sudah lewat. John belum berbuat apa-apa untuk
membereskan kamarnya. Tempat tidurnya tetap kumal; lantai tidak
disapu; di atas setiap benda di kamar sewaan itu ada lapisan debu.
Namun dengan lewatnya waktu, John memperhatikan sesuatu yang
aneh. Betapa pun tebalnya lapisan debu di atas lemari, meja, dan
lantai, Alkitab itu tetap bersih. Ibu rumah tangga itu sedang
menunggu dengan sabar sampai si John memenuhi janjinya dengan mulai
membersihkan kamarnya. Tetapi sementara itu, setiap hari sang ibu
diam-diam masuk dan membersihkan Alkitab yang ia harapkan akan dibaca
oleh John.
John mulai merasa terganggu oleh keadaan kamarnya yang begitu
berantakan. Ia merindukan sebuah kamar yang bersih; namun ia tidak
berbuat apa-apa untuk membersihkannya. Pada waktu yang sama, John
juga mulai terasa terganggu karena ia mengalami banyak kesulitan di
sekolah. Tidak ada lagi ayah atau ibu yang menyuruh dia mengerjakan
PR-nya. Banyak waktu dihabiskannya dengan bermain dan membaca cerita.
Rupa-rupanya ia belum tahu bagaimana mengurus cara hidupnya sendiri.
Pada suatu hari John pulang dari sekolah dan berdiri sejenak
di ambang pintu kamarnya. Ia melongok dan melihat-lihat ke dalam.
Alangkah kotornya! Namun heran, di tengah-tengah segala sesuatu yang
kotor dan berserakan itu, ada sebuah Alkitab yang tetap bersih.
Selama beberapa menit John masih mematung sambil melihat ke
arah Alkitab itu. Tiba-tiba ia duduk di kursi dekat mejanya dan
menggapai Alkitab yang senantiasa dibersihkannya itu. Ia masih ingat
letaknya beberapa ayat dan pasal yang dulu pernah dipelajarinya di
Sekolah Minggu, sewaktu ia masih seorang anak kecil di desa. Mulailah
dia membaca.
Sambil membaca Alkitab, John menjadi sadar akan
pikiran-pikiran baru yang sedang muncul dibenaknya. Saya ini sangat
malas, katanya pada diri sendiri. Saya belum memenuhi janji saya
kepada ibu itu, tentang membersihkan kamar ini. Dan saya pun
bermalas-malasan saja di sekolah.
Rasanya di dalam Alkitab ada sebuah ayat entah di mana
letaknya yang berbunyi begini: "Segala sesuatu yang dijumpai
tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga." John tidak
ingat lagi penunjuk ayat Pengkhotbah 9:10, namun ia yakin bahwa dulu
ia pernah menghafalkan ayat itu.
Mungkin . . . mungkin jika saya membaca Alkitab, hal itu akan
menolong diri saya, kata John dalam hati. Jika saya membaca tentang
cara hidup Tuhan Yesus, mungkin saya dapat belajar bagaimana membagi
waktu, bagaimana mengatur hidup saya sendiri.
John berdiri lagi. Ia melangkah ke lemari pakaiannya. Sang
ibu telah menggantungkan sebuah bulu ayam di situ, dengan harapan si
John akan memakainya. Bulu ayam itu kelihatannya masih baru, belum
pernah digunakan. John menggapainya dan mulai membersihkan meja; baru
kemudian ia meletakkan kembali Alkitab di atas meja itu . Lalu ia
turun ke dapur untuk mencari ember dan kain pel. Dengan tekun ia
bekerja terus, sampai kamarnya cukup bersih.
Entah apa sebabnya, . . . setelah itu setiap pelajaran
di sekolah si John mulai berjalan lebih lancar. Rupa-rupanya
John menjadi lebih pandai mengatur jadwal dan tugasnya. Memang
kamar sewaan itu kadang-kadang berantakan lagi, tetapi tidak
lama kemudian, pasti John membersihkannya kembali. Alkitab itu
masih tetap diletakkan di atas meja, tetapi hampir setiap hari
diambil dan dibuka-buka oleh si John: . . .
Bertahun-tahun sudah lewat. Pada suatu hari Minggu pagi, John
berdiri di belakang mimbar di sebuah gereja kecil. Ia membuka
Alkitab. Dengan suara jelas, dibacakannya kepada jemaat beberapa
ayat. Lalu ia duduk kembali.
Sementara paduan suara menyampaikan lagu istimewa, pikiran
John menerawang jauh . . . kembali kepada waktu ketika ia masih
seorang siswa SLTA, dan pada suatu hari ia membuka Alkitab yang tetap
bersih, di sebuah kamar sewaan yang pada waktu itu belum dibersihkan.
Semoga Tuhan memberkati ibu rumah tangga itu! kata John dalam
hati. Pasti ia akan merasa heran, seandainya ia dapat melihat saya
pada saat ini membacakan kata-kata yang indah dari Alkitab, sebagai
persiapan untuk menyampaikan khotbah saya yang pertama-tama di gereja
ini . . . yang saya sendiri menjadi gembala sidangnya!
TAMAT