43. JEMBATAN KE MADURA
(Indonesia, 1864 - 1994)
Pernahkan pembaca mendengar tentang jembatan sepanjang dua
puluh kilometer, yang hendak dibuat sebagai penghubung antara pulau
Jawa dan pulau Madura?
Mungkin pembaca pun sudah mendengar tentang adanya
berbagai-bagai hambatan berkenaan dengan proyek raksasa tersebut,
sehingga bertahun-tahun lamanya jembatan ke Madura itu belum jadi di
buat.
Pasal ini memang memuat kisah nyata tentang sebuah "Jembatan
ke Madura", tetapi bukan jembatan sepanjang dua puluh kilometer tadi.
Namun jembatan yang diceritakan di sini, juga cukup lama
mengalami berbagai-bagai hambatan, sehingga baru dapat dibuat setelah
130 tahun.
Jembatan itu tidak dilewati oleh truk, bis, dan mobil, tetapi
oleh kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus. "Jembatan
ke Madura" yang dimaksud di sini, tak lain ialah Alkitab dalam bahasa
Madura, yang selama satu abad lebih penting penerbitannya
berkali-kali tertunda.
Mengapa begitu sulit menyediakan Firman Allah dalam bahasa
Madura? Suku Madura itu bukanlah sekelompok kecil orang-orang yang
tinggal di pedalaman, jauh dari orang lain. Di wilayah Indonesia,
mereka itu malah menempati posisi ketiga dalam daftar suku yang
terbanyak penduduknya. Letak pulau Madura itu sangat dekat dengan
pulau Jawa, sedangkan suku Jawa sudah memiliki Firman Allah dalam
bahasa ibu mereka sejak satu setengah abad yang lalu. Lagi pula,
banyak orang Madura yang tinggal di pulau Jawa; banyak juga yang
kawin dengan orang Jawa.
Namun kenyataannya, penerjemahan dan penerbitan Alkitab
bahasa Madura itu berkali-kali mengalami hambatan besar. Seolah-olah
ada kuasa kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di
antara orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka . . . .
Kisah panjang yang menyedihkan itu mulai satu setengah abad
yang lalu. Pada pertengahan abad ke-19, ada seorang penduduk pulau
Jawa keturunan Madura yang bernama Tosari. Setelah ia menjadi orang
Kristen pada tahun 1843, Bapak Tosari berusaha membawa Kabar Baik ke
pulau nenek moyangnya. Tetapi orang-orang Madura tidak mau menerima
dia. Lalu ia kembali ke Jawa Timur, dan atas kesaksiannya banyak
sekali orang Jawa menjadi percaya. Pada tahun-tahun terkemudian, ia
dijunjung tinggi sebagai salah seorang pendekar gereja Jawa, dengan
nama kehormatan: Kiayi Paulus Tosari.
Salah seorang utusan Injil dari negeri asing yang melayani di
Jawa Timur pada masa hidup Kiayi Paulus Tosari itu adalah Samuel
Harthoorn. Karena selisih pendapat dengan rekan-rekannya, Pdt.
Harthoorn pulang ke Belanda setelah beberapa tahun di pulau Jawa. Di
tanah airnya ia menikah, lalu kembali lagi ke Nusantara sebagai
seorang penginjil mandiri.
Pada tahun 1864 suami-istri itu mulai menetap di Pamekasan,
sebuah ibu kota kabupaten di Madura. Selama empat tahun mereka
berusaha menjajaki persahabatan dengan penduduk setempat. Mereka
berharap bahwa keakraban itu dapat menjadi suatu jembatan
penginjilan.
Lalu . . . tragedi belaka. Pada tahun 1868, ketika Pdt.
Harthoorn sedang keluar kota, segerombolan orang Madura di Pamekasan
mengepung rumahnya dan membunuh istrinya. Setelah terjadi peristiwa
yang begitu mengerikan, duda yang berdukacita itu meninggalkan pulau
Madura selama-lamanya.
Sementara itu, di negeri Belanda ada seorang pendeta muda
yang pandai; namanya, J. P. Esser. Ia belajar teologia dan juga
belajar bahasa Madura, sampai ia mencapai gelar doktor. Pada tahun
1880 ia berusaha memasuki pulau Madura, tetapi tidak berhasil. Lalu
ia menetap di Bondowoso, dan kemudian, di Sumberpakem; konon, kedua
kota kecil di Jawa Timur itu penduduknya banyak yang keturunan suku
Madura.
Berkat usaha Dr. Esser dan kawan-kawannya, seorang Madura
bernama Ebing dibaptiskan pada tahun 1882. Berkali-kali Bapak Ebing
mengelilingi pulau Madura, sambil menyampaikan cerita-cerita Alkitab
yang telah diterjemahkan oleh Dr. Esser.
Pada tahun 1886, Dr. Esser sudah menyelesaikan terjemahan
seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura. Lalu ia
mengambil cuti dinas ke Belanda, agar terjemahannya itu dapat
diterbitkan. Tetapi proyek "Jembatan ke Madura" itu mengalami
berbagai-bagai hambatan. Hambatan yang terbesar: Dr. Esser sendiri
meninggal dunia pada umur yang masih muda, baru 37 tahun. Bahkan
sebagian hasil karyanya berupa naskah terjemahan itu rupa-rupanya
hilang.
Pada tahun 1889, yaitu tahun meninggalnya Dr. Esser, Tuhan
telah menyediakan seorang penggantinya. Dia itu seorang pendeta muda
bernama H. van der Spiegel, yang merasa terharu ketika mendengar
tentang gugurnya Dr. Esser. Pada tahun 1889 itu juga ia berangkat ke
Jawa Timur, untuk meneruskan pelayanan almarhum Dr. Esser di
Bondowoso dan di Sumberpakem. Ia pun mengerahkan tiga orang Madura
untuk menolong memperbaiki dan menyempurnakan naskah Kitab Perjanjian
Baru peninggalan Esser itu.
Ketika naskah buram terjemahan itu sudah selesai, Pdt. Van
der Spiegel sempat mengunjungi pulau Madura. Atas dasar perkenalannya
dengan orang-orang Madura di sana, ia pun meredaksikan kembali hasil
karyanya. Lalu pada tahun 1903 ia pulang ke Belanda, dengan tujuan
menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Madura sama seperti
Dr. Esser 17 tahun sebelumnya.
Tetapi selama Pdt. Van der Spiegel memperjuangkan proyek
penerbitannya di Belanda, kembali tragedi menimpa di antara umat
Kristen Madura. Gereja tempat pelayanan Bapak Ebing di Slateng itu
dibakar. Seorang penginjil Madura lainnya bersama istrinya nyaris
mati, pada saat rumah mereka di Sumberpakem dikepung dan dibakar.
Mungkin hambatan itu membawa pengaruhnya pula di Belanda,
sehingga hasil karya Van der Spiegel yang jadi diterbitkan, hanyalah
dua Kitab Injil saja, ditambah sebuah buku yang memuat 104 cerita
Alkitab dalam bahasa Madura. Bahkan ketika Pdt. Van der Spiegel
meninggal pada tahun 1919, masih belum keluar Kitab Perjanjian Baru
bahasa Madura yang lengkap.
Salah seorang rekan sekerja Pendeta Van der Spiegel ialah
Pendeta F. Shelfhorst, yang telah melayani di Bondowoso dan di
Sumberpakem sejak tahun 1904. Seorang penginjil suku Madura
memberitahu Pendeta Shelfhorst bahwa orang-orang Madura di kepulauan
Kangean, di sebelah timur pulau Madura, rupa-rupanya lebih terbuka
terhadap Kabar Injil daripada orang-orang Madura di pulau induknya.
Berita yang membesarkan hati itu tidak disia-siakan oleh
Pendeta Shelfhorst. Dari tahun 1912, ia tinggal dengan keluarganya di
Pandeman, Kangean. Pendeta Shelfhorst memberi banyak bantuan
pengobatan kepada para penghuni setempat. Ibu Shelfhorst membuka
kelas-kelas kepandaian putri. Sebagai jembatan Injil mereka juga
menggunakan lagu-lagu, gambar-gambar, cerita-cerita Alkitab, dan
kelompok diskusi. Namun hampir tidak ada seorang pun yang mengaku
percaya kepada Tuhan Yesus.
Setelah berpuluh-puluh tahun tanpa hasil nyata, Pendeta
Shelfhorst mulai mengkhususkan proyek penerjemahan Firman Tuhan. Pada
tahun 1933 Kitab Mazmur bahasa Madura diterbitkan, berbentuk sebuah
buku yang indah, sangat mirip dengan kitab-kitab suci yang sudah
biasa beredar di kalangan suku Madura.
Pada tahun 1935 Pendeta Shelfhorst pensiun atas permohonannya
sendiri. Tetapi ia tidak pulang ke Belanda! Malahan ia menetap di
pegunungan Jawa Timur sambil menerjemahkan Firman Tuhan dengan giat
serta mengutus keluar para penjual bahan cetakan Kristen. Hasil
karyanya berupa Surat-Surat Perjanjian Baru dalam bahasa Madura itu
ada banyak yang distensil dan dibawa para pembantunya ke mana-mana.
Ketika Pendeta Shelfhorst masih di tengah-tengah pelayanannya
di daerah pegunungan itu, bala tentara Jepang mengepung Jawa Timur
pada tahun 1942. Tiga tahun kemudian, ia meninggal dalam sebuah kamp
tahanan Jepang di Jawa Tengah, setelah selama 41 tahun berusaha untuk
menginjili suku Madura. Dan terjemahannya berupa stensilan itu tidak
pernah diterbitkan.
Salah seorang kawan senasib Pendeta Shelfhorst di kamp
tahanan itu adalah A. J. Swanborn, seorang Belanda keturunan Swedia.
Sudah berpuluh-puluh tahun ia pun berusaha menginjili suku Madura,
namun kisah karirnya sangat berbeda dengan riwayat Pendeta
Shelfhorst.
Sejak masa mudanya di Belanda, A.J. Swanborn merasakan
panggilan Tuhan untuk pergi ke pulau Madura dan menyampaikan kisah
kasih Tuhan Yesus. Namun rupanya untuk ke pulau Madura itu tidak ada
jembatan yang dapat dilewatinya. Pada tahun 1899, memang ia ditunjuk
menjadi utusan Injil, tetapi ia ditugasi ke pulau-pulau
Sangir-Talaud, lalu ke Jakarta, kemudian ke Yogyakarta, dan akhirnya
ke Kalimantan Selatan.
Namun A. J. Swanborn masih tetap merasakan panggilan Tuhan
untuk menaati Amanat Agung-Nya di pulau Madura. Karena badan Zeding
tidak setuju mengutus dia ke sana, ia mengundurkan diri sebagai
utusan Injil. Kemudian ia menjadi seorang pegawai sipil pemerintah
Hindia Belanda. Pada tahun 1914 ia dikirim ke kota Pamekasan sebagai
kepala sekolah rakyat. Di sekolah itu ia memang tidak boleh
mengabarkan Injil. Tetapi pada sore hari ia membuka sebuah sekolah
swasta atas biayanya sendiri. Melalui usaha itulah ia mulai
menginjili anak-anak Madura.
Bapak Swanborn juga berusaha menerjemahkan Firman Allah ke
dalam bahasa Madura. Ia pun masih di tengah-tengah pelayanannya pada
saat bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia. Sama seperti
Pdt. F. Shelfhorst, ia juga ditahan, dan kebetulan kedua kakek yang
sangat setia ini ditampung di Jawa Tengah, di kamp yang sama.
Di situ kedua-duanya dengan gigih memperjuangkan proyek
penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Madura. Rupanya pendeta
Shelfhorst mengukhususkan Surat-Surat Perjanjian Baru, sedangkan
spesialisasi Bapak Swanborn adalah keempat Kitab Injil dan Kisah Para
Rasul. Sama seperti Pendeta Shelfhorst, Bapak Swanborn juga meninggal
dalam tahanan pada bulan Mei 1945, hanya beberapa minggu saja
sebelum Perang Dunia Kedua mereda.
Naskah terjemahan Bapak Swanborn itu diwariskannya kepada
putri-putrinya. Mereka mengirim naskah yang sangat berharga itu
kepada perwakilan Lembaga Alkitab Belanda di kota Bandung. Namun
. . . celaka lagi. Konon, masa itu masa perjuangan fisik kemerdekaan
Indonesia. Dalam kerusuhan peperangan, naskah tadi rupa-rupanya tidak
pernah sampai ke tangan orang-orang yang dapat mengusahakan
penerbitannya . . .
Nah, bagaimana pendapat pembaca, setelah menelusuri kisah
tragedi yang berulang-ulang? Bukankah seolah-olah ada kuasa kegelapan
yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara orang-orang
Madura dalam bahasa ibu mereka?
Syukurlah, ceritanya tidak berakhir sampai di situ saja!
Pada bulan September 1994, yaitu genap 130 tahun sejak Pdt.
Samuel Harthoorn beserta istrinya mula-mula pindah ke Pamekasan,
Lembaga Alkitab Indonesia berhasil menerbitkan Alkitab lengkap dalam
bahasa Madura.
Kini "Jembatan ke Madura" itu sudah menjadi kenyataan. Maukah
Saudara turut mendoakan, semoga kasih Allah yang dicurahkan-Nya
melalui Yesus Kristus akan melewati jembatan itu sehingga masuk ke
dalam hati dan jiwa banyak orang Madura?
TAMAT