42. MATA YANG MENDENGAR, JARI YANG MELIHAT
(Perancis dan seluruh dunia, 1824 hingga kini)
Berita Alkitab itu diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di
seluruh dunia, bukankah begitu?
Akan tetapi, . . . bagaimana dengan manusia yang tidak dapat
melihat? Bagaimana dengan manusia yang tidak dapat mendengar?
Bagaimana dengan manusia yang memang dapat melihat dan mendengar,
namun tidak dapat membaca? Bukankah mereka itu juga berhak memperoleh
berita Alkitab?
Ada bermacam-macam cara menyampaikan Firman Allah kepada
orang-orang yang buta, yang tuli, atau yang buta huruf. Pasal 3 dan
pasal 11 dalam buku ini, serta beberapa pasal dalam jilid-jilid lain
dari buku seri ini, memuat kisah nyata tentang hamba-hamba Tuhan yang
pernah menyusun abjad untuk bahasa yang belum pernah ditulis, lalu
mengajarkannya kepada orang-orang buta huruf sehingga mereka dapat
membaca Alkitab dalam bahasa ibu mereka.
Akan tetapi, . . . bagaimana kalau ada orang-orang tertentu
yang tidak begitu berminat belajar membaca? Bagaimana kalau ada suku
terasing yang sama sekali tidak peduli akan hal tulisan atau bahan
cetakan? Bagaimana kalau menurut adat kebiasaan suku itu, segala
sesuatu sebaiknya disampaikan secara lisan saja?
Untuk orang-orang seperti itu, ada banyak pengabar Injil di
seluruh dunia yang suka menyampaikan inti Alkitab berupa serangkaian
cerita. Mereka bercerita mulai dengan penciptaan alam, dan mencapai
puncaknya dengan menceritakan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Kadang-kadang ada cerita-cerita Alkitab yang direkam; lalu rekaman
itu diputar di daerah pemukiman yang terpencil. Kadang-kadang ada
juga gambar-gambar sederhana yang dapat turut menjelaskan "Alkitab
lisan" itu.
Lain lagi masalahnya di negeri Jepang. Konon, bangsa Jepang
pada umumnya sangat maju dan berpendidikan tinggi. Namun bagi orang
Jepang yang tuli, besar halanggannya jika ia hendak membaca Alkitab.
Sama seperti kaum tuna rungu di negeri-negeri lain, orang-orang tuli
di Jepang itu dapat berkomunikasi melalui isyarat tangan. Akan
tetapi, bahasa Jepang yang disampaikan melalui isyarat itu, agak
berbeda dengan bahasa Jepang yang ditulis. Banyak seluk beluk yang
harus diperagakan dengan raut muka dan sikap badan. Oleh karena itu,
orang tuli di Jepang amat sulit membaca Alkitab dengan penuh
pengertian, walau dalam bahasanya sendiri sekalipun.
Pada tahun 1993, sekelompok umat Kristen di Jepang mulai
menyediakan Firman Allah dalam bentuk yang sungguh lain daripada yang
lain. Seorang Jepang yang pandai memperagakan bahasa isyarat itu
berturut-turut "membacakan" seluruh isi Kitab Injil Markus. Semua
gerak-geriknya itu diabadikan dengan bantuan sebuah kamera video.
Lalu rekaman video itu diperbanyak dan diedarkan kepada orang-orang
tuli di seluruh Jepang. Barulah mereka benar-benar dapat menangkap
seluruh arti Berita Baik tentang Tuhan Yesus. Boleh dikatakan,
orang-orang Jepang itu memperoleh Firman Tuhan melalui mata yang
mendengar.
Mungkin kisah nyata yang paling menarik tentang berbagai
macam usaha sepanjang abad untuk menyediakan Alkitab bagi orang-orang
yang ada kelainannya itu, ialah cerita tentang jari yang melihat.
Cerita itu dimulai hampir dua abad yang lalu, dengan seorang bocah
Perancis bernama Louis Braile . . . .
Louis Braile dilahirkan pada tahun 1809, di sebuah desa yang
letaknya tiga puluh kilometer di sebelah timur ibu kota Paris.
Ayahnya seorang tukang pembuat tali-temali. Si Louis suka bermain
dengan sisa-sisa kulit binatang yang dipakai di bengkel ayahnya. Pada
suatu hari, ketika ia berusaha membuat lubang dengan penggerek, alat
itu selip dan mengenai pada bola matanya.
Sebagai akibat kecelakaan itu, Louis Braille menjadi buta
sama sekali. Namun ia masih tetap ingin belajar tentang segala
sesuatu, masih tetap ingin menikmati hidupnya sepenuhnya. Dengan
bantuan orang tua dan kakak-kakaknya, bocah tuna netra itu menemukan
berbagai-bagai cara untuk memanfaatkan setiap kecakapan yang masih
ada padanya. Misalnya: Bila ia mencium bau daging ayam, bawang, dan
kentang, ia tahu bahwa ibunya sedang memasak sup. Bila ia mendengar
bunyi gerabak-gerubuk roda besar di jalan, ia tahu bahwa tetanggannya
sedang membawa hasil tani ke pasar.
Tetapi anggota tubuh yang paling menolong si Louis untuk
mengalami keanekaragaman dunia di sekitarnya itu ialah, kesepuluh
jarinya. Dengan jari-jarinya itu ia dapat menjamah sehingga dapat
membedakan buah apel dengan buah jeruk, alat penggerek dengan alat
pengikis, kotak kecil dengan buku besar.
Nah, buku-uku itu! Khususnya buku-buku yang menarik perhatian
si Louis. Ia senang mendengar cerita yang disampaikan oleh orang
lain. Namun dalam hatinya ia bertanya: Kapan aku dapat membaca
sendiri buku-buku yang memuat cerita-cerita itu?
Pada umur sepuluh tahun, Louis Braille meninggalkan rumah
orang tuanya dan pergi ke Paris, karena ia telah diterima di sebuah
sekolah khusus untuk anak-anak buta. Ia sangat merindukan
keluarganya. Namun ia senang dapat pergi ke sekolah, karena ia telah
mendengar, di sekolah itu anak-anak tuna netra pun dapat belajar
membaca buku.
Memang di sekolah itu ada buku-buku khusus untuk orang buta.
Setiap buku itu besar sekali, karena di dalamnya setiap huruf harus
dicetak menonjol. Dengan menjamah huruf-huruf yang besar itu satu
persatu, si Louis dapat mengenali bentuk tonjolannya. Lalu dengan
susah payah ia dapat mengingat deretan huruf-huruf yang digabung itu
sehingga menjadi kalimat.
Perlahan-lahan saja cara Louis Braille dapat membaca! Namun
dalam waktu yang singkat, ia telah berhasil membaca semua buku yang
ada di perpustakaan sekolah khusus itu.
"Mahal sekali mencetak sebuah buku gede dengan huruf-huruf
yang menonjol begini!" para guru menjelaskan kepadanya. "Kau tidak
usah mengharapkan orang akan mencetak banyak buku semacam itu."
Louis Braille sungguh merasa kecewa pada saat ia menyadari
bahwa jumlah buku dalam perpustakaan khusus di sekolah anak-anak buta
di ibu kota itu kurang dari dua puluh jilid. Tetapi ia berbesar hati
bila para guru mulai mengajar ketrampilan-ketrampilan lain, di
samping membaca. Ia menjadi pandai memainkan piano, organ, dan selo
(semacam alat musik gesek yang mirip biola tetapi ukurannya lebih
besar). Ada juga bengkel pembuat sepatu di sekolah itu, dan si Louis
begitu rajin bekerja sehingga ia ditunjuk menjadi mandornya.
Pada umur dua belas tahun, Louis Braille sempat bertemu
dengan mantan guru kepala sekolah khusus itu, yakni orang yang
mula-mula medapat gagasan mencetak buku-buku besar dengan huruf-huruf
menonjol. Si Louis sangat menghargai jasa guru pensiunan yang sudah
tua itu. Namun ia pun rindu menemukan suatu cara untuk menghasilkan
banyak buku bagi orang buta, dan bukan hanya sedikit saja.
Rasanya harus ada semacam abjad khusus, kata Louis Braille
pada diri sendiri. Setiap huruf dalam abjad baru itu harus cukup
sederhana, dan harus juga cukup kecil sehingga dapat dirasakan oleh
ujung jari manusia.
Pada waktu liburan sekolah, si Louis pulang ke desa.
Sepanjang masa libur itu, ia tekun mengadakan percobaan dengan
bermacam-macam bahan baku dan alat pertukangan. Ia berusaha menyusun
suatu abjad baru dengan memakai berbagai-bagai bentuk: bulat,
segitiga, dan persegi empat. Bahkan ia berusaha menggunakan
tanda-tanda zodiak sebagai pengganti huruf-huruf biasa. Namun semua
usahanya itu sia-sia belaka.
Bila Louis Braille dan teman-temannya kembali ke sekolah di
ibu kota, kepada mereka guru kepala menyerahkan beberapa helai kertas
tebal dengan bintik-bintik kecil yang terasa menonjol. "Seorang
perwira tentara telah menyesuaikan semacam kode Morse sehingga dapat
dipakai pada waktu malam," kata guru kepala itu. "Di tempat yang
sedang terjadi peperangan, berbahaya sekali pada malam hari jika
menyalakan lilin atau lampu. Jadi, melalui sistem ini, para tentara
dapat menjamah berbagai tonjolan, dan dengan demikian mereka dapat
mengerti perintah yang hendak disampaikan oleh atasan mereka."
Nah, ini dia! kata Louis Braille dalam hati. Ia sudah
menemukan prinsip abjad baru yang sangat dirindukannya itu. Aku dapat
membuat tonjolan-tonjolan kecil seperti ini, dengan menggunakan alat
penggerek dari bengkel ayahku. Tetapi . . . sistem sang perwira ini
masih kurang praktis, karena tidak cocok dengan ukuran ujung jari
manusia.
Jika manusia menudingkan jari, ujungnya itu berbentuk lebih
meninggi daripada melebar. Jadi, pada kertas tebal si Louis membuat
susunan enam bintik tonjolan; susunan itu tingginya tiga bintik dan
lebarnya dua bintik. Sedikit demi sedikit ia menyusun berbagai-bagai
kombinasi antara keenam bintik tonjolan itu, sehingga dengan demikian
ia dapat membuat sebuah abjad baru. Dan abjad itu dapat dijamah
dengan cepat oleh jari-jari manusia, sehingga dengan demikian orang
buta dapat membaca banyak buku! . . .
Ya, sungguh menakjubkan: Tulisan Braille itu ditemukan oleh
seorang bocah Perancis yang baru berumur 15 tahun. Memang sistemnya
itu masih perlu diperkembangkan dan disempurnakan. Namun tulisan
Braille, yang pada masa kini dikenal di seluruh dunia, semuanya
berasal dari penemuan si Louis pada tahun 1824 itu.
Sebagai seorang dewasa, Louis Braille menjadi guru anak-anak
tuna netra dan pemain organ di gereja. Lama sekali ia harus
memperjuangkan sistem tulisannya itu. Ia pun meninggal tahun 1852
pada umur relatif muda, sebelum tulisan Braille itu menjadi lazim di
mana-mana. Namun lambat laun sistemnya itu terbukti secara tuntas
sebagai cara yang paling praktis untuk menyediakan banyak buku bagi
kaum tuna netra.
Kitab lengkap yang pertama-tama dicetak dalam tulisan Braille
itu adalah Kitab Mazmur. Contoh singkat yang dipakai untuk
memperkenalkan tulisan Braille dalam bahasa Italia, bahasa Spanyol,
bahasa Jerman, dan bahasa Inggris ialah, Doa Bapa Kami. Pada masa
sekarang, sudah ada Alkitab tulisan Braille dalam berpuluh-puluh
bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Satu Alkitab lengkap dengan
tulisan abjad khusus pada kertas tebal itu terdiri dua puluh jilid;
beratnya 41 kilogram.
Banyak orang buta di seluruh dunia yang dapat menerima Berita
Baik, oleh karena penemuan Louis Braille itu ketika ia baru berumur
15 tahun. Dengan jari yang melihat, kaum tuna netra di mana-mana
dapat memperoleh Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.
TAMAT