Home
       

Resources
Artikel
Artikel-artikel MISI
Bahan PA
Misi Allah Bagi Dunia &
Para Pengubah Dunia
Cerita Misi
Alkitab di Seluruh Dunia :
48 Kisah Nyata
Buku
Buku-buku Misi
Doa
Doa bagi Negara
Doa bagi Kota
Doa bagi Suku
PD Timotius
40 Hari Doa
e-KJDN
Info
Sejarah
Ulasan Tokoh MISI
Lembaga
Mengenal Lembaga MISI
Media
Berbagai program pengabaran Injil
Lintas Budaya
Lintas Religi
Profil Suku di Indonesia
Profil Bangsa
Profil Bangsa di Dunia
 
 Renungan
 Kesaksian
 
| bagian 33
dari 50 bagian

32. MENCARI ANAK YANG HILANG
(Paraguay, awal abad ke-20)

Senor Anuncio melangkah dengan mantap di jalanan desa. Ia tidak berjalan cepat, juga tidak berjalan pelan. Ia berjalan sesuai dengan cara berjalan seorang pria Paraguay yang pada hari itu harus menempuh perjalanan cukup jauh, dan tidak menghendaki capai.

Jas dan celana Senor Anuncio yang berwarna abu-abu itu rapi sekali. Tangan yang satu memegang tongkat, sedangkan tangannya yang satunya lagi menjinjing sebuah koper kecil. Sebuah ransel kecil tergantung di bahunya. Tadi pagi waktu berangkat sepatunya mengkilap, tetapi menjelang siang sepatunya itu sudah berdebu.

Ketika Senor Anuncio melewati para petani di ladang, mereka memandang dia dengan perasaan heran. Dari cara berpakaian, mereka dapat melihat bahwa dia itu orang kota, bukan orang desa.

"Kok . . . kenapa ada senor dari kota di sini?" mereka bergumam seorang kepada yang lain. "Jarang sekali ada orang seperti itu yang berjalan kaki ke desa kita! Biasanya orang-orang kaya dari kota seperti dia suka naik kuda dengan cepat, sehingga ayam-ayam kita tergiring ke pinggir jalan."

Jadi, Senor Anuncio sudah menjadi sasaran mata orang sewaktu ia melangkah di jalanan desa itu. Tetapi ia tidak menghiraukan tatapan mereka. Ia memegang kopernya dengan lebih ketat, sambil memperhatikan burung dan binatang kecil yang berlari-lari di pinggir jalan.

Sudah beberapa hari Senor Anuncio berjalan. Ia telah meninggalkan rumahnya di kota besar dengan membawa ransel yang memuat banyak Kitab Injil berukuran kecil. Menurut rencana, ia akan berjalan sejauh desa Nogales, yang telah dicarinya di peta. Dari Nogales ia akan berjalan kembali melalui setiap desa yang sudah dilaluinya, dan ia akan membacakan Kitab Injil kepada penduduk setiap desa itu. Harapan Senor Anuncio ialah, ia akan dapat menjual Kitab-Kitab Injil berukuran kecil kepada orang-orang desa itu sebanyak mungkin.

Ya, Senor Anuncio adalah seorang penjual Alkitab. Pekerjaannya sehari-hari ialah, berusaha menolong orang sebanyak mungkin agar mempunyai firman Allah. Bagi mereka yang uangnya tidak mencukupi untuk membeli seluruh Alkitab, ia pun menyediakan Kitab Injil berukuran kecil dengan harga murah.

Senor Anuncio mendekati sebuah desa. Rasanya inilah tempat yang dituju, namun ia belum yakin. Ia bertanya kepada sekelompok anak-anak yang sedang bermain di bawah naungan pohon yang rindang.

"Betul, Senor, inilah desa Nogales," jawab anak-anak itu. "Alun-alun sudah kelihatan' tuh, di sana. Desa kami sangat kecil," mereka menambahkan.

Senor Anuncio tersenyum. "Maukah kalian mendengar sebuah cerita?" tanyanya.

"Mau, mau!" mereka berseru serentak. Anak-anak itu mengerumuni Senor Anuncio. Sebenarnya tidak usah bertanya kepada mereka; bukankah mereka selalu mau mendengar cerita? Anak-anak itu tidak mempunyai buku, sebuah pun tidak; jadi, cerita-cerita yang mereka ketahui, hanyalah kisah dan dongeng yang dituturkan oleh orang-orang dewasa.

Senor Anuncio pindah tempat, lalu duduk lagi di atas sebuah balok kayu. Anak-anak berkumpul mengelilingi dia, sambil duduk di atas rumput.

"Sekali peristiwa . . .," demikianlah cara memulainya. Dan ia pun mulai menyampaikan salah satu cerita yang sangat digemari anak-anak sejak isi Alkitab mula-mula dituturkan oleh para ibu, bapak, nenek, dan kakek.

Hanya satu cerita sajakah? Wah, dua cerita, tiga, empat . . . sampai tujuh cerita Alkitab disampaikan oleh Senor Anuncio. Namun anak-anak itu masih merengek-rengek, "Satu lagi, hai Senor! Ayo, satu lagi!"

"Hanya satu lagi," ia mengiakan.

Kali ini Senor Anuncio membawakan sebuah cerita yang terkenal, tentang seorang anak laki-laki yang bodoh. Anak itu mengambil uang bagiannya milik ayahnya. Lalu ia pergi ke suatu negeri yang jauh dan memboroskan seluruh uangnya dengan hidup berfoya-foya.

Senor Anuncio tidak memperhatikan bahwa seorang pria dewasa ikut mendengarkan. Orang desa itu sudah tua. Dengan tertatih-tatih ia mendekat dan berdiri dengan tenang di belakang tempat duduk anak-anak itu. Setelah semua cerita selesai, setelah semua anak pulang, barulah pria itu mulai berbicara kepada Senor Anuncio.

"Coba ceritakan, Pak," ajak Senor Anuncio.

Ayah yang sudah tua itu terus bercerita. Sangat besar kasihnya terhadap anak laki-laki itu! "Sepanjang hari ibunya dan aku sedih," katanya. "Kami terus merindukannya agar ia pulang lagi. Ia pergi dari sini sehabis panen tebu, dan itu 'kan sudah lama. Jika ada niat hati akan pulang, pasti ia sudah tiba. Ah!" Bapak itu mengeluh.

Di benak Senor Anuncio muncul sebuah pikiran: Aku akan pergi ke kota yang jauh itu! "Sepanjang hari ibunya dan aku sedih," katanya. "Kami terus merindukannya agar ia pulang lagi. Ia pergi dari sini sehabis panen tebu, dan itu 'kan sudah lama. Jika ada niat hati akan pulang, pasti ia sudah tiba. Ah!" Bapak itu mengeluh.

Maka Senor Anuncio merubah rencana perjalanannya. Ia memperpendek waktu yang tadinya akan digunakan untuk melewati desa-desa sambil memperdagangkan Kitab-Kitab Injil. Dengan segera ia pergi ke kota besar yang telah disebutkan oleh bapak tua itu. Ia mulai mencari beberapa orang yang namanya disebut-sebut juga. "Rupanya mereka itu kawan-kawan anakku," kata sang ayah yang bersedih hati.

Waktu Senor Anuncio menemui beberapa orang itu, ia pun mulai bertanya: "Apakah kalian mengenal seorang pemuda desa bernama Jorge? Ia berasal dari desa Nogales."

"Yah, . . . dulu kami mengenal dia," jawab mereka dengan was-was. Agaknya mereka curiga terhadap maksud tujuan Senor Anuncio.

"Dulu mengenal? Maksudnya, sekarang tidak lagi mengenal?"

"Sudah beberapa bulan belakangan ini, kita tidak bertemu lagi dengan dia," jawab orang-orang itu.

Senor Anuncio mengerutkan dahi dan menggelengkan kepalanya. Sudah jelas, ia merasa sangat prihatin terhadap pemuda desa itu.

Maka mantan kawan-kawannya itu memberanikan diri untuk memberitahukan tambahan berita lagi: "Kayaknya . . . si Jorge ikut sama `kelompok topi jahat'."

"Ah!" Senor Anuncio mengeluh. Mukanya kelihatan tambah sedih. "Itu berita buruk." Ia tahu benar siapa "kelompok topi jahat" itu: Mereka tak lain adalah para penyamun. Mereka mencari nafkah melalui pencurian dan perampokan.

Senor Anuncio pulang ke penginapan. Dalam hati ia bertanya-tanya, bagaimana ia harus bertindak selanjutnya.

Akhirnya ia mendapat akal. Di kota besar itu ia pergi ke suatu daerah di mana para pencuri suka bergerombol. Di sana ia berdiri di persimpangan jalan. Dengan suara mantap dan tenang ia mulai menceritakan perumpamaan anak yang hilang. Bila selesai menyampaikan ceritanya di tempat itu, ia pindah ke persimpangan lain yang berdekatan, dan mulai bercerita lagi. Kadang-kadang ia pun menyandarkan punggungnya pada tembok sebuah rumah yang letaknya tidak di persimpangan jalan, sambil sekali lagi menuturkan cerita yang sama.

Setiap kali Senor Anuncio membawakan cerita yang indah itu, ia selalu terkenang kembali kepada seorang ayah tua di desa, yang sangat mengharapkan agar anaknya pulang. Mungkin karena kenangannya, Senor Anuncio membaca kalimat pendek berikut ini: "Tolong naik tangga, ke tempatku."

Nah, itulah berita yang sudah lama diharapkan dan didoakan oleh Senor Anuncio. Ia segera memasuki rumah itu. Tanpa bertanya lebih dulu apakah di situ ada gerombolan pencuri, apakah tempatnya kurang aman untuk orang jujur, ia langsung saja menaiki tangga. Lalu ia mengetuk pintu kamar yang berjendela di tingkat atas, persis di atas tempat ia tadi menyandarkan punggungnya pada tembok.

Kamar itu sangat sempit. Di atas sebuah tempat tidur yang kumal duduklah seorang pemuda; mukanya sangat kebingungan.

"Aku mendengarkan Senor bercerita tadi," katanya. "Cerita itu tentang seseorang yang mirip dengan diriku. Aku sangat mengharapkan Senor rela datang kemari untuk bertukar pikiran dengan aku."

"Coba ceritakan pengalamanmu, Nak," ajak Senor Anuncio. Ia duduk di samping pemuda itu, di atas tempat tidurnya yang kumal.

"Dulu aku tinggal di sebuah desa yang bernama Nogales," begitu ia mulai. Mata Senor Anuncio berbinar-binar, tetapi ia tidak menyela. "Aku mengumpulkan uang hasil panen tebu, ditambah sejumlah uang yang dapat kupinjam dari ayahku. Rasanya di kota ini aku akan menjadi kaya. Tetapi aku memboroskan uang itu dengan cara-cara yang bodoh. Memang ada beberapa kawan yang menolongku, tetapi bila uangku sudah ludes, mereka meninggalkan aku begitu saja."

Pemuda itu menopang dahinya pada kedua belah tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bodoh, aku bodoh!" cetusnya. "Mestinya aku pulang, tapi aku malu. Mungkin ayahku sangat marah. Lebih baik ia menganggap aku sudah mati, daripada pulang dengan saku yang terkuras habis."

Senor Anuncio menganggukkan kepala sebagai tanda bersimpati. Tetapi sepatah kata pun ia tidak mengucapkan.

"Malam ini aku mendengar cerita yang disampaikan Senor di jalanan, kata pemuda itu selanjutnya. "Ayah dalam cerita itu justru tidak marah. Ia masih mengasihi anaknya. Apakah . . . apakah Senor berpendapat . . . seandainya aku pulang kembali sama seperti anak laki-laki dalam cerita itu, masih ada kemungkinan aku akan disambut ayahku?"

"Kemungkinannya memang ada, " kata Senor Anuncio. "Malah sangat besar kemungkinannya." Lalu ia pun bercerita tentang perjalanannya ke desa Nogales, . . . tentang seorang ayah tua, yang dengan diam-diam datang mendekat agar ia dapat ikut mendengarkan, . . . tentang kisah nyata yang pahit, yang kemudian disampaikan oleh ayah tua itu.

"Mungkinkah?" tanya Senor Anuincio. "Mungkin . . . engkaukah anaknya itu?"

Pemuda itu berdiri tegak. Ia Memandang langsung ke muka Senor Anuncio. "Akulah dia. Namaku Jorge. Malam ini juga aku akan meninggalkan kota ini. Aku akan pulang, akan mencari pekerjaan di desa, akan bekerja kers. Biar kubuktikan kepada ayahku bahwa aku sangat menyesal atas kebodohanku yang dulu."

"Bagus!" kata Senor Anuncio. "Dan aku menghadiahkan sesuatu kepadamu untuk menolongmu ingat akan janjimu tadi." Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah Kitab Perjanjian Baru. "'Nih, bukalah!"

Kitab Suci kecil itu terbuka sendiri pada Injil Lukas pasal 15, karena sudah sekian kali Senor Anuncio membuka perumpamaan anak yang hilang yang terdapat di situ.

"Bacalah cerita ini," Senor Anuncio menasihatkan. "Bacalah juga cerita lainnya dalam Buku kecil ini. Bacalah ajaran-ajaran Tuhan Yesus. Engkau akan mulai mengasihi Dia. Pasti engkau ingin mengikut Dia."

Jorge menerima Kitab Perjanjian Baru itu. "Aku pasti akan membacakanya," janjinya dengan polos.

"Nah, tinggalkan segera tempat ini. Aku akan mengantarmu ke tempat penginapanku, sebab terlalu malam untuk berangkat malam ini," Senor Anuncio menawarkan.

Keesokan harinya Senor Anuncio berpamitan dengan pemuda itu. "Jangan lama-lama di jalan," ia mendesak. "Jangan mengulur waktu biar satu jam pun; ayah dan ibu yang mengaisihimu itu terus menunggumu."

Ketika pemuda itu dengan mantap memulai perjalanannya, Senor Anuncio terus memandang dia sampai menghilang di kejauhan. Ah, nanti di desa Nogales akan terjadi sukacita luar biasa! Demikianlah Senor Anuncio berkata kepada dirinya sendiri.

TAMAT

|





 Ke atas 
© 2003 YLSA