32. MENCARI ANAK YANG HILANG
(Paraguay, awal abad ke-20)
Senor Anuncio melangkah dengan mantap di jalanan desa. Ia
tidak berjalan cepat, juga tidak berjalan pelan. Ia berjalan sesuai
dengan cara berjalan seorang pria Paraguay yang pada hari itu harus
menempuh perjalanan cukup jauh, dan tidak menghendaki capai.
Jas dan celana Senor Anuncio yang berwarna abu-abu itu rapi
sekali. Tangan yang satu memegang tongkat, sedangkan tangannya yang
satunya lagi menjinjing sebuah koper kecil. Sebuah ransel kecil
tergantung di bahunya. Tadi pagi waktu berangkat sepatunya mengkilap,
tetapi menjelang siang sepatunya itu sudah berdebu.
Ketika Senor Anuncio melewati para petani di ladang, mereka
memandang dia dengan perasaan heran. Dari cara berpakaian, mereka
dapat melihat bahwa dia itu orang kota, bukan orang desa.
"Kok . . . kenapa ada senor dari kota di sini?" mereka
bergumam seorang kepada yang lain. "Jarang sekali ada orang seperti
itu yang berjalan kaki ke desa kita! Biasanya orang-orang kaya dari
kota seperti dia suka naik kuda dengan cepat, sehingga ayam-ayam
kita tergiring ke pinggir jalan."
Jadi, Senor Anuncio sudah menjadi sasaran mata orang sewaktu
ia melangkah di jalanan desa itu. Tetapi ia tidak menghiraukan
tatapan mereka. Ia memegang kopernya dengan lebih ketat, sambil
memperhatikan burung dan binatang kecil yang berlari-lari di pinggir
jalan.
Sudah beberapa hari Senor Anuncio berjalan. Ia telah
meninggalkan rumahnya di kota besar dengan membawa ransel yang memuat
banyak Kitab Injil berukuran kecil. Menurut rencana, ia akan berjalan
sejauh desa Nogales, yang telah dicarinya di peta. Dari Nogales ia
akan berjalan kembali melalui setiap desa yang sudah dilaluinya, dan
ia akan membacakan Kitab Injil kepada penduduk setiap desa itu.
Harapan Senor Anuncio ialah, ia akan dapat menjual Kitab-Kitab Injil
berukuran kecil kepada orang-orang desa itu sebanyak mungkin.
Ya, Senor Anuncio adalah seorang penjual Alkitab.
Pekerjaannya sehari-hari ialah, berusaha menolong orang sebanyak
mungkin agar mempunyai firman Allah. Bagi mereka yang uangnya tidak
mencukupi untuk membeli seluruh Alkitab, ia pun menyediakan Kitab
Injil berukuran kecil dengan harga murah.
Senor Anuncio mendekati sebuah desa. Rasanya inilah tempat
yang dituju, namun ia belum yakin. Ia bertanya kepada sekelompok
anak-anak yang sedang bermain di bawah naungan pohon yang rindang.
"Betul, Senor, inilah desa Nogales," jawab anak-anak itu.
"Alun-alun sudah kelihatan' tuh, di sana. Desa kami sangat
kecil," mereka menambahkan.
Senor Anuncio tersenyum. "Maukah kalian mendengar sebuah
cerita?" tanyanya.
"Mau, mau!" mereka berseru serentak. Anak-anak itu
mengerumuni Senor Anuncio. Sebenarnya tidak usah bertanya kepada
mereka; bukankah mereka selalu mau mendengar cerita? Anak-anak itu
tidak mempunyai buku, sebuah pun tidak; jadi, cerita-cerita yang
mereka ketahui, hanyalah kisah dan dongeng yang dituturkan oleh
orang-orang dewasa.
Senor Anuncio pindah tempat, lalu duduk lagi di atas sebuah
balok kayu. Anak-anak berkumpul mengelilingi dia, sambil duduk di
atas rumput.
"Sekali peristiwa . . .," demikianlah cara memulainya. Dan ia
pun mulai menyampaikan salah satu cerita yang sangat digemari
anak-anak sejak isi Alkitab mula-mula dituturkan oleh para ibu,
bapak, nenek, dan kakek.
Hanya satu cerita sajakah? Wah, dua cerita, tiga, empat . . .
sampai tujuh cerita Alkitab disampaikan oleh Senor Anuncio. Namun
anak-anak itu masih merengek-rengek, "Satu lagi, hai Senor! Ayo, satu
lagi!"
"Hanya satu lagi," ia mengiakan.
Kali ini Senor Anuncio membawakan sebuah cerita yang
terkenal, tentang seorang anak laki-laki yang bodoh. Anak itu
mengambil uang bagiannya milik ayahnya. Lalu ia pergi ke suatu negeri
yang jauh dan memboroskan seluruh uangnya dengan hidup berfoya-foya.
Senor Anuncio tidak memperhatikan bahwa seorang pria dewasa
ikut mendengarkan. Orang desa itu sudah tua. Dengan tertatih-tatih
ia mendekat dan berdiri dengan tenang di belakang tempat duduk
anak-anak itu. Setelah semua cerita selesai, setelah semua anak
pulang, barulah pria itu mulai berbicara kepada Senor Anuncio.
"Coba ceritakan, Pak," ajak Senor Anuncio.
Ayah yang sudah tua itu terus bercerita. Sangat besar
kasihnya terhadap anak laki-laki itu! "Sepanjang hari ibunya dan aku
sedih," katanya. "Kami terus merindukannya agar ia pulang lagi. Ia
pergi dari sini sehabis panen tebu, dan itu 'kan sudah lama. Jika ada
niat hati akan pulang, pasti ia sudah tiba. Ah!" Bapak itu mengeluh.
Di benak Senor Anuncio muncul sebuah pikiran: Aku akan pergi
ke kota yang jauh itu! "Sepanjang hari ibunya dan aku sedih,"
katanya. "Kami terus merindukannya agar ia pulang lagi. Ia pergi dari
sini sehabis panen tebu, dan itu 'kan sudah lama. Jika ada niat hati
akan pulang, pasti ia sudah tiba. Ah!" Bapak itu mengeluh.
Maka Senor Anuncio merubah rencana perjalanannya. Ia
memperpendek waktu yang tadinya akan digunakan untuk melewati
desa-desa sambil memperdagangkan Kitab-Kitab Injil. Dengan segera ia
pergi ke kota besar yang telah disebutkan oleh bapak tua itu. Ia
mulai mencari beberapa orang yang namanya disebut-sebut juga.
"Rupanya mereka itu kawan-kawan anakku," kata sang ayah yang bersedih
hati.
Waktu Senor Anuncio menemui beberapa orang itu, ia pun mulai
bertanya: "Apakah kalian mengenal seorang pemuda desa bernama Jorge?
Ia berasal dari desa Nogales."
"Yah, . . . dulu kami mengenal dia," jawab mereka dengan
was-was. Agaknya mereka curiga terhadap maksud tujuan Senor Anuncio.
"Dulu mengenal? Maksudnya, sekarang tidak lagi mengenal?"
"Sudah beberapa bulan belakangan ini, kita tidak bertemu lagi
dengan dia," jawab orang-orang itu.
Senor Anuncio mengerutkan dahi dan menggelengkan kepalanya.
Sudah jelas, ia merasa sangat prihatin terhadap pemuda desa itu.
Maka mantan kawan-kawannya itu memberanikan diri untuk
memberitahukan tambahan berita lagi: "Kayaknya . . . si Jorge ikut
sama `kelompok topi jahat'."
"Ah!" Senor Anuncio mengeluh. Mukanya kelihatan tambah sedih.
"Itu berita buruk." Ia tahu benar siapa "kelompok topi jahat" itu:
Mereka tak lain adalah para penyamun. Mereka mencari nafkah melalui
pencurian dan perampokan.
Senor Anuncio pulang ke penginapan. Dalam hati ia
bertanya-tanya, bagaimana ia harus bertindak selanjutnya.
Akhirnya ia mendapat akal. Di kota besar itu ia pergi ke
suatu daerah di mana para pencuri suka bergerombol. Di sana ia
berdiri di persimpangan jalan. Dengan suara mantap dan tenang ia
mulai menceritakan perumpamaan anak yang hilang. Bila selesai
menyampaikan ceritanya di tempat itu, ia pindah ke persimpangan lain
yang berdekatan, dan mulai bercerita lagi. Kadang-kadang ia pun
menyandarkan punggungnya pada tembok sebuah rumah yang letaknya tidak
di persimpangan jalan, sambil sekali lagi menuturkan cerita yang
sama.
Setiap kali Senor Anuncio membawakan cerita yang indah itu,
ia selalu terkenang kembali kepada seorang ayah tua di desa, yang
sangat mengharapkan agar anaknya pulang. Mungkin karena kenangannya,
Senor Anuncio membaca kalimat pendek berikut ini: "Tolong naik
tangga, ke tempatku."
Nah, itulah berita yang sudah lama diharapkan dan didoakan
oleh Senor Anuncio. Ia segera memasuki rumah itu. Tanpa bertanya
lebih dulu apakah di situ ada gerombolan pencuri, apakah tempatnya
kurang aman untuk orang jujur, ia langsung saja menaiki tangga. Lalu
ia mengetuk pintu kamar yang berjendela di tingkat atas, persis di
atas tempat ia tadi menyandarkan punggungnya pada tembok.
Kamar itu sangat sempit. Di atas sebuah tempat tidur yang
kumal duduklah seorang pemuda; mukanya sangat kebingungan.
"Aku mendengarkan Senor bercerita tadi," katanya. "Cerita itu
tentang seseorang yang mirip dengan diriku. Aku sangat mengharapkan
Senor rela datang kemari untuk bertukar pikiran dengan aku."
"Coba ceritakan pengalamanmu, Nak," ajak Senor Anuncio. Ia
duduk di samping pemuda itu, di atas tempat tidurnya yang kumal.
"Dulu aku tinggal di sebuah desa yang bernama Nogales,"
begitu ia mulai. Mata Senor Anuncio berbinar-binar, tetapi ia tidak
menyela. "Aku mengumpulkan uang hasil panen tebu, ditambah sejumlah
uang yang dapat kupinjam dari ayahku. Rasanya di kota ini aku akan
menjadi kaya. Tetapi aku memboroskan uang itu dengan cara-cara yang
bodoh. Memang ada beberapa kawan yang menolongku, tetapi bila uangku
sudah ludes, mereka meninggalkan aku begitu saja."
Pemuda itu menopang dahinya pada kedua belah tangannya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bodoh, aku bodoh!" cetusnya.
"Mestinya aku pulang, tapi aku malu. Mungkin ayahku sangat marah.
Lebih baik ia menganggap aku sudah mati, daripada pulang dengan saku
yang terkuras habis."
Senor Anuncio menganggukkan kepala sebagai tanda bersimpati.
Tetapi sepatah kata pun ia tidak mengucapkan.
"Malam ini aku mendengar cerita yang disampaikan Senor di
jalanan, kata pemuda itu selanjutnya. "Ayah dalam cerita itu justru
tidak marah. Ia masih mengasihi anaknya. Apakah . . . apakah Senor
berpendapat . . . seandainya aku pulang kembali sama seperti anak
laki-laki dalam cerita itu, masih ada kemungkinan aku akan disambut
ayahku?"
"Kemungkinannya memang ada, " kata Senor Anuncio. "Malah
sangat besar kemungkinannya." Lalu ia pun bercerita tentang
perjalanannya ke desa Nogales, . . . tentang seorang ayah tua, yang
dengan diam-diam datang mendekat agar ia dapat ikut mendengarkan,
. . . tentang kisah nyata yang pahit, yang kemudian disampaikan oleh
ayah tua itu.
"Mungkinkah?" tanya Senor Anuincio. "Mungkin . . . engkaukah
anaknya itu?"
Pemuda itu berdiri tegak. Ia Memandang langsung ke muka Senor
Anuncio. "Akulah dia. Namaku Jorge. Malam ini juga aku akan
meninggalkan kota ini. Aku akan pulang, akan mencari pekerjaan di
desa, akan bekerja kers. Biar kubuktikan kepada ayahku bahwa aku
sangat menyesal atas kebodohanku yang dulu."
"Bagus!" kata Senor Anuncio. "Dan aku menghadiahkan sesuatu
kepadamu untuk menolongmu ingat akan janjimu tadi." Ia merogoh
sakunya dan mengeluarkan sebuah Kitab Perjanjian Baru. "'Nih,
bukalah!"
Kitab Suci kecil itu terbuka sendiri pada Injil Lukas pasal
15, karena sudah sekian kali Senor Anuncio membuka perumpamaan anak
yang hilang yang terdapat di situ.
"Bacalah cerita ini," Senor Anuncio menasihatkan. "Bacalah
juga cerita lainnya dalam Buku kecil ini. Bacalah ajaran-ajaran Tuhan
Yesus. Engkau akan mulai mengasihi Dia. Pasti engkau ingin mengikut
Dia."
Jorge menerima Kitab Perjanjian Baru itu. "Aku pasti akan
membacakanya," janjinya dengan polos.
"Nah, tinggalkan segera tempat ini. Aku akan mengantarmu ke
tempat penginapanku, sebab terlalu malam untuk berangkat malam ini,"
Senor Anuncio menawarkan.
Keesokan harinya Senor Anuncio berpamitan dengan pemuda itu.
"Jangan lama-lama di jalan," ia mendesak. "Jangan mengulur waktu biar
satu jam pun; ayah dan ibu yang mengaisihimu itu terus menunggumu."
Ketika pemuda itu dengan mantap memulai perjalanannya, Senor
Anuncio terus memandang dia sampai menghilang di kejauhan. Ah, nanti
di desa Nogales akan terjadi sukacita luar biasa! Demikianlah Senor
Anuncio berkata kepada dirinya sendiri.
TAMAT