31. KARAM KAPAL PADA HARI TAHUN BARU
(Selandia Baru, 1874 - 1875)
Si Richard dan si Peggy bergembira sekali. Kedua kakak
beradik itu sedang berdiri dengan orang tua mereka di atas geladak
kapal Surat. Memang bagaikan sepucuk surat yang diposkan ke negeri
asing, kapal Surat itu akan berlayar jauh dari pelabuhan di Inggris
Raya. Dan mereka sekeluarga akan ikut serta dalam pelayaran itu!
Layar-layar mulai mengembung terisi angin. Pada saat kapal
itu melaju keluar dari pelabuhan, ayah kedua anak itu berkata kepada
mereka, "Richard dan Peggy, sebaiknya kalian selalu mengingat
baik-baik tahun 1874 ini. Inilah tahun kalian berangkat dari
kehidupan lama di negeri Inggris, menuju kehidupan baru di negeri
Selandia Baru."
Pesisir negeri Inggris nampak makin lama makin jauh. Makin
banyak layar yang dinaikkan ke atas tiang agar dapat diisi angin.
Makin cepat pula kapal Surat itu berlayar di atas ombak lautan nan
biru.
Setelah daratan tidak kelihatan sama sekali, nahkoda
mengundang seluruh penumpang agar berkumpul di atas geladak. Kepada
mereka ia perlu mengumumkan beberapa peraturan yang harus dipenuhi
demi keamanan kapal. Memang mereka semua senasib, sampai saatnya
kapal itu berubah lagi.
Rupanya seluruh peraturan itu sudah selesai diumumkan. Namun
sang nahkoda masih hendak berbicara lagi. "Nah, ada hal lain,"
katanya. "Hai kelasi, bawa kemari peti besar itu?
Sang nahkoda menjelaskan: Seorang dermawan telah
menyumbangkan Kitab Perjanjian Baru berukuran kecil, sebanyak tiga
ratus eksemplar. Ia minta supaya setiap penumpang kapal ini
masing-masing diberi sebuah. Mari, terimalah hadiah untuk kalian!"
Ada penumpang yang mengejek. Ada yang seolah-olah tak acuh.
Namun tidak ada seorang pun yang menolak Perjanjian Baru itu. Malahan
kebanyakan di antara mereka menerima pemberian Kitab Suci berukuran
kecil itu dengan senang hati.
Si Richard dan si Peggy bangga sekali atas hadiah mereka.
pada halaman muka sebelah dalam Kitab Perjanjian Baru milik mereka
masing-masing, ayah mereka menulis sebagai berikut:
"Diberikan pada waktu sedang menumpang kapal Surat, menuju
Selandia Baru, tahun 1874 Masehi."
Hari lepas hari, minggu lepas minggu, . . . lama sekali kapal
itu menjelajahi Lautan Atlantik! Pada pagi yang mendung, langit dan
lautan nampak kelabu, sangat kurang menarik. Tetapi pada pagi yang
cerah, langit dan lautan yang biru kelihatan amat indah.
Tiba saatnya kapal Surat mencapai ujung benua Amerika
Selatan. Selat di ujung selatan benua itu sangat berbahaya; hawa di
sana amat dingin. Pernah angin mereda sama sekali, dan berhari-hari
kapal itu tidak dapat maju. Kelasi yang bertugas menjaga di atas
menara tiang layar itu terus-menerus menyapu ufuk dengan matanya,
kalau-kalau timbul awan atau angin. Bila topan muncul tiba-tiba dalam
keadaan seperti itu, tidak mustahil kapal akan menghadapi mara
bahaya.
Sementara itu, si Richard dan si Peggy tidak tinggal diam.
Ibu mereka, bersama dengan beberapa penumpang wanita lainnya, telah
membuat rencana untuk mengadakan sekolah ala kadarnya. Anak-anak itu
rela saja diajar, daripada menyaksikan pemandangan di sekitar kapal
Surat yang sangat membosankan karena tidak berubah-ubah.
Salah satu buku pelajaran mereka adalah Kitab Perjanjian Baru
yang telah dihadiahkan kepada mereka masing-masing. Cukup banyak ayat
yang mereka hafalkan. Bahkan ada beberapa pasal yang dapat mereka
ucapkan seluruhnya di luar kepala.
Minggu lepas minggu, bulan lepas bulan, . . . lama sekali
waktu pelayaran dari Inggris Raya ke Selandia Baru itu!
Pada suatu hari si Peggy berseru dengan girangnya, "Hai
Richard, besok nggak sekolah! Besok kan Tahun Baru, ya? Dan Ibu
berkata kita boleh istirahat."
Malam itu si Richard dan si Peggy merasa sangat gembira pada
waktu mau tidur. Bukan hanya karena esok hari mereka akan libur: Juga
karena nahkoda telah mengumumkan bahwa mungkin sekali sekali besok
kapal Surat akan tiba di daratan yang sudah sekian lama mereka tuju.
Anak-anak itu saling bertanya, kira-kira siapa akan lebih dulu nampak
pantai Selandia Baru untuk yang pertama kalinya.
Sayang sekali, ada juga beberapa orang lain yang sangat
megharapkan datangnya Hari Raya Tahun Baru itu, . . . tetapi dengan
maksud yang tidak baik. Mereka itu para kelasi kapal Surat. Menurut
adat pada masa itu, setiap hari mereka masing-masing diberi jatah
minuman keras sedikit. Minuman itu dianggap sebagai penguat badan.
Tetapi kelasi-kelasi yang curang itu hari demi hari menyimpan
sebagian jatah mereka, sehingga menjelang Tahun Baru banyak minuman
keras yang dapat mereka reguk.
"Hai kawan-kawan, Malam Tahun Baru itu waktu yang cocok
sekali untuk berpesta pora dan bermabuk-mabuk!" bisik mereka satu
kepada yang lain. Lalu mereka berkumpul di bawah geladak dan
minum-minum sampai mereka benar-benar mabuk. Sebagian besar di antara
mereka tertidur saja, tak berdaya lagi.
Sementara itu, kapal Surat sedang menuju ke darat. Nahkoda
dengan para petugas atasan lainnya berusaha menjaga dan mengemudikan
kapal. Namun mereka itu selalu sedikit untuk dapat mengerjakan
semuanya. Mereka sangat memerlukan bantuan para kelasi . . . dan para
kelasi itu tak mungkin dapat membantu mereka.
Seorang demi seorang penumpang kapal itu menyadari bahaya
yang sedang menghadang mereka, akibat ulah para kelasi. Dalam
kegelapan malam mereka meninggalkan tempat tidur masing-masing dan
berkumpul di atas geladak. Demi keamanan, anak-anak kecil seperti
Richard dan Peggy diikatkan pada tong-tong kosong sebagai pelampung
penyelamat darurat.
"Awas, ada batu karang!" teriak nahkoda. Namun kapal Surat
itu masih terus melaju.
KRAAAK! Lunas kapal terdampar di batu karang itu. Ombak
berikutnya mengangkatnya lagi.
KRAAAK! Untuk yang kedua kalinya kapal itu dapat melepaskan
diri. Tetapi . . . di lambung kapal sudah ada lubang besar.
KRAAAK! Yang ketiga kalinya, kapal itu terbanting lebih keras
lagi di batu karang, dan tersangkut di sana. Gelombang besar
terus-menerus menghantam sisinya.
Jika dikenang kembali di kemudian hari, para penumpang kapal
Surat sesungguhnya tidak mengetahui, bagaimana mereka berhasil
melepaskan diri dari bencana karam kapal pada Hari Tahun Baru itu.
Namun keesokan paginya, ternyata mereka semua muncul dalam keadaan
selamat di daratan. Semua barang kepunyaan mereka lenyap, kecuali
beberapa benda kecil yang terbawa oleh ombak dan tersangkut pada
batu-batu runcing di pantai. Namun mereka semua masih hidup, dan
itulah yang paling penting.
Si Richard dan si Peggy merasa sedih. Kedua Kitab Perjanjian
Baru milik mereka itu tenggelam di dasar laut. Kitab-Kitab Suci
berukuran kecil itu adalah buku-buku pertama yang pernah mereka
anggap sebagai milik pribadi. Dan kata orang mungkin sekali barang
berharga seperti buku itu agak sulit mendapat gantinya di tempat
tinggal mereka yang baru.
Ibu kedua anak itu menghibur mereka. Sesuai dengan mode
pakaian wanita pada zaman itu, ia mengenakan rok panjang setengah
klok. Ia merogoh saku roknya sambil berkata, "Tadi malam, waktu
bahaya mulai mengancam, Ibu memasukkan Kitab Perjanjian Baru milikku
di sini."
Lalu ia mengeluarkan tangannya lagi, dan . . . benar, ada
Kitab Suci kecil di telapak tangannya! Buku kecil itu basah kuyup,
sama seperti saku tempat penyimpanannya, namun isinya masih utuh.
Ayah Richard dan Peggy mengulurkan tangannya dan mengangkat
Kitab Perjanjian Baru yang sangat berharga itu. "Barang berharga
lainnya yang hilang itu mungkin dapat diganti," katanya. "Tetapi
tidak ada buku lain yang dapat menggantikan Buku ini."
Si Richard dan si Peggy menggigil; pakaian mereka basah
kuyup. "Syukur, m--m--masih ada s--s--satu Perjanjian Baru milik
kita," kata Richard, dengan gigi gemeletak. "K--k--kita masih dapat
membaca bergiliran." . . .
Bertahun-tahun kemudian, seorang pria berdiri di depan
sekumpulan orang Kristen di negeri Selandia Baru. Pada tanggal 1
Januari 1875, hari terdamparnya kapal Surat di atas batu karang, pria
itu belum dilahirkan. Namun sekarang, di tangannya pria itu memegang
sebuah Kitab Perjanjian Baru kecil yang pernah ternoda oleh air laut.
Kepada para hadirin ia bercerita tentang peristiwa karam
kapal pada Hari Tahun Baru itu. Lalu ia membacakan beberapa ayat dari
Kitab Perjanjian Baru yang dulu pernah dibawa serta oleh neneknya,
waktu para penumpang diselamatkan dari bencana itu. Ternyata pria itu
adalah putra seorang wanita yang dulu dikenal sebagai si Peggy kecil!
"Semuanya yang lain, hilang lenyap," kata pria itu. "Tetapi
pada saat nenekku sempat menyelamatkan Buku kecil ini, ia pun
menyelamatkan benda yang paling penting dari muatan kapal Surat itu."
TAMAT