30. DICARI: PENERJEMAH ALKITAB
(Indonesia, abad ke-17 s.d. abad ke-20)
Surat kabar Javasche Courant (Koran Java), pada edisi
terbitan tertanggal 10 Oktober 1860, memuat sebuah iklan yang lain
daripada yang lain. Iklan itu kira-kira sebagai berikut:
DICARI: "Sorang penerjemah Alkitab bahasa Melayu."
Di kota Semarang, ada seorang utusan Injil muda yang sempat
membaca iklan itu. Ia sangat tertarik. Dengan teliti ia mencatat
semua syarat yang ditentukan untuk penerjemah yang dicari itu.
Bagaimana sampai terjadi bahwa ada pihak tertentu yang hendak
mencari seorang penerjemah Alkitab Bahasa Melayu melalui iklan di
surat kabar?
Siapakah utusan Injil muda yang berminat terhadap iklan itu?
Untuk menjawab pertanyaan yang kedua ini, kita harus
menelusuri kembali sejarah ke masa tiga puluh tahun sebelum tahun
1860, yaitu waktu iklan tadi. Tetapi untuk menjawab pertanyaan yang
pertama itu, kita pun harus menelusuri kembali sejarah ke masa hampir
tiga abad sebelum tahun 1860.
Mudah-mudahan pembaca sudah membaca buku seri Alkitab di
Seluruh Dunia Jilid 1. Buku itu memuat kisah nyata yang menarik,
tentang terjemahan-terjemahan Firman Allah yang mula-mula diedarkan
di bumi Nusantara. Sejak permulaan tahun 1600an, sudah ada Kitab
Injil Matius dalam bahasa Melayu (atau bahasa Indonesia kuno). Dan
sejak permulaan tahun 1700an, sudah ada seluruh Alkitab dalam bahasa
Melayu.
Kalau demikian halnya, mengapa perlu memuat iklan tadi?
Oleh karena bahasa Indonesia itu bahasa yang hidup, bahasa
yang terus berkembang, sesuai dengan zamannya. Susunan kata yang
disesuaikan dengan cara berbicara yang lazim di Indonesia pada tahun
1600an atau 1700an itu, pasti tidak sesuai lagi dengan cara berbicara
yang lazim di Indonesia pada tahun 1800an.
Apa lagi, orang-orang yang turut mengerjakan
terjemahan-terjemahan dahulu kala itu hampir semuanya orang asing,
yang sesungguhnya belum menguasai bahasa Melayu secara jitu. Di
samping itu, kebanyakan di antara mereka hanya suka bergaul dengan
kaum ningrat saja. Jadi, bahasa Melayu yang biasa mereka gunakan itu
adalah bahasa yang sangat tinggi, bahasa sastra, bahasa yang hanya
dapat dipahami oleh kaum cerdik cendekiawan saja.
Namun terjemahan seluruh Alkitab dalam bahasa Melayu yang
mula-mula terbit pada tahun 1729 itu sangat disukai oleh orang
banyak, baik putra-putri Nusantara maupun orang-orang Belanda yang
sedang menjajah mereka. Walau ada kelemahannya, terjemahan hasil
karya Dr. Melchior Leydekker itu Alkitab yang asli. Padahal yang
benar ialah, Alkitab yang asli itu ditulis dalam bahasa Ibrani dan
bahasa Yunani, bukan dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.
Pernah ada tuduhan bahwa Alkitab Leydekker itu "dijunjung
tinggi oleh orang Kristen, tetapi jarang dipahami merupakan semacam
penghormatan mekanik, tanpa jiwa atau roh." Pernah juga ada seorang
penerjemah Alkitab yang menjadi terkenal dalam usahanya untuk
menyediakan Firman Allah dalam bahasa-bahasa daerah; ia pun
menerbitkan kecaman yang cukup kritis mengenai kekurangan-kekurangan
yang ada pada terjemahan Leydekker yang amat kuno itu.
Mudah-mudahan pembaca sudah mengetahui bahwa di mana-mana dan
di sepanjang abad, umat Baptis selalu menjujung tinggi Firman Allah.
Jadi, tidaklah mengherankan kalau salah satu orang yang mula-mula
berusaha memperbaiki Alkitab terjemahan Leydekker itu adalah seorang
Baptis. Dialah Pdt. William Robinson, yang mulai melayani di Jakarta
pada tahun 1813 dan pindah ke Bengkulu pada tahun 1821. Pdt. Robinson
menghasilkan terjemahan baru Kitab Injil Matius dan Yohanes dalam
bahasa Melayu rendah, yaitu bahasa Indonesia sehari-hari pada masa
itu.
Di surabaya ada juga orang-orang Kristen yang bekerja sama,
sehingga pada tahun 1835 mereka dapat menerbitkan seluruh Perjanjian
Baru dalam terjemahan bahasa Melayu seherhana. Namun usaha
itu, dan banyak usaha lain lagi yang serupa, belum berhasil menggeser
kedudukan Alkitab Leydekker dari dalam hati kebanyakan orang Kristen
Indonesia. "Terjemahan baru ini, terlalu rendah bahasanya. Lebih baik
tetap saja kita memakai terjemahan lama."
Namun umat Kristen Indonesia makin lama makin sulit memahami
terjemahan lama itu! Mungkin pembaca sendiri dapat membayangkan
betapa sulitnya, kalau pernah membaca sebuah buku yang ditulis dua
abad yang lalu. Atau mungkin sebaiknya pembaca diberi kesempatan
langsung, supaya dapat merasakan sendiri apa yang dialami umat
Kristen Indonesia pada abad yang lalu ketika merka berusaha memahami
Alkitab terjemahan Leydekker itu. Silakan baca:
"Tetapi' aku 'ini bersabda pada kamu, bahuwa sasaawrang, jang
gusar 'akan sudaranja laki 2 samena 2, dendanja dehhukumkan 'awleh
mahhkamat: dan barang sijapa, jang kata 2 pada sudaranja laki 2, hej
djahil! dendanja dehhukumkan 'awleh madjlis SJerif: tetapi barang
sijapa jang kata 2, hej 'ahhmakh! dendanja dehhukumkan dalam 'apij
djahanam."
"Djanganlah kamu berbendakan bagi dirimu benda 2 diatas bumi,
dimana gigas dan karatan membinasakan, dan di mana 'awrang
pentjurij menggarokh turus, lalu mentjurij. Tetapi hendakhlah
berbendakan bagi dirimu benda 2 didalam sawrga, dimana bukan gigas,
dan bukan karatan membinasakan, dan dimana 'awrang pentjurij tijada
menggarokh turus, dan tijada mentjurij. Karena barang dimana 'ada
bendamu, di sana lagi 'ada hatimu."
Mungkin pembaca yang pintar dapat memahami kedua alinea tadi,
sehingga dapat mengenalinya sebagai kutipan dari Khotbah Tuhan Yesus
di Bukit (Matius 5:22; 6:19-21). Namun siapa pun pasti akan merasa
dijauhkan dari kebiasaan membaca Firman Allah, jika hanya dapat
membaca dalam suatu terjemahan kuno seperti contoh-contoh tadi.
Berpuluh-puluh tahun lamanya terjadi perselisihan pendapat
dan penundaan tindakan. Akhirnya pada tahun 1860 Lembaga Alkitab
Belanda rela mengakui bahwa terjemahan Leydekker itu tidak lagi
memenuhi syarat. Namun masih ada masalah: Lembaga Alkitab itu tidak
mengenal seorang sarjana bahasa Melayu yang cocok untuk ditunjuk
sebagai pelaksana utama dari suatu proyek terjemahan baru. Itu
sebabnya mereka memuat sebuah iklan di surat kabar Javasche Courant:
"DICARI: Seorang penerjemah Alkitab bahasa Melayu."
Iklan itu sangat diminati oleh Hillebrandus Cornelius
Klinkert, seorang utusan Injil muda yang sedang melayani di kota
Semarang.
Siapa sebenarnya H. C. Klinkert itu? Anehnya, . . . dia itu
mula-mula dilatih untuk menjadi, bukan seorang pendeta atau seorang
penginjil atau pun seorang ahli bahasa dan penerjemah Firman Allah,
melainkan seorang pengukur tanah.
H. C. Klinkert dilahirkan pada tahun 1829 di Amsterdam, kota
pelabuhan besar di negeri Belanda. Sebagai anak remaja, ia bekerja
bukan hanya sebagai pengukur tanah melainkan juga sebagai karyawan
pabrik dan juga masinis kapal uap di Sungai Rhein.
Konon, kapal uap gaya lama itu sering mengalami kecelakaan.
Oleh karena suatu kecelakaan, maka seorang masinis muda berkebangsaan
Belanda terpaksa diopname di kota Worms, negeri Jerman.
Waktu itu H. C. Klinkert masih berusia belasan tahun, atau
paling-paling baru mencapai umur dua puluh. Selama ia terpaksa
berbaring saja di ranjang rumah sakit, kiranya apa saja yang
terlintas pada pikirannya? Para perawat di sana pasti orang Jerman;
mungkin sekali mereka mengalami kesulitan waktu bercakap-cakap dengan
pemuda Belanda yang malang dan merasa kesepian itu.
Ketika Klinkert sudah sembuh dan diizinkan pulang kembali ke
Belanda, ia pun segera menghubungi seorang pendeta, agar mendapat
bimbingan rohani. Dan pada tahun 1851, pemuda yang masih kurang
berpendidikan itu mendaftarkan diri sebagai seorang penginjil yang
rela diutus ke negeri lain.
Mula-mula Klinkert dikirim ke kota Rotterdam, tempat ada
sebuah sekolah untuk mempersiapkan para calon utusan Injil. Tetapi
pada tahun 1855 ia dikeluarkan dari sekolah itu. "Pemuda ini agak
keras kepala," demikianlah laporan tertulis kepada kepala sekolah.
"Ia sulit bekerja sama secara rukun dengan para calon utusan Injil
lainnya. Sebaiknya ia dikirim ke suatu tempat ia dapat melayani
seorang diri, tanpa perlu menyesuaikan diri dengan rekan sekerjanya."
Pada umur 25 tahun H. C. Klinkert diutus ke pulau Jawa. Kapal
layar yang ditumpanginya itu dilanda badai yang dahsyat pada waktu
mengitari Tajung Pengharapan, di ujung selatan benua Afrika. Namun ia
tiba di ibu kota Jakarta dengan selamat, pada bulan September tahun
1856. Kesannya yang pertama mengenai bangsa Indonesia: Aneh dan luar
biasa, hampir semua manusia di sini kelihatan berwarna coklat dan
kebanyakan telanjang." Dan kesannya yang pertama mengenai panggilan
beribadah dari mereka mesjid: "Raungan yang mengerikan."
Dari Jakarta Klinkert naik kapal uap ke Semarang. Di sana ia
dijemput oleh seorang utusan Injil yang sudah berpengalaman di
Indonesia. Lalu ia diantar ke rumah orang itu di Japara.
Selama dua tahun Klinkert belajar bahasa Melayu dan bahasa
Jawa di Japara. Ia juga belajar menyesuaikan diri dengan orang-orang
setempat. Dalam pelajarannya itu rupanya ia berhasil baik : Pada
tahun 1857 ia menikah dengan Louise Wilhelmina Kahle, seorang gadis
Indo yang hanya dapat berbicara bahasa Melayu dan bahasa Jawa saja!
Di samping belajar bahasa-bahasa setempat, Klinkert juga
berusaha mendalami adat-istiadat orang Indonesia. Misalnya, ia suka
mengumpulkan rempah-rempah agar menjadi pandai mengobati orang sakit
dengan ramuan tradisional. Namun ia sendiri sering kena penyakit
perut dan lever.
Selama masa sakitnya itu, istrinya dengan setia menemani dia.
Klinkert senang berguru pada istrinya yang tercinta. Pernah ia
bergurau dengan menyebutkan "sekolah bahasa di bawah kelambu"!
Ibu Klinkert sering mengeluh kepada suaminya tentang
kesulitannya membaca Alkitab terjemahan Leydekker. Itulah sebabnya
Klinkert mulai mencoba-coba menerjemahkan Kitab Injil Matius ke dalam
bahasa Melayu yang lebih mudah dipahami. Sesudah pindah ke Semarang
pada tahun 1858, ia mengerahkan dua orang yang padai berbahasa
Melayu untuk menolong di dalam proyek penerjemahannya. Pekerjaan itu
pun menolong dia menyiapkan khotbah-khotbah yang disampaikannya
minggu demi minggu. Ia suka berkhotbah dalam bahasa Melayu sederhana,
yang lazim dipakai oleh orang biasa di jalanan dan di pasar kota
Semarang.
Sesudah selesaikan Injil Matius, Klinkert meneruskan
terjemahannya dengan Markus, Lukas, dan Yohanes. Bagaimanakah ia
dapat mengongkosi pencetakan keempat Kitab Injil terjemahan baru itu?
Klinkert mendapat akal: Ia mendirikan sebuah surat kabar bernama
Selompret Melajoe (Terompet Melayu). Koran itu laris sekali, sehingga
banyak menghasilkan uang. (Bahkan di kemudian hari ternyata masih
terbit surat kabar itu lebih panjang daripada masa hidup pendirinya!
Koran Terompet Melayu itu masih tetap diterbitkan di kota Semarang
sampai tahun 1920.)
Klinkert cukup sibuk dengan perusahaan surat kabarnya dan
persiapan terjemahan Kitab Sucinya untuk dicetak. Namun ia tidak
membatasi minatnya hanya di kota Semarang dan sekitarnya saja. Ia
berniat membeli sebuah kapal, agar ia dapat berlayar dari pulau ke
pulau sambil mengedarkan Alkitab dan mengabarkan Injil. Tetapi
rencananya itu tidak pernah terwujud.
Pada suatu hari dalam bulan Oktober tahun 1860, utusan Injil
muda yang amat giat itu membuka-buka sebuah surat kabar dari
percetakan lain. Dan di situlah ia membaca iklan Lembaga Alkitab
Belanda, yang sedang mencari seorang penerjemah bahasa Melayu.
Dengan teliti Klinkert mencatat syarat-syarat yang telah
ditentukan: Harus ada terjemahan percobaan yang terdiri atas tiga
pasal dari Perjanjian Lama dan tiga pasal dari Perjanjian Baru.
Naskah itu harus ditulis dengan huruf Latin dan huruf Arab-Melayu.
Setelah ia mengirimkan naskah percobaannya itu ke Belanda,
Klinkert tetap rajin mengerjakan terjemahannya ke dalam bahasa yang
biasa dipakai di Semarang. Keempat Kitab Injil itu sempat diterbitkan
pada tahun 1861; seluruh Kitab Perjanjian Baru menyusul pada tahun
1863. Terjemahan bahasa Melayu rendah itu sangat disukai, lebih-lebih
oleh jemaat-jemaat orang Indonesia keturunan Tionghoa. (Bahkan Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa sehari-hari itu terus menerus dicetak
ulang sampai tahun 1949!)
Sementara itu, walau Klinkert sudah berhasil di bidang
penerbitan, di bidang penginjilan ia merasa sangat dikekang. Maka
dari itu ia memutuskan akan pindah ke Cianjur, sebuah kota kecil di
daerah Jawa Barat. Di sana ia berharap dapat membuka sebuah sekolah,
lalu dapat memanfaatkan sekolah itu sebagai pembuka jalan untuk
memberitakan Injil.
Jadi, pada tahun 1862 Pak dan Ibu Klinkert beserta kedua anak
mereka yang masih kecil pindah dari Semarang. Tetapi di Cianjur pun
kesempatan untuk mengabarkan Injil itu mereka rasakan sangat
dibatasi. Izin untuk mengusahakan sekolah itu pun tidak
keluar-keluar.
Betapa lega hati H. C. Klinkert pada suatu hari dalam bulan
Oktober tahun 1863! Genap tiga tahun setelah dimuatnya iklan "DICARI"
yang mula-mula menarik perhatiannya itu, ia menerima kabar dari
negeri Belanda. Ternyata dialah orang yang terpilih sebagai
"penerjemah Alkitab bahasa Melayu"!
Akan tetapi, masih ada syaratnya: Lembaga Alkitab Belanda
merasa bahwa bahasa Klinkert itu terlalu rendah, juga terlalu banyak
dipengaruhi oleh logat dari satu daerah tertentu. Ia harus diberi
kesempatan untuk tinggal selama beberapa tahun di tengah-tengah
masyarakat yang berbahasa Melayu tulen.
Di manakah kira-kira sumber bahasa Melayu atau bahasa
Indonesia yang paling baik? Bukankah di daerah Riau? Itulah sebabnya
pada permulaan tahun 1864, keluarga Klinkert pindah lagi ke
Tanjungpinang, ibu kota propinsi Riau.
Entah apa sebabnya, . . . di Tanjungpinang keluarga itu sulit
mendapat sebuah tempat tinggal yang pantas. Mungkin yang menyulitkan
ialah, Riau itu letaknya dekat kota Singapura, sehingga harga-harga
di Tanjungpinang pun agak tinggi. Bagaimana juga, keluarga Klinkert
hanya sanggup menyewa sebuah tempat bekas toko pada jalan masuk ke
daerah Pecinan.
Toko yang mau tidak mau harus dijadikan tempat tinggal itu
sangat sederhana: Tidak ada dapur, sumur, atau kakus. Tidak heran
mereka sekeluarga terkena penyakit! Meja tulis Klinkert harus
ditempatkan menghadap jendela toko, tanpa kaca atau pelindung
lainnya. Sering ada banjir, dan naskahnya yang sangat berharga itu
harus dicedok dari dalam air. Lagi pula, Tanjungpinang itu kota
pelabuhan. Setiap kali ada kapal perang Belanda berlabuh di sana,
para kelasi berkeliaran ke sana ke mari sambil menimbulkan huru-hara.
Walau sangat sulit, masa tinggal di Tanjungpinang itu memang
membawa untung bagi H. C. Klinkert. Ia sempat berkenalan dengan
banyak orang yang berbahasa Melayu dari seorang putra penghulu suku
sampai kepada para pelaut Melayu. Pelaut-pelaut itu sering menginap
di rumah Klinkert sambil menunggu pasang surutnya air laut. Di
Tanjungpinang Klinkert sungguh sempat mendalami bahasa Melayu tulen,
sampai-sampai ia menjadi pandai berpantun.
Namun kesehatan keluarga Klinkert masih tetap mengalami
gangguan. Setelah dua setengah tahun tinggal di daerah Riau, mereka
terpaksa pindah ke Singapura. Tetapi di situ pun Ibu Klinkert mulai
muntah darah. Setelah hanya beberapa bulan saja di Singapura, mereka
sekeluarga pindah ke Belanda.
Sementara itu, pada tahun 1868 terbitlah Kitab Injil Matius
dalam terjemahan Klinkert yang baru. Pada tahun 1870 menyusullah
seluruh Kitab Perjanjian Baru. Tetapi pada tahun yang sama itu, Ibu
Louise Wihelmina Klinkert tutup usianya karena sakit tebese. Ia
meninggalkan suami dan ketiga anaknya, masing-masing berumur sebelas,
delapan, dan lima tahun.
Bagaimana seorang duda dengan tiga anak yang masih kecil itu
dapat meneruskan pekerjaannya sebagai penerjemah Alkitab? Apakah
mengherankan bila kurang dari satu tahun setelah istrinya meninggal,
Klinkert menikah lagi dengan seorang janda yang sudah mempunyai
seorang putri?
Jadi, di negeri Belanda masih tetap ada banyak gejolak dalam
kehidupan Klinkert. Tambahan pula, mereka sering berpindah-pindah
dari satu kota ke kota lain, untuk mencari tempat tinggal yang lebih
sehat iklimnya serta lebih murah ongkosnya. Namun di tengah-tengah
semua kerepotan rumah tangganya itu, H. C. Klinkert masih berjuang
terus dengan tugasnya sebagai penerjemah Firman Allah.
Pada tahun 1876 Klinkert sudah berhasil mengalihbahasakan
Perjanjian Lama sampai dengan Kitab Nabi Yesaya. Tetapi Lembaga
Alkitab Belanda belum puas dengan gaya bahasanya. Menurut mereka, ia
masih perlu bergaul lebih lama lagi dengan orang-orang yang berbahasa
Melayu tulen. Ia pun perlu memperoleh kritik yang membina atas naskah
terjemahannya. Itulah sebabnya Lembaga Alkitab Belanda memohon supaya
Klinkert rela kembali ke Asia Tenggara selama dua tahun.
Bulan Juli 1876, H. C. Klinkert berangkat ke kota kuno
Malaka, di semananjung Melayu. Kali ini, sama seperti dua puluh tahun
sebelumnya, ia pergi merantau seorang diri; keluarganya ditinggalkan
di Belanda.
Tetapi Klinkert tidak jadi menetap lama di Malaka.
Kesehatannya mulai terganggu lagi. Ia pindah ke Jakarta, namun di
situ pun ia sering sakit.
Setelah hanya enam bulan saja, jelas bahwa Klinkert tidak
tahan hidup di daerah tropika. Ia kembali kepada keluarganya, dan
selanjutnya Lembaga Alkitab Belanda tidak berani lagi meminta dia
pergi ke Nusantara. Walau jauh dari tempat tinggal orang-orang yang
berbahasa Melayu, namun Klinkert mengerjakan tugasnya dengan tekun.
Akhirnya pada tahun 1879 selesailah seluruh Alkitab terjemahan baru,
dalam bahasa Melayu yang sesuai dengan zamannya.
Sesungguhnya H. C. Klinkert tidak pernah sempat mengabarkan
Injil lagi di Nusantara. Di tanah airnya sendiri ia malah bekerja
sebagai seorang mahaguru bahasa Melayu, sampai wafatnya pada tahun
1913. Namun jasanya besar demi penginjilan di Indonesia: Terjemahan
hasil karyanya itu merupakan Alkitab bahasa Melayu yang paling baik
pada masanya.
Alkitab Klinkert itu berkali-kali direvisi. Tentu saja setiap
versi baru itu, ia sendiri turut menelitinya, walau ia tidak lagi
bekerja sepenuh waktu di bidang penerjemahan. Bahkan ketika timbul
gagasan untuk mencetak Alkitab Klinkert dengan huruf Arab, ia pun
menulis setiap ayat dengan tangannya sendiri, serta menghiasi
naskahnya dengan gaya yang khas sama seperti kitab-kitab suci lainnya
yang berhuruf Arab.
Namun . . . timbul sebuah pertanyaan: Apakah Alkitab Klinkert
itu masih tetap dibaca hingga kini?
Jarang . . . walau bagian Perjanjian Lama hasil karyanya itu
kadang-kadang masih didapati dalam bentuk terjemahan gabungan yang
dulu biasa disebut "terjemahan lama."
Mengapa terjemahan Alkitab Klinkert yang sudah dikerjakan
denan susah payah itu umumnya tidak dibaca lagi oleh orang Kristen
pada masa kini?
Oleh karena bahasa Indonesia itu bahasa yang hidup, bahasa
yang terus berkembang, sesuai dengan zamannya. Susunan kata yang
disesuaikan dengan cara berbicara yang lazim di Indonesia pada tahun
1860an atau 1870an itu, pasti tidak sesuai lagi dengan cara berbicara
yang lazim di Indonesia pada tahun 1990an atau 2000an.
Di dalam Firman Allah terdapat pernyataan mengenai Raja Daud
sebagai berikut: "Setelah ia melayani generasinya menurut kehendak
Allah, ia mati lalu dikuburkan" (Kisah Para Rasul 13:36, Firman Allah
yang Hidup).
Hal yang sama juga dapat dikatakan terhadap Hillebrandus
Cornelius Klinkert. Terjemahan Alkitab yang dikerjakannya itu sangat
menolong orang-orang pada masa hidupnya, bahkan di kemudian hari
masih berguna selama berpuluh-puluh tahun. Pasti Allah berkehendak
supaya Firman-Nya disusun dengan kata-kata bahasa Melayu yang dulu
mudah dipahami itu. Tetapi zaman Klinkert sudah berlalu, dan Klinkert
sendiri sudah lama "mati lalu dikuburkan."
Itulah sebabnya tidak mustahil pada masa kini lembaga Alkitab
sekali lagi akan memasang iklan seperti ini:
"DICARI: Penerjemah Alkitab"!
TAMAT