26. ALKITAB BAGI RAJA DAN RAKYAT
(Inggris dan Wales, 1536 - 1804 M.)
Raja Henry VIII merasa pusing. Yang memusingkan pikiran sang
raja Inggris ialah, pembicaraan penasihatnya yang terpercaya, Thomas
Cromwell. Cromwell lagi-lagi berbicara mengenai keperluan adanya satu
versi Alkitab bahasa Inggris yang pada umumnya diakui.
"Terlalu banyak perselisihan pendapat tentang Alkitab, hai
Baginda yang mulia," kata Cromwell. "Sebagian orang ingin memakai
terjemahan William Tyndale, yang dulu pernah dilarang. Sebagian lagi
lebih suka versi Thomas Mattew. Yang lain lagi berpendapat bahwa
terjemahan baru hasil karya Miles Coverdale adalah versi yang paling
bagus. Sebaiknya Baginda sendiri yang memutuskan, edisi manakah harus
dipakai. Lalu Baginda dapat bertitah supaya Alkitab versi itulah yang
dicetak, agar dapat ditempatkan di dalam setiap gereja di seluruh
Kerajaan Inggris."
Cukup panjang pembicaraan Thomas Cromwell itu! Lalu ia mohon
diri, karena ia sadar bahwa sang raja sudah mulai pusing. Pada masa
itu, empat setengah abad yang lalu, seorang penasihat raja tidak
berani membangkitkan murka tuannya!
Selama beberapa minggu Raja Henry memikirkan nasihat
Cromwell. Sambil mengusap-usap jenggotnya, ia bergumam: "Usul yang
baik . . . aku akan melakukannya. Sekarang akulah kepala gereja di
Inggris, dan bukan sri paus yang bertakhta di kota Roma. Jadi, akulah
yang berhak memutuskan agar ada satu versi Alkitab bahasa Inggris
yang diakui oleh umum.
Dengan suara keras sang raja berseru: "Panggil Thomas
Cromwell!"
Ketika Cromwell masuk dan menghadap, Raja Henry memberi
isyarat dengan tangannya. "Suruh orang mencetak Alkitab bahasa
Inggris edisi baru!" katanya, seolah-olah dia sendiri yang menemukan
gagasan baru itu.
"Baik, Baginda," kata Thomas Cromwell sambil tersenyum.
Tidak lama kemudian, Cromwell berunding dengan Miles
Coverdale, orang yang mula-mula berhasil menerbitkan seluruh Alkitab
dalam bahasa Inggris. Sebagian besar versi itu adalah hasil karya
William Tyndale almarhum (lihat pasal 1 dalam buku ini); sisanya,
hasil karya orang-orang lain, termasuk Coverdale sendiri.
"Maukah engkau menyiapkan versi baru itu?" tanya Thomas
Cromwell kepada Miles Coverdale.
Coverdale rela saja melakukannya. Ia dapat memanfaatkan
terjemahan gabungan yang sudah menjadi miliknya itu.
"Sebaiknya dicetak di Paris, ibu kota Perancis," Cromwell
mengusulkan. "Di sana ada bengkel percetakan yang paling baik. Dan
percayalah, Raja Henry tidak akan puas kecuali ada hasil yang paling
baik!"
Maka Miles Coverdale mulai bekerja. Bila satu bagian
naskahnya sudah siap, ia menyerahkannya kepada tukang-tukang cetak
cetak di kota Paris. Dan bila naskah yang diserahkan itu sedang
dicetak, bagian berikutnya sedang dizet. Rupanya tidak lama kemudian,
seluruh Alkitab edisi baru pesanan sang raja itu akan selesai. Bahkan
beberapa halamannya sudah dikirim ke negeri Inggris.
Tiba-tiba Thomas Cromwell menjadi gelisah. Di benua Eropa ada
bahaya. Ada orang-orang tertentu yang tidak menginginkan rakyat
jelata dapat membaca Alkitab. Jangan-jangan ada gerombolan musuh yang
menyerbu bengkel percetakan di kota Paris! Boleh jadi mereka akan
memusnahkan alat-alat percetakan, tumpukan-tumpukan kertas, beberapa
halaman yang sudah jadi, dan naskah terjemahannya!
Memang sebagian dari halaman yang sudah jadi itu kemudian
dirampas oleh musuh, dan dijual begitu saja kepada seorang tukang
pembuat topi. Maka Thomas Cromwell memutuskan, sebaiknya seluruh
proyek penerbitan sang raja itu dipindahkan ke negeri Inggris. " Di
negeri sendiri kita tidak akan diganggu!" katanya.
Lalu Miles Coverdale disuruh memindahkan segala-galanya ke
negeri Inggris: alat-alat percetakan kertas, bahkan tukang-tukang
cetak juga. Dan pekerjaan itu pun diteruskan.
Akhirnya pada tahun 1539 seluruh Alkitab itu selesai dicetak.
Ukuran halamannya sangat besar, sehingga versi itu segera diberi
julukan: "Alkitab Agung."
"Nah, kalau sudah dicetak, pasti harus dibaca!" kata Raja
Henry VIII. Ia mengeluarkan suatu titah supaya Alkitab Agung itu
dibacakan di setiap gereja. Ia juga memerintahkan supaya di setiap
gereja besar disediakan tiga atau empat buah meja khusus dengan
sebuah Alkitab Agung di atasnya masing-masing, dan supaya meja-meja
itu diletakkan di tempat yang berbeda-beda di dalam gereja. Jadi,
siapa saja boleh masuk ke dalam gereja dan membaca sendiri isi
Alkitab.
Titah sang raja pasti dilaksanakan dengan segera oleh rakyat.
Tidak lama kemudian, di seluruh Kerajaan Inggris orang-orang saleh
yang memasuki gereja atau katerdal mana saja, pasti menemukan di situ
beberapa meja. Dan di atas setiap meja itu diletakkan sebuah
eksemplar Alkitab Agung yang indah. Setiap Alkitab yang berukuran
besar itu dirantaikan pada meja, sehingga tak mungkin dibawa pulang.
Empat setengah abad yang lalu, hanya sedikit saja orang yang
mempunyai buku. Juga, hanya sedikit orang yang pandai membaca. Dan
orang yang pandai membaca, biasanya suka membaca dengan bersuara.
Coba andaikan ada seorang saudagar yang berhenti di depan
Alkitab Agung di sebuah gereja. Ia membolakbalikkan halaman demi
halaman sampai ia menemukan sesuatu yang menarik. Lalu ia berdiri di
situ sambil membaca dengan suara keras. Orang-orang lain yang berdiri
di sekelilingnya mendengarkan dengan penuh perhatian, apalagi jika
mereka sendiri kurang pandai membaca.
Beberapa waktu kemudian, saudagar itu pun pergi. Lalu ada
seorang sarjana yang kemungkinan memasuki gereja. Ia juga
membolakbalikkan halaman demi halaman yang besar itu, dan segera
mulai membaca dengan bersuara.
Mungkin juga menyusul seorang mahasiswa, atau seorang anak
bangsawan, ataupun seorang pegawai toko. Mereka masing-masing dengan
senang hati membuka Alkitab dan membaca isinya. Mungkin di antara
mereka itu ada yang membaca dengan suara yang lebih nyaring, dengan
harapan akan dikagumi orang lain: "Ah! Orang itu sungguh pandai
membaca!" Mungkin si pembaca Alkitab bahkan tidak menghiraukan waktu,
bahwa saat itu kebaktian umum di gereja sudah dimulai.
Maka timbullah kekacauan besar di dalam gereja-gereja di
seluruh Kerajaan Inggris. Orang-orang Inggris begitu asyik membaca
Firman Allah, sehingga mereka tidak lagi memperhatikan apakah gereja
itu sedang dipakai untuk beribadah atau tidak. Mungkin di
tengah-tengah khotbah terdengar suara melengkung dari arah belakang
ruang kebaktian, karena seseorang sedang membaca salah satu pasal
Kitab Mazmur. Menyusullah suara kedua di sebelah kiri dengan sangat
nyaring membaca Sepuluh Hukum Allah, sedangkan suara ketiga di
sebelah kanan menyerukan Ucapan Bahagia Tuhan Yesus. Tentu saja bagi
para anggota jemaat amat sulit mengikuti khotbah dalam keadaan
seperti itu!
Maka sang raja harus mengeluarkan suatu peraturan baru:
"Dilarang membaca bersuara keras jika ada upacara kebaktian yang
sedang berlangsung." Tetapi di luar jam-jam ibadah itu, siapa saja
boleh memasuki gereja dan membaca Alkitab Agung.
Pasti Raja Henry VIII senang atas keberhasilan tindakannya
itu. Namun di Kerajaan Inggris masih banyak orang yang belum sempat
mengetahui isi Alkitab. Di antara mereka itu ada yang kekurangan
waktu, sehingga mereka tidak sempat membeli sebuah Alkitab untuk
dibaca sendiri di rumah.
Rakyat biasa negeri Inggris harus menunggu dua setengah abad
lagi, barulah mereka dapat membaca Alkitab dengan mudah sama seperti
sang raja dan para bangsawan serta kaum cerdik pandai. Bahkan
tindakan seorang raja yang memungkinkan mereka mempunyai Alkitab
sendiri. Malah yang bertindak seorang anak perempuan dari rakyat
biasa di Wales, salah satu daerah kecil dari Kerajaan Inggris Raya.
Menjelang permulaan tahun 1800an, Mary Jones baru berumur
sepuluh tahun, namun ia sudah mempunyai dua cita-cita besar:
"Aku ingin belajar membaca!" kata si Mary. "Dan aku ingin
punya sebuah Alkitab sendiri."
"Cuma orang kaya saja yang punya Alkitab," jawab ayahnya. "Dan
kalau membaca, Ayah sendiri belum pernah belajar."
Ayah Mary Jones adalah seorang penenun kain. Walau ia tidak
dapat membaca, namun ia seorang pembawa cerita yang pandai. Di gereja
ia mendengarkan baik-baik waktu Firman Tuhan dibacakan dalam
bahasanya sendiri, yaitu bahasa Wales. Lalu ia suka menceritakannya
kembali kepada si Mary. Kisah nyata dari Alkitab itu adalah cerita
kesayangan Mary Jones sejak kecil.
Pada waktu si Mary berumur sepuluh tahun, salah satu citanya
itu mulai menjadi kenyataan. Sebuah sekolah dibuka, hanya tiga
kilometer jauhnya dari tempat tinggalnya. Si Mary merasa tidak
apa-apa setiap hari berjalan enam kilometer di lorong-lorong
pegunungan, asal saja ia dapat belajar membaca.
Ada seorang tetangga keluarga Jones yang cukup kaya; ia
mempunyai sebuah Alkitab. Istrinya mengajak si Mary main ke rumah
mereka, agar ia dapat membaca Firman Tuhan. Semakin banyak ia
membaca, semakin besar kerinduan hatinya untuk mempunyai sebuah
Alkitab sendiri.
Untuk mewujudkan keinginannya, Mary Jones mulai memelihara
ayam. Sedikit demi sedikit tabungannya menjadi berat. Namun ia harus
menunggu selama enam tahun, baru uang simpanannya itu cukup untuk
membeli sebuah Alkitab.
Di desa tempat tinggal Mary Jones tidak ada toko buku.
Seseorang memberitahu dia, "Aku mendengar bahwa di desa Bala, Pdt.
Charles suka menjual Alkitab. Tetapi jaraknya empat puluh kilometer
dari sini. Apa lagi, jalannya menanjak!"
Tidak mengapa. Si Mary toh sudah bekerja dan sudah menabung
selama enam tahun. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini, hanya
oleh karena ia harus berjalan lagi empat puluh kilometer pulang ke
rumahnya. Ia hanya memiliki sepasang sepatu saja, jadi sambil
berjalan ia menjinjing sepatu itu agar tidak terlalu cepat menjadi
usang.
Dengan kaki telanjang Mary Jones berjalan empat puluh
kilometer di jalan yang menanjak. Di pinggir desa Bala, baru ia
mengenakan lagi sepatunya: Tentu saja ia harus berpakaian rapi dan
sopan pada saat menghadap sang pendeta untuk membeli sebuah Alkitab!
Tetapi pendeta itu memberi kabar yang sangat mengecewakan:
"Alkitab berbahasa Wales itu hanya ada sisa tiga buah saja, dan
ketiga-tiganya sudah dijanjikan kepada orang lain. Aku kurang tahu
kapan akan ada lagi persediaan Alkitab."
Sampai saat itu Mary Jones sangat tabah. Tetapi ketika
mendengar kabar yang demikian, ia langsung duduk dan menangis.
Pdt. Charles merasa prihatin, apalagi setelah si Mary dengan
terbata-bata menceritakan pengalamannya. "Mungkin . . . mungkin salah
seorang calon pembeli itu rela menunggu sampai ada kiriman lagi,"
usulnya.
Memang ia berhasil membujuk salah seorang calon pembeli itu
untuk menunggu dengan sabar. Jadi, Alkitab yang semula dijanjikan
kepada orang itu dapat dijual kepada Mary Jones. Pdt. Charles yang
baik hati itu juga mengusahakan makanan, minuman, dan penginapan
untuk si Mary. Gadis itu dapat beristirahat secukupnya sebelum
menempuh perjalanan pulang kembali sejauh empat puluh kilometer.
Sesudah anak perempuan yang berumur enam belas tahun itu
pulang, Pdt. Charles masih tetap mengenang dia. Mestinya ada cukup
banyak Alkitab berbahasa Wales, katanya dalam hati. Pasti si Mary
hanya salah satu di antara sekian banyak rakyat biasa yang ingin
mempunyai sebuah Alkitab sendiri. Mestinya harga Alkitab lebih
rendah, sehingga rakyat tidak harus menabung bertahun-tahun lamanya.
Mestinya persediaan Alkitab lebih banyak, sehingga rakyat tidak harus
berjalan kaki jauh-jauh di lorong pegunungan untuk menemukan hanya
sebuah Alkitab saja.
Lalu Pdt. Charles mengadakan perjalanan jauh, dari desa Bala
ke ibu kota London. Di sana ia berunding dengan pemimpin-pemimpin
gereja. Kepada mereka ia menceritakan pengalamannya dengan si Mary
Jones.
Melalui peristiwa itu, maka pada tahun 1804 didirikan Lembaga
Alkitab Inggris Raya dan Luar Negeri. Itulah lembaga Alkitab yang
pertama-tema didirikan di seluruh dunia. Kemudian di mana-mana
menyusul lembaga-lembaga Alkitab yang lain, . . . termasuk Lembaga
Alkitab Indonesia.
Pekerjaan setiap lembaga Alkitab itu ialah, menerjemahkan
Firman Tuhan ke dalam bahasa sebanyak mungkin, menerbitkannya
sehingga dapat dijual semurah mungkin, lalu mengedarkannya seluas
mungkin. Itulah sebabnya pada masa sekarang ada ratusan juta orang di
dunia ini yang sempat mempunyai Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.
Jadi, belum cukup jika ada seorang raja yang menitahkan
supaya Alkitab diterbitkan dan dibacakan. Juga diperlukan cita-cita
yang besar dari seorang rakyat biasa, yaitu seorang putri penenun
kain. Mary Jones rela bekerja keras sambil menabung selama enam
tahun, lalu rela berjalan kaki sejauh empat puluh kilometer, oleh
karena tekadnya serta tindakannya itu, sekarang ada Alkitab bukan
hanya di Inggris Raya, melainkan juga di seluruh dunia.
TAMAT