25. HARGA ALKITAB BAHASA INGGRIS
(Inggris, Jerman, dan Belgia, 1522 - 1536 M.)
"Berapa harga Alkitab bahasa Inggris?"
Mungkin pembaca sendiri pernah bertanya seperti itu, jika
sedang berbelanja di toko buku yang menjual Alkitab dalam berbagai
bahasa asing. Mungkin Alkitab bahasa Inggris agak lebih tinggi
harganya daripada Alkitab bahasa Indonesia; pada umumnya barang
cetakan berbahasa asing itu lebih mahal daripada barang cetakan
berbahasa nasional.
Namun pembaca mungkin sekali belum pernah membayangkan,
berapa mahal harga yang sebenarnya dari Alkitab bahasa Inggris itu.
Untuk dapat mengerti kemahalannya, mari kita kembali menelusuri
sejarahnya samapi ke suatu masa lebih dari empat setengah abad yang
lalu . . . .
Pada tahun 1522 William Tyndale merasa beruntung sekali. Ia
sudah menyelesaikan kuliahnya di dua universitas yang terkenal, baik
di Oxford maupun di Cambridge. Dan ia pun sudah mendapat pekerjaan
yang cukup baik. Ia menjadi guru pribadi dua anak laki-laki dalam
keluarga Sir John Walsh, seorang bangsawan negeri Inggris.
Di samping mengajar membaca dan menulis dua bocah kecil,
sarjana yang masih muda itu menjadi pendeta pribadi seluruh keluarga
Walsh. Di samping imbalan yang diterimanya, ia juga ditampung di
rumah keluarga Walsh yang mewah. Hari demi hari ia memimpin kebaktian
untuk seisi rumah tangganya.
Pada masa lebih dari empat setengah abad yang lalu itu,
banyak orang Inggris suka berbicang-bincang tentang soal agama. Di
negeri Jerman, Martin Luther baru menantang sri paus serta memulai
suatu gerakan pembaruan gereja yang kemudian terkenal sebagai
Reformasi Protestan. Percakapan mengenai peristiwa itu selalu
menimbulkan perdebatan hangat.
Bahasa Inggris masih berpaut pada cara-cara gereja lama.
Namun William Tyndale lebih memperhatikan kata-kata yang terdapat di
dalam Alkitab, daripada kata-kata yang diamanatkan oleh para pembesar
gereja. Hal itu pun sering menghangatkan diskusi di sekitar meja
makan besar di rumah Sir John Walsh.
Sir John adalah seorang tuan rumah yang sangat ramah; sering
ia mengundang makan para pendeta dan pembesar gereja yang tinggal di
sekitar rumahnya. Pada salah satu perjamuan malam, William Tyndale
berdebat panjang lebar dengan para rohaniawan yang lebih tua dari
pada dia. Ternyata pendeta-pendeta senior itu amat pintar tentang
seluk-beluk doktrin gereja, namun sangat bodoh tentang isi Alkitab.
Tidak seorang pun di antara mereka itu yang sanggup mengutip Doa Bapa
Kami. Tidak seorang pun di antara mereka tahu di mana letaknya contoh
doa itu di dalam Alkitab. Dan yang lebih payah lagi tidak seorang
pun di antara mereka menganggap penting kebodohan itu . . . kecuali
William Tyndale saja.
Meja makan sudah dibersihkan oleh para pelayan; lilin-lilin
sudah dinyalakan; namun perdebatan itu masih terus berlangsung.
Akhirnya salah seorang ahli doktrin gereja itu berteriak, sambil
membanting tinjunya ke meja: "Wah! Lebih baik kita kehilangan hukum
Tuhan, daripada kehilangan hukum para pembesar gereja!"
William Tyndale membalas dengan berseru: "Aku menantang para
pembesar gereja dan segala hukumnya! Kalau Tuhan memperpanjang
umurku, pada tahun-tahun mendatang aku akan menjadikan setiap anak
laki-laki yang membajak di ladang lebih mengetahui isi Alkitab
daripada engkau sendiri!"
Setelah para tamu pulang istri Sir John Walsh berkata dengan
cemasnya, "Aduh, Pendeta tyndale, bukankah perkataanmu tadi agak
keterlaluan? Namun pendeta sudah banyak dipercakapkan di kedai-kedai
minuman keras. Para rohaniawan yang bodoh-bodoh itu suka menceritakan
kembali setiap perkataanmu, dibumbui dengan perkataan lain lagi yang
sebenarnya belum pernah kaucapkan. Dan . . . mereka suka menuduh
bahwa Pendeta Tyndale sudah menganut ajaran bidat."
William Tyndale merasa menyesal. Ia mengusulkan agar ia
meninggalkan rumah keluarga Walsh. Namun Sir John dan istrinya adalah
orang Kristen yang berani. Mereka sudah diyakinkan Pdt. Tyndale,
bahwa iman yang sejati harus dinyatakan melalui mendalami Alkitab
serta menjalani hidup secara layak sebagai orang Kristen. Maka mereka
tidak mau melepaskan pelayanan William Tyndale dari keluarga mereka.
Tetapi supaya mereka tidak lagi dipermalukan, mereka berhenti
mengundang para pendeta senior dan para pembesar gereja ke rumah
mereka.
Pdt. Tyndale merasa tindakan itu cukup bijaksana. Ia sendiri
lebih senang mengkhotbahkan isi Alkitab kepada orang biasa di
gereja-gereja desa, daripada memperdebatkan soal-soal agama dengan
para rohaniawan. Jika diberitakan bahwa William Tyndale akan mengisi
mimbar di gereja tertentu, selalu orang berbondong-bondong menghadiri
kebaktian di sana. Pdt. Tyndale suka membacakan Alkitab berbahasa
Latin kepada rakyat jelata, lalu menjelaskan maknanya ke dalam bahasa
Inggris yang sederhana.
Namun tindakan Sir John Walsh tadi tidak menyelesaikan
masalahnya, malah menjadikannya lebih sengit. Para rohaniawan yang
tinggal di sekitarnya itu telah kehilangan kesempatan untuk menikmati
makanan yang lezat serta penginapan yang nyaman di rumah keluarga
Walsh. Tentu saja mereka mempersalahkan William Tybdale atas kerugian
itu.
Perkataan Tyndale dilaporkan kepada atasan para petugas
gereja di daerah itu. Segera ia menyuruh Pdt. Tyndale menghadap, dan
mengundang beberapa penuduhnya untuk hadir pula. Rupanya hanya para
penuduh saja yang diizinkan berbicara, sehingga Tyndale tidak sempat
membela diri. Mengenai pemeriksaan di hadapan pengawasannya itu,
Tyndale mencatat: "Ia mengancam segala macam, serta mencaci maki
diriku seolah-olah aku ini seekor anjing saja."
Setelah dilakukan pemeriksaan yang kurang adil itu, William
Tyndale memang pindah dari rumah Sir John Walsh. Ia tidak mau
mencelakakan keluarga yang baik hati itu. Di samping perkataannya
yang dianggap ajaran bidat, ia pun sudah memberanikan diri mulai
menyusun ayat-ayat Alkitab dalam bahasa Inggris. Pembuatan terjemahan
baru itu sudah jelas berarti melanggar hukum.
Satu setengah abad sebelum masa hidup William Tyndale, pernah
ada orang-orang Kristen yang berani menerjemahkan seluruh Alkitab
dari bahasa Latin ke dalam bahasa Inggris. Tetapi perbuatan mereka
itu dikutuk, baik oleh gereja maupun oleh negara. Undang-undang
Kerajaan Inggris masih melarang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
nasional itu masih tetap berlaku.
Namun Tyndale mulai berani menyalin Firman Allah ke dalam
kata-kata yang dapat dipahami oleh orang biasa. Ia bukan hanya
menerjemahkan berdasarkan Alkitab berbahasa Latin saja: Sebagai
seorang sarjana lulusan universitas, ia sudah pandai berbahasa Ibrani
dan Yunani, yaitu bahasa-bahasa asli Alkitab. Maka ia sanggup
mengerjakan terjemahan Alkitab bahasa Inggris yang jauh lebih tepat
daripada yang pernah dihasilkan satu setengah abad sebelumnya itu.
Hanya ada satu orang saja yang berhak memberi izin
pengecualian, sehingga terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris boleh
diterbitkan tanpa melanggar hukum. Orang itu adalah Uskup Tunstall di
London. William Tyndale memutuskan untuk pindah ke ibu kota itu, agar
ia dapat menghadap sang uskup.
"Aku tidak udah digaji," kata Pdt. Tyndale sambil berusaha
membujuk Uskup Tunstall. "Aku hanya minta disediakan sebuah kamar
yang sepi, agar aku dapat bekerja dengan tenang sampai terjemahan
baru itu selesai."
Rupanya Uskup Tunstall sudah mendengar desas-desus tentang
pendeta muda ini. Namun ia tidak terang-terangan menolak permintaan
Tyndale. "Sudah terlalu banyak orang yang harus diberi makan dari
anggaran belanjaku," kata sang uskup dengan sangat halus. "Maaf, aku
tidak sanggup menambah lagi seorang karyawan."
William Tyndale kecewa, tetapi tidak putus asa. Ia mencari
sampai mendapat sebuah gereja kecil di ibu kota London yang rela
menerima dia sebagai gembala sidangnya. Dengan sungguh-sungguh ia
melayani jemaat itu, sehingga hanya tinggal sisa waktunya untuk
meneruskan pekerjaan menerjemahkan Alkitab.
Khotbahnya yang berapi-api di gereja kecil itu menarik
perhatian seorang bangsawan dan saudagar kain bernama Sir Humphrey
Monmouth. Beberapa kali Sir Humprhrey melintasi seluruh kota London
yang luas itu, hanya agar ia dapat mendengar khotbah Pdt. Tyndale.
"Datanglah ke rumahku," Sir Huphrey mengundang. "Tinggallah
bersamaku. Aku rela meminjamkan uang kepadamu, sehingga engkau dapat
meneruskan terjemahanmu dengan lebih leluasa."
William Tyndale menerima undangan yang bersifat murah hati
itu. Selama enam bulan ia menginap di rumah Sir Humphrey Monmouth.
Sepanjang hari, bahkan sampai larut malam ia bekerja keras,
mengalihkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris.
Makin lama Tyndale tinggal di ibu kota, maka jelaslah bahwa
Alkitab bahasa Inggris itu tak mungkin diterbitkan di negeri Inggris.
Tanpa seizin uskup Tunstall, semua tukang cetak merasa takut
mengerjakan terjemahan baru yang terlarang itu. Tetapi di negeri
Jerman dan di negeri-negeri lain di benua Eropa, ada banyak orang
Kristen yang sudah menyokong gerakan pembaharuan gereja yang sudah
dimulai oleh Martin Luther. Mungkin di sana ada kesempatan yang lebih
luas untuk menerbitkan terjemahanku, demikianlah pikiran Tyndale.
Pada bulan Mei tahun 1524, William Tyndale meninggalkan
negeri Inggris. Ia telah meminjam sejumlah uang dari Sir Humphrey
Monmouth untuk menutupi ongkos perjalanannya. Lalu ia naik sebuah
kapal layar dari pulau Inggris dan menyeberangi lautan ke benua
Eropa. Sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya bahwa seumur
hidup ia tidak akan sempat melihat tanah airnya lagi.
Pdt. Tyndale mendarat di pelabuhan Hamburg. Selama satu tahun
ia menetap di negeri Jerman sambil menyelesaikan terjemahannya.
Mungkin ia sempat bertemu serta berunding dengan Dr. Martin Luther,
pendekar Reformasi Protestan itu. (Cerita penerjemah Alkitab agung
tersebut dimuat dalam Jilid 2 dari seri buku ini.)
Kota Koln adalah pusat kegiatan para tukang cetak Jerman yang
terkenal. Salah seorang di antara mereka itu bernama Peter Quentel.
Kepada dialah William Tyndale bertanya, "Relakah engkau mencetak tiga
ribu eksemplar Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris?"
Dengan senang hati," Jawab Peter Quentel. Maka pekerjaan itu
segera dimulai.
Tyndale tidak tahu bahwa pada saat yang sama itu Quentel juga
sedang mencetak sebuah buku untuk Johann Dobneck, seorang pemimpin
gereja yang sangat membenci Martin Luther. Bahkan Dobneck membenci
setiap gerakan pembaharuan di kalangan orang Kristen.
Pada suatu hari Dobneck mendengar percakapan beberapa tukang
cetak yang sedang memperbincangkan Martin Luther. "Banyak yang dapat
kuceritakan, kalau aku mau," kata salah seorang tukang cetak itu
dengan berbual-bual. Di sini juga sedang dikerjakan sesuatu yang
akan membuat semua orang Inggris menganut gerakan Luther!"
Untuk mendapat keterangan yang lebih jitu, Dobneck mengundang
para tukang cetak itu ke rumahnya. Ia pun menyuguhkan banyak air
anggur, sehingga mereka mulai mabuk dan rela menceritakan rahasia
itu: "Ada beberapa saudagar bangsa Inggris yang mengongkosi proyek di
dalam bungkusan kain biasa. Dengan cara itu Alkitab akan dibawa dari
negeri Jerman, lalu diselundupkan ke negeri Inggris untuk dijual."
Johann Dobneck bertindak dengan cepat. Ia mempengaruhi para
pembesar di kota Koln untuk menghentikan proyek penerbitan rahasia
itu. Ia pun menulis surat kepada raja Inggris dan Uskup Tunstall,
supaya semua kapal perniagaan digeledah, kalau-kalau di dalam
muatannya ada barang selundupan berupa Alkitab bahasa Inggris yang
terlarang itu.
Tetapi William Tyndale juga bertindak dengan cepat. Salah
seorang tukang cetak tadi, setelah siuman kembali dari mabuknya,
merasa sangat menyesal karena sudah membocorkan rahasia itu. Ia
memberitahukan apa yang telah terjadi. Dengan sangat tergesa-gesa
Tyndale sempat pergi ke bengkel percetakan Peter Quentel. Serta merta
ia mengambil dan membungkus halaman-halaman yang sudah selesai,
karena 22 pasal pertama dari Kitab Injil Matius itu sudah jadi
dicetak.
Dengan tiga ribu salinan dari Matius 1-22 serta naskah
terjemahannya yang sangat berharga itu, William Tyndale berhasil
mengungsi dari kota Koln ke kota Worms. Di sana ia mencari seorang
tukang cetak baru, dan proyek penerbitan itu pun masih diteruskan.
Kali ini semuanya berjalan lancar. Enam ribu Kitab Perjanjian Baru
berbahasa Inggris dicetak, yakni dua kali lipat jumlah yang mula-mula
dipesan itu.
Sesungguhnya penundaan proses penerbitan itu sangat
menguntungkan. Selama minggu-minggu pertama sesudah usaha William
Tyndale diketahui oleh musuh-musuhnya, semua kapal yang berlabuh di
negeri Inggris itu digeledah. Tetapi setelah lewat beberapa bulan,
keadaan waspada itu agak mereda. Maka pada musim semi tahun 1526,
keenam ribu Perjanjian Baru yang disembunyikan di dalam bungkusan
kain itu tiba dengan selamat, serta disebarluaskan di antara bangsa
Inggris.
Bukan main murka raja Inggris dan Uskup Tunstall pada waktu
mereka mengetahui hal itu! Mereka bukan hanya menyuruh menyita semua
Kitab Perjanjian Baru itu, tetapi juga menahan semua pemiliknya.
Sebanyak 158 keranjang besar berisi Firman Allah berbahasa Inggris
itu ditumpuk di depan sebuah gereja agung di ibu kota. Lalu para
tahanan tadi dipaksa membuang bara api ke atas keranjang-keranjang
besar itu sampai seluruh isinya terbakar.
Anehnya, . . . tindakan kekerasan itu pun ternyata sangat
menguntungkan bagi usaha William Tyndale dan kawan-kawannya. Banyak
orang yang menyaksikan kebakaran besar itu mulai bertanya-tanya:
"Mengapa buku-buku itu dianggap begitu jahat? Siapa yang tahu, dimana
kita dapat membelinya?
Para saudagar Inggris yang mengongkosi proyek penerbitan itu
sangat cerdik; mereka tahu bahwa pertanyaan spontan semacam itu
merupakan iklan gratis yang paling unggul. Maka mereka memesan lebih
banyak lagi Kitab Perjanjian Baru terjemahan William Tyndale.
Alkitab-Alkitab itu dicetak di beberapa tempat di negeri Belanda.
Ribuan eksemplar diselundupkan ke negeri Inggris dari negeri
Skotlandia, dengan menyembunyikannya ke dalam karung gandum dan
bungkusan rami. Sedemikian besar rasa ingin tahu khalayak ramai
tentang terjemahan baru itu, sehingga ada orang-orang yang rela
membayar dengan harga yang mahal, asal saja mereka dapat mempunyai
sebuah Alkitab bahasa Inggris.
Sang raja dan sang uskup di ibu kota itu lebih murka lagi! Semua
orang yang diketahui pernah menemani William Tyndale, segera ditahan
dan diperiksa. Bahkan yang berpangkat bangsawan sekalipun tidak
luput, seperti misalnya Sir Humphrey Monmouth. Ratusan orang
dikucilkan dari gereja; puluhan orang dipenjarakan; dan tidak sedikit
orang dibakar hidup-hidup.
Agen-agen rahasia Inggris disuruh ke negeri Jerman, dengan
maskud untuk menangkap Tyndale. Tetapi ia meloloskan diri ke kota
Antwerpen, di negeri Belgia. Uskup Tunstall sendiri menyeberang ke
Antwerpen, namun tidak berhasil menemukan orang yang dilacaknya itu.
Sambil merantau, sang uskup sempat bertemu dengan seorang
saudagar Inggris bernama Augustine Packington.
"Tuanku," kata saudagar itu, "jikalau Tuanku menghendaki, dan
rela membayar, aku dapat mengumpulkan buku yang terlarang itu
sebanyak-banyaknya.
"Baiklah!" kata Uskup Tunstall. "Dengan hati yang bulat aku
akan membayar seluruh ongkosmu, karena buku itu sangat jahat, dan aku
bertekad akan memusnahkan semuanya."
Tidak lama kemudian, Augustine Packington pergi ke suatu
tempat persembunyian di kota Antwerpen. "William," katanya kepada
Pdt. Tyndale, "aku telah mendapatkan seorang langganan yang mau
membeli banyak sekali Kitab Perjanjian Barumu."
"Siapa dia?" tanya William Tyndale.
"Sang uskup dari London," jawab Packington.
"Ah! Dia hanya mau membakarnya saja!" cetus Tyndale.
"Ya, betul," temannya itu mengiakan.
Lalu William Tyndale mulai berpikir: Kalau Uskup Tunstall
rela membayar sisa cetakan ini, dengan hasil uang itu aku dapat
mencetak edisi baru yang sudah diperbaiki. Apa lagi, seluruh dunia
akan memprotes pembakaran Firman Allah, sehingga akan muncul lagi
iklan gratis!
Tidak lama kemudian, Augustine Packington memenuhi janjinya.
Ia datang ke rumah besar di ibu kota tempat tinggal Uskup Tunstall,
dengan menuntun seekor bagal. Binatang itu sarat dengan Kitab-Kitab
Perjanjian Baru hasil terjemahan Tyndale. Sang uskup membayar
harganya. Lalu uang itu dibawa ke seberang, demi melancarkan usaha
penyediaan Alkitab bahasa Inggris dalam edisi yang baru.
Sementara itu Pdt. Tyndale bukan hanya menyempurnakan
terjemahan Kitab Perjanjian Baru saja; ia pun mulai mengusahakan
terjemahan Kitab Perjanjian Lama. Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan, Ulangan . . . kitab demi kitab dialihkan dari bahasa
Ibrani ke dalam bahasa Inggris. Dan ia bukan hanya menerjemahkan
Alkitab saja: Ia pun berusaha menyampaikan maknanya kepada
orang-orang lain.
Pada suatu hari di kota Antwerpen ia mengumpulkan beberapa
saudagar Inggris yang rela menolong dia menyelundupkan Alkitab ke
tanah air mereka. Salah seorang yang sempat mendengarkan Tyndale
membacakan terjemahannya pada hari itu, kemudian bercerita
sebagai berikut:
"Kata-katanya begitu halus terdengar, begitu sedap dan manis,
sehingga mirip dengan kata-kata Rasul Yohanes sendiri. Kami merasa
terhibur, bahkan bergembira, pada saat kami sempat mendengar dia
membacakan Firman Allah dalam bahasa kami sendiri."
Tetapi pada suatu hari yang lain di kota Antwerpen, ada
seorang kawan yang mengajak William Tyndale meninggalkan rumah tempat
pengungsiannya dan pergi berjalan-jalan. Tyndale rela saja pergi
. . . karena ia tidak tahu bahwa orang itu sesungguhnya bukan kawan
melainkan lawan. Orang itu memimpin Pdt. Tyndale langsung ke arah
suatu pasukan tentara, yang dengan segera menyeret dia ke penjara
negara di Benteng Vilvoorde.
Proses pengendalian William Tyndale berlangsung selama hampir
satu setengah tahun. Sementara itu ia tidak tinggal diam. Mula-mula
ia tidak diizinkan membawa apa-apa ke dalam selnya. Tetapi dengan
setia ia bersaksi kepada kepala penjara, sehingga orang itu maupun
seluruh keluarganya menjadi percaya kepada Tuhan Yesus. Lalu dengan
bantuan teman-temannya yang baru itu, Pdt. Tyndale mendapat kembali
buku-buku miliknya yang sangat berharga: Alkitab bahasa Ibrani,
pedoman tata bahasa Ibrani, dan kamus bahasa Ibrani. Ia pun mendapat
persediaan kertas dan pena, juga lilin agar dalam kegelapan malam ia
dapat bekerja terus.
Selama proses pengadilan yang berkepanjangan itu, William
Tyndale berhasil menerjemahkan Perjanjian Lama sampai dengan Kitab 2
Tawarikh. Lalu pada suatu hari dalam musim rontok ia dituntun ke luar
dari selnya. Pada tanggal 6 Oktober tahun 1536, di depan orang
banyak, lehernya dicekik dengan rantai sampai ia melepaskan nyawanya.
Lalu mayatnya dibakar.
Beberapa saat sebelum ia meninggal, William Tyndale sempat
mencetuskan suatu doa penghabisan:
"Ya Tuhan, celikkanlah mata raja negeri Inggris!"
Anehnya, . . . pada tahun itu juga sang raja memberi izin
supaya sebuah versi Alkitab dalam bahasa Inggris boleh diterbitkan.
Dan bukan hanya itu saja: Dari tahun 1536 hingga kini,
Alkitab bahasa Inggris berkali-kali diterjemahkan kembali dan
berkali-kali diterbitkan kembali. Juga dari tahun 1536 hingga kini,
tiap-tiap versi Alkitab dalam bahasa Internasional itu sangat
dipengaruhi oleh terjemahan yang mula-mula dikerjakan William
Tyndale, seorang sarjana yang rela mengorbankan nyawanya sebagai
harga Alkitab bahasa Inggris.
TAMAT