22. ALKITAB? ATAU PERMEN COKLAT?
(Amerika Serikat, 1951 - 1957)
Laurens mempunyai sebuah Alkitab yang baru. Betapa senang
rasanya. Ia baru duduk di kelas 3 SD dan sesungguhnya belum dapat
membaca ayat-ayat dengan lancar, namun ia bangga mempunyai sebuah
Alkitab yang baru. Sesuai dengan sistem pendidikan di Amerika
Serikat, pelajaran itu diadakan bukan di sekolah, melainkan di
gereja, walau masih dalam jadwal belajar.
Pada suatu hari, ketika si Laurens sedang mengikuti pelajaran
agama seperti biasanya, ada seorang murid SMP yang mengunjungi kelas
3 SD. Anak laki-laki itu kelihatannya cuku tinggi bila berdiri di
depan Laurens dan kawan-kawannya.
"Anak-anak," kata Ibu Rusell, guru mereka, "David ingin
mengumumkan sesuatu kepadamu. Ada pesan dari kakak-kakakmu di SMP.
Mari kita dengarkan!"
David berdiri di depan. "Pasti kalian tahu bahwa negeri
Jerman dan negeri Jepang kalah dalam perang beberapa tahun yang
lalu," katanya.
Laurens menganggukkan kepalanya. Walau ia sendiri masih
terlalu kecil untuk mengingat banyak hal dari masa perang itu, namun
ia sudah pernah mendengar ceritanya dari orang tuannya. Ia tahu bahwa
banyak kota di kedua negara asing itu rusak berat akibat pemboman.
Banyak barang yang musnah; banyak orang yang tewas.
"Nah! Kami mendengar bahwa negeri Jerman dan Jepang
kekurangan Alkitab," kata David meneruskan. "Tahukah kalian, ada
banyak keluarga di sana yang tidak punya Alkitab satu pun tidak?"
Si Laurens mengacungkan tangannya. "Kenapa sih tidak beli
saja? Kenapa orang tua dalam keluarga-keluarga itu tidak membeli
Alkitab untuk anak-anak mereka?"
"Karena tidak ada Alkitab di toko buku di sana," David
menjelaskan. "Dan seandainya ada, orang-orang di sana tidak punya
cukup banyak uang untuk dapat membeli makanan bagi anak-anak mereka,
apa lagi untuk membeli buku. Sebenarnya mereka tidak punya apa-apa.
Tapi mereka sangat rindu punya Alkitab."
"Ya, memangnya kenapa?" tanya Laurens lagi. Anak laki-laki
yang berambut merah itu sering mengajukan pertanyaan yang agak sulit
dijawab.
"Nanti dulu, Dik," kata David dengan sabar. "Itulah sebabnya
aku datang mengunjungi kelas 3 ini. Kelas kami akan menyediakan
sebuah Tabungan Alkitab. Kami akan memasukkan uang kami, agar dapat
mengirim Alkitab ke negeri Jerman dan negeri Jepang. Kami berharap
dapat mengumpulkan dana sebanyak empat puluh dolar sebelum akhir
tahun pelajaran ini. Dan kami pikir, mungkin kalian juga mau
menyediakan Tabungan Alkitab."
"Tetapi . . . aku tidak punya uang tambahan," kata Laurens
memprotes.
Murid SMP yang tinggi perawakannya itu memandang pada wajah
Laurens sambil tersenyum nakal. "Lho! Kan kulihat kau kemarin sedang
makan permen coklat?"
Muka si Laurens mulai memerah. "Tetapi itu . . . ya, itu
. . . Huh! Masa aku tidak boleh makan permen cokelat?"
"Kami rela kehilangan permen cokelat," kata David
menjelaskan. "Kami pun rela membagi-bagikan uang saku kami. Dan
juga, kami akan mencari uang dengan cara-cara lain. Tetapi
masing-masing menurut kerelaan hati sendiri. Tidak ada yang memaksa."
Laurens terdiam. Kepalanya yang merah itu terkulai, tetapi
rahangnya mengeras. Ia tidak mau absen makan permen cokelatnya.
Setiap hari sehabis sekolah ia suka jajan, dan permen coklat itulah
makanan kesayangannya.
Setelah David pergi lagi, murid-murid kelas 3 itu
memperbincangkan usulnya. Dengan bantuan ibu guru, mereka menyelidiki
negeri-negeri jauh itu yang sangat kekurangan Alkitab. Hampir setiap
anak dalam kelas 3 itu setuju untuk menyediakan Tabungan Alkitab.
Hanya si Laurens saja yang tidak turut berunding. Ia duduk saja
dengan muka yang masam.
Ketika pelajaran agama Kristen itu usai, ibu Russell menyuruh
Laurens tinggal sejenak. "Laurens," katanya, "kawan-kawan sekelasmu
telah setuju untuk menediakan tempat tabungan itu. Tetapi Ibu tidak
mau engkau memasukkan uangmu ke dalamnya. Sesen pun kau tidak boleh!"
katanya dengan tersenyum.
Laurens melongo. "Kenapa, Bu?"
"karena ini merupakan pemberian kasih, Nak. Yah, . . .
pemberian dari anak-anak yang lebih senang orang lain mempunyai
Alkitab daripada mendapat sesuatu untuk diri mereka sendiri. Seorang
pun tidak boleh turut memberi kalau hatinya kurang senang. Lebih baik
kau lupakan saja Tabungan Alkitab itu. Tidak seorang pun akan tahu
siapa yang memasukkan uang dan siapa yang tidak." Ia tersenyum lagi
dan mendorong Laurens ke arah pintu ruang kelas. "Pulang saja, Nak.
jangan pikirkan hal itu lagi!"
Untuk sementara waktu si Laurens memang melupakan hal itu.
Dengan senangnya ia jajan. "Hmm, . . ." kata si Henry seolah-olah
menghitung-hitung dalam hati, "kalau aku tidak jajan satu hari dalam
seminggu saja, . . . kira-kira berapa banyakkah yang dapat aku
masukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu?"
Hari demi hari ada murid-murid kelas 3 yang maju ke depan dan
memasukkan sesuatu ke dalam tabungan itu kadang-kadang satu sen,
atau lima sen, atau sepuluh sen. Tidak ada yang mencatat
pemberian-pemberian mereka; tidak ada yang memperhatikan siapa yang
memberi dan siapa yang tidak memberi.
Pada suatu pagi ketika Laurens sedang berjalan menuju
sekalah, ia melihat di trotoar ada suatu benda yang mengkilap dalam
sinar matahari. Lima puluh sen! Setengah dolar! Ia mulai
menghitung-hitung dalam hati, berapa banyak permen coklat yang dapat
dibelinya dengan uang sebanyak itu. Si Laurens sungguh doyan makan
permen cokelat.
Lalu terlintas pikiran: Kalau uang ini aku masukkan ke dalam
Tabungan Alkitab, aku tidak rugi apa-apa. Uang jajanku masih tetap
utuh. Tetapi lebih baik uang ini kutukarkan dulu.
Maka Laurens membawa mata uang besar itu ke kios dan
menukarkannya dengan sepuluh mata uang kecil. Di ruang kelas
pelajaran agama Kristen, ia menunggu sampai semua kawannya sudah
masuk. Lalu ia pun maju ke depan dan mulai menjatuhkan uangnya ke
dalam tabungan itu. Satu persatu mata uang lima sen itu
dijatuhkannya, sampai jumlahnya sepuluh biji. Semua anak
memperhatikan perbuatannya. Lalu ia kembali ke tempat duduknya dengan
raut muka yang sombong.
Tetapi beberapa jam kemudian, pada waktu si Laurens mampir ke
kios sebelum pulang dari sekolah, hatinya mulai merasa tidak enak. Ia
tidak segera melahap permen cokelatnya seperti biasa. Pada saat itu ia
insaf. Tidak benar perbuatanku tadi . . . . Mereka semua mengira aku
sudah mengorbankan sesuatu untuk menyumbang dana pembelian Alkitab,
. . . padahal aku cuma memasukkan uang orang lain yang kebetulan
jatuh di trotoar. Sama sekali bukan aku yang memberi, hanya orang
yang kehilangan uang itu.
Bungkusan kecil permen cokelat yang tadinya hendak dibelinya
itu ditaruhnya kembali. Tidak jadi Laurens membelinya. Sore itu ia
menahan lapar sampai waktu ibunya menyajikan makanan di rumah. Dan
esok harinya, uang sepuluh sen yang biasanya dibelikan permen coklat
itu dimasukkannya ke dalam Tabungan Alkitab.
Sangat senang rasanya! Ia sudah turut serta dalam pemberian
kasih. Ia sudah menolong orang-orang lain di negeri-negeri yang jauh,
agar mereka pun dapat mempunyai Alkitab.
Minggu demi minggu murid-murid kelas 3 itu menyediakan
Tabungan Alkitab. Menjelang akhir tahun sekolah, si David yang tinggi
itu kembali lagi ke ruang kelas mereka. "Kami berhasil mengumpulkan
dana empat puluh dolar!" katanya dengan mata yang berbinar-binar.
"Rasanya mustahil uang sebanyak itu dikumpulkan murid-murid SMP,
tetapi kami telah berhasil!"
Anak-anak kelas 3 itu berseru "Hore!" dan bertepuk tangan.
"Yang penting, uang itu sekarang akan dikirim ke negeri
Jerman dan negeri Jepang, untuk dibelikan banyak Alkitab di sana,"
David melanjutkan "Nah, dengarkan, adik-adik: Kami akan memuat
laporan di surat kabar tentang usaha semua kelas. Memang kamilah yang
memulai proyek itu, tetapi alangkah baiknya kalau jumlah dana nanti
jika digabung dapat mencapai delapan puluh dolar empat puluh dari
kelas kami, dan empat puluh lagi dari kelas-kelas lainnya."
"Mustahil!" kata si Laurens. "Masakan anak-anak sekolah dapat
menabung uang sebanyak itu."
Tetapi pada saat ayahnya membacakan laporan dari surat kabar
itu, si Laurens hampir tidak percaya: ```semua kelas telah
menggabungkan isi Tabungan Alkitab mereka masing-masing. Ternyata
jumlahnya dua ratus enam puluh enam dolar, semuanya untuk membeli
Alkitab bagi orang-orang Jerman dan orang-orang Jepang.'''
"Dua ratus enam puluh enam dolar wah!" cetus Laurens.
Beberapa minggu kemudian, mulailah tahun pelajaran yang baru.
Kini Laurens duduk di kelas 4. Pada saat seorang murid bertanya
kepada Ibu Rusell tentang Tabungan Alkitab, guru mereka itu tersenyum
saja. "Tergantung kalian sendiri," katanya. "Kalau mau, boleh. Kalau
tidak mau, jangan."
Laurens membuka pembicaraannya. "Menurut hematku, sebaiknya
kita adakan lagi," katanya. "Hanya saja, kita semua sudah lebih besar
sekarang. Mestinya kita dapat mengumpulkan lebih banyak uang.
Misalnya, pamanku telah menjanjikan uang jasa kalau aku mau
memelihara kudanya."
Susi juga memberi usul: "aku akan memasukkan uang
persembahanku dari gereja."
Semua murid kerlas 4 itu menjadi diam.
"Wah, nanti banyak uang akan terkumpul kalau kita semua
berbuat begitu," kata Henry.
"Lebih baik kalian pikir dulu," kata Ibu Rusell dengan
tenang.
Setelah beberapa saat, si Laurens berbicara lagi. "Kupikir
lebih baik jangan," katanya. "Gereja kita perlu menggunakan uang
persembahan itu untuk banyak usaha yang baik. Kalau uang itu kita
masukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu harus kita ambil dari uang
saku kita sendiri."
"Aku tidak diberi uang saku," kata Tom. "Tetapi aku dapat
mencari uang dengan bekerja sambilan."
"Kalau aku, sering ada pemberian khusus dari ayahku yang
boleh kupakai sesuka hatiku," kata Henry. "Aku dapat memasukkan
sebagian dari uang itu."
Jadi, mereka memang membuat suatu peraturan: Semua uang yang
dimasukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu harus diambil dari uang
saku, atau dari uang jasa, atau pun dari uang pemberian.
Kelas-kelas pelajaran agama Kristen yang lain juga menyukai
peraturan itu bukan hanya di sekolah si Laurens, tetapi juga di
sekolah-sekolah lain yang letaknya berdekatan. Mereka semua setuju
dengan rencana itu. Maka mereka semua mulai menyediakan Tabungan
Alkitab.
Menjelang akhir tahun pelajaran pada bulan Juni yang
berikutnya, sudah ada dua ratus dolar lagi dalam tabungan-tabungan
itu.
Di pertengahan tahun 1953, si Laurens dan teman-temannya
sudah naik kelas; mereka duduk di kelas 5. "Mari kita membuat
poster-poster," Laurens mengusulkan. "Kita dapat menempelkan
poster-poster itu di mana-mana, agar murid-murid lain mau turut
memberi." Dengan segera mereka berbuat demikian, dan bahkan
murid-murid SMA mulai tertarik akan usaha pengumpulan dana itu.
Menjelang bulan juni lagi, jumlah pemberian mereka selama tiga
tahun itu telah mencapai seribu dolar lebih!
"Mau diteruskn?" tanya Ibu Rusell pada waktu tahun pelajaran
dimulai lagi.
"Mau!" Laurens dan teman-temannya sudah duduk di kelas 6. Dan
proyek pengumpulan dana Alkitab itu dilanjutkan untuk satu tahun
lagi.
"Aku akan menyusun daftar tentang semua cara yang kami pakai
untuk mencari uang." kata Laurens. "Mungkin anak-anak di tempat lain
akan tertarik juga mengetahuinya. Hai kawan-kawan, beritahu, kalau
kalian punya cara baru untuk mendapatkan uang yang akan dimasukkan ke
dalam Tabungan Alkitab kita."
Si Laurens lalu menyusun daftar itu. Sebagai judulnya ia
menulis dengan huruf cetak: "CARA-CARA KITA MENGUMPULKAN UANG." Di
bawah judul itu ada kalimat-kalimat sebagai berikut:
Aku sendiri memelihara kuda milik pamanku.
Susi tidak jadi membeli es krim.
Lolita membuat krans-krans Natal dan menjualnya.
Jack menabung untuk membeli sebuah pistol air,
tetapi uang itu kemudian dimasukkannya
ke dalam Tabungan Alkitab.
June mencari langganan baru untuk majalah.
Lorraine mencuci piring.
Marie menolong tetanggannya membereskan
tempat-tempat tidur.
Donald mengantar koran.
Makin lama makin panjang daftar itu! Orang-orang dewasa di
seluruh daerah itu pun tertarik. Kalau ada tugas kecil yang perlu di
kerjakan, mereka suka memanggil salah seorang murid sekolah. "Hei,
kamu mau mendapat dua puluh lima sen untuk Tabungan Alkitabmu?"
mereja suka menawarkan.
Laurens adalah murid yang paling bersemangat. Ketika tahun
1954 sudah tiba dan mereka sudah mengumpulkan dana sebesar tiga ribu
dolar, ada beberapa anak yang diundang turut tampil pada siaran
televisi. Tentu saja si Laurens termasuk rombongan acara itu.
Sekarang si Laurens sudah tinggi, sama seperti si David dulu.
Sama seperti David pula, dialah orangnya yang suka pergi ke
ruang-ruang kelas lain serta mendorong adik-adik kelasnya agar mereka
turut memberi.
"Bukankah kau sudah bosan dengan proyek itu?" tanya
seseorang. Sama sekali tidak!" jawab Laurens. "Tahun ini kami mencari
uang untuk Alkitab dalam bahasa Hongaria, karena ada banyak pengungsi
dari negeri itu. Semua harta mereka hampir ludes. Paling sedikit kami
dapat menyediakan Alkitab untuk mereka."
Bulan Juni tahun 1957 sudah tiba. Laurens termasuk kelompok
kecil murid-murid kelas 2 SMP yang bertugas menghitung jumlah uang
yang telah ditabung selama masa enam tahun itu. "Lima ribu lima ratus
dolar," Laurens menulis. "Wah! Dan coba bayangkan, . . . dulu aku
seorang anak kecil yang bodoh, yang lebih senang membeli permen
cokelat daripada untuk memberi Alkitab kepada orang-orang di
seberang. Sungguh bodoh aku dulu!"
"Kamu bukan anak yang bodoh," kata Ibu Rusell,. "Sikapmu itu
wajar saja. Waktu itu kau belum merasakan kesenangan memberi.
Ingatkah kau perkataan Tuhan Yesus itu, yang dikutip dalam Kisah Para
Rasul 20:35? `Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.'''
"Ya, Bu. Kami sudah membuktikan kebenaran ayat itu, kan?"
kata Laurens. "Wah! Tahun depan, kira-kira kami dapat mengumpulkan
berapa banyak uang ya?"
TAMAT