13. SALINAN KEEMPAT KITAB INJIL YANG PALING INDAH
(Inggris, 690 - 750 M.)
Di lautan dekat pantai negeri Inggris, terdapat sebuah pulau
kecil yang sangat indah, seindah impian. Kalau pada hari-hari
tertentu badai hujan sedang mengamuk, gelombang-gelombang besar
menghantam pulau itu dan angin kencang menamparnya. Tetapi pada
hari-hari lainnya matahari bersinar lembut, dan pulau kecil itu
nampaknya bagaikan batu permata di tengah laut. Ombak-ombak kecil
berdatangan membelai-belai pantainya, lalu surut kembali dan
menghilang di dalam samudra.
Nama pulau kecil itu bagaikan lagu pada bibir orang yang
mengucapkannya. Kalau seseorang mengucapkan kata indah "Lindesfarne",
seakan-akan ada rasa puas yang meliputi hatinya.
Pulau itu pun diberi nama julukan: "Pulau Suci." Nama yang
manakah yang lebih tepat? Biarlah setiap pembaca menilainya sendiri.
Lebih dari seribu tahun yang lampau, kira-kira pada tahun 690
M., di pulau Lindesfarne ada seorang biarawan Kristen bernama
Eadfrith. Dialah bapak kepala dari semua biarawan yang terkumpul di
tempat yang terpencil itu. Mereka sengaja berkumpul di sana agar
dapat melayani Tuhan Yesus dan sesama manusia tanpa gangguan dari
dunia luar.
Raut muka Eadfrith mencerminkan ketenangan dan keberanian.
Dan memang ia memerlukan sifat-sifat itu, karena masa hidupnya adalah
masa yang sangat berbahaya. Siapa yang tahu, kapan para penyerbu suku
Viking yang garang itu akan datang dari benua Eropa dan menyerang
pulau Lindesfarne? Mereka itu suka naik perahu-perahu panjang yang
haluannya berukiran naga. Dengan tak terduga mereka tiba-tiba akan
mendarat di suatu tempat yang sebelumnya aman. Kemudian tempat itu
dilanda teriakan perang dan perbuatan teror, sampai semua
penduduknya tewas dan semua bangunannya terbakar.
Namun raut muka Eadfrith tetap mencerminkan ketenangan dan
keberanian. Bahkan ia berani mengimpikan suatu masa depan yang indah.
Pada waktu yang dibayangkannya itu, seluruh umat manusia akan
meletakkan pedang dan tombak mereka, dan akan mengikuti seorang
Pemimpin yang mengibarkan bendera kasih.
Eadfrith bukan hanya mengepalai sekelompok kecil kaum pria
yang tinggal di dalam biara di pulau Lindesfarne itu: Ia pun suka
bekerja bersama-sama dengan mereka. Ia telah menyediakan sehelai
kulit domba yang sangat halus, sehingga layak menjadi tempat
penulisan Firman Tuhan. Dan di atas kulit yang halus itu, dengan
panjang sabar Eadfrith mulai menyalin keempat Kitab Injil yang
menceritakan masalah pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini. Karena
(demikianlah pikir Eadfrith) bagaimana pedang dan tombak akan
berhenti mengamuk, kecuali jika Kabar Baik tentang Tuhan Yesus itu
diberitakan dimana-mana? Hanyalah Tuhan Yesus yang sanggup
menyelamatkan dunia dari dosa dan sengsara.
Hari demi hari, minggu demi minggu Eadfrith bekerja keras.
Dengan seluruh keahliannya ia menulis setiap huruf dalam naskah
salinannya itu. Ada huruf-huruf yang polos saja; ada juga huruf-huruf
(khususnya yang letaknya di permulaan pasal atau di kepala halaman)
yang dibuat semarak dengan warna-warni yang indah. Di dalam kotak dan
lingkaran yang menghiasi huruf-huruf besar itu dapat terlihat gambar
para malaikat dan para hamba-hamba Tuhan dari masa lampau.
Hari demi hari, minggu demi minggu Eadfrith terus bekerja.
Setiap kata disalinnya dengan huruf-huruf yang indah dan jelas. Kata
demi kata, baris demi baris, seluruh isi keempat Kitab Injil itu
diturunkannya dari naskah-naskah dalam bahasa Latin, yang merupakan
satu-satunya Alkitab milik para biarawan di pulau Lindesfarne.
Musim demi musim berlalu. Pada musim semi, rerumputan
bertaburan bunga di pantai pulau Lindesfarne yang sering terhantam
badai itu. Warna-warna bunga itu menyamai warna-warna tinta yang
berkembang dari kuas Eadfrith sehingga menjadi huruf-huruf besar yang
terhias pada Kitab Injil Matius dan Kitab Injil Markus. Musim panas
dan musim rontok pun lewat, dan tibalah musim salju. Masih tetap
jari-jari Eadfrith yang kedinginan itu menelusuri baris-baris tulisan
dari Kitab Injil Lukas dan Kitab Injil Yohanes. Kadang-kadang juru
tulis yang panjang sabar itu harus berhenti dulu untuk memanaskan
tangannya: Ia khawatir jari-jarinya yang kaku akan mencemarkan
keindahan hasil karyanya.
Akhirnya seluruh pekerjaan penyalinan itu selesai.
Helai-helai kulit domba yang telah bertuliskan keempat Kitab Injil
itu disusun oleh tangan orang lain, bukan oleh tangan Eadfrith, sebab
Bapak Eadfrith sudah meninggal. Waktu itu tahun 724 M., dan
yang menjadi bapak kepala biara di pulau Lindesfarne adalah
Ethelwald. Dialah yang menyuruh supaya dibuat suatu sampul keras,
agar halaman-halaman dalam dari kitab yang terindah itu dapat
terlindung dengan baik.
Billfrith, seorang rahib suci yang suka hidup sendirian,
disuruh mengambil kitab itu. Ia seorang pandai perak dan emas yang
sangat ahli. Dengan logam-logam berharga dan batu-batu permata ia
menghiasi sampul dari salinan keempat Kitab Injil itu.
Pekerjaan Billfrith pun sudah selesai. Untuk terakhir kalinya
tangan Billfrith yang cekatan itu menjamah Salinan Keempat Kitab
Injil yang Paling Indah. Maka Kitab Suci itu dibawa dengan penuh
khidmat ke ruang ibadat, yaitu ke tempat yang paling terhormat di
seluruh pulau Lindesfarne. Di sana para biarawan berkumpul untuk
mengucap syukur kepada Tuhan, oleh karena tidak ada halangan apapun
dalam proses persiapan Kitab Suci yang telah mulai disalin oleh
Eadfrith berpuluh-puluh tahun yang lampau.
Siapa yang tahu, berapa kali halaman-halaman yang indah itu
dibolak-balikkan dengan hati-hati oleh tangan para biarawan? Siapa
yang tahu, berapa kali kata-kata panjang dalam bahasa Latin itu
dibacakan oleh mereka dalam kebaktian? Siapa yang tahu, berapa kali
mereka mengucap syukur atas harta milik mereka, yaitu Firman Tuhan?
Selama berpuluh-puluh tahun Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling
Indah itu menjadi kekayaan yang paling berharga dari para biarawan di
pulau Lindesfarne.
Lalu . . . malapetaka yang sudah lama mereka khawatirkan itu
tiba. Perahu-perahu panjang berukiran naga itu terlihat lagi di
lautan lepas. Maka tahulah para biarawan bahwa penyerbu-penyerbu dari
suku Viking itu sedang kian mendekat, dengan membawa serta teror dan
api kemusnahan dan muat. Mereka sempat juga menemukan pulau
Lindesfarne yang indah permai itu!
Dengan khidmat para biarawan mengangkat Salinan Keempat Kitab
Injil yang Paling Indah itu dari tempatnya di ruang ibadah. Dengan
tangan yang lembut mereka membungkusnya, agar harta mereka itu dapat
dibawa serta dalam suatu perjalanan yang panjang. Pada suatu malam
yang diterangi sinar bulan, bertolaklah mereka dengan naik sebuah
perahu kecil. Mereka merahasiakan keberangkatan mereka, agar kekayaan
mereka dapat dibawa dengan selamat ke negeri Inggris.
Setelah mendarat, kelompok kecil dari biara itu kemudian
menjelajahi negeri Inggris, mencari suatu tempat yang aman. Mereka
tidak berani kembali ke Lindesfarne, karena pulau kecil itu telah
diserbu suku Viking yang garang. Selama brpuluh-puluh tahun, tidak
ada lagi tempat pengungsian di sana.
Bahkan di Inggris pun rombongan pengungsi dari Lindesfarne
itu dihadang bahaya. Kaum penyerbu dari suku Viking sewaktu-waktu
menyerang pantai negara itu. Para biarawan mengambil keputusan untuk
mencari sebuah pulau lain lagi di mana mereka dapat hidup dalam damai
sejahtera serta dapat bekerja tanpa gangguan.
Lalu mereka menaiki sebuah kapal yang akan berlayar menuju
pulau Irlandia. Kecil sekali kapal itu! Sedangkan lautan amat besar.
Namun para pengungsi itu berani membawa serta Keempat Kitab Injil
yang pernah disalin dengan penuh penyerahan diri oleh Eadfrith,
almarhum kepala biara mereka.
Pada waktu kapal itu berlayar menuju Irlandia, timbullah
badai besar. Angin dan ombak mencakar geladak dan tiang layar kepal
kecil itu, serta merenggut apa saja yang dapat ditarik hingga hanyut.
Para biarawan berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri mereka
dari keganasan samudra. Namun keruan saja mereka menangis tersedu
sedan pada saat mereka menyaksikan harta merreka, Salinan Keempat
Kitab Injil yang Paling Indah itu, dijilat dan ditelan oleh gelombang
yang nampaknya setinggi langit.
Akhirnya dengan susah payah kapal kecil itu berhasil kembali
ke pantai negeri Ingggris. Para biarawan mengucap syukur kepada Tuhan
oleh karena mereka telah luput dari maut. Mereka berkumpul di pantai,
walau ombak masih amat tinggi. Hati mereka penuh dengan kerinduan;
mata mereka menerawang jauh ke lautan lepas . . . lautan yang telah
menelan kekayaan mereka.
Ternyata ada benda-benda yang terapung di permukaan samudra.
Ada gumpalan gelagat laut, ada juga papan dan tambang dan layar yang
terlepas dari kapal yang ditimpa badai itu. Dan . . . ada sebuah
bungkusan kecil yang tadinya termasuk muatan kapal.
Setiap gelombang yang ditiup angin mengangkat benda-benda
yang terapung itu tinggi-tinggi makin lama makin tinggi, sampai
akhirnya semua gelagat dan papan dan bungkusan itu terhempas keluar
dari jangkauan air laut yang pasang surut. Benda-benda itu terdampar
di atas batu-batu runcing di pinggir samudra.
Badai telah mereda; angin bagaikan bisikan saja. Kebetulan
pada hari itu air surut secara luar biasa, sehingga seluruh pesisir
seolah-olah telanjang. Maka seluruh penduduk desa nelayan di daerah
itu turun ke pinggir laut untuk mencari kalau-kalau ada barang
berharga yang terdampar di batu karang. Beserta dengan mereka turun
juga para biarawan.
Kaum nelayan itu memang menemukan sisa-sisa tiang layar,
papan-papan, dan tambang-tambang. Mereka gembira atas harta yang
telah mereka peroleh. Tetapi para biarawan itu tidak peduli. Sangat
tipis harapan mereka, namun dengan tekun mereka menelusuri pantai
yang masih basah itu.
Amboi, . . . apa itu? Di sana nampak sebuah bungkusan,
terjepit di antara dua batu yang runcing. Sambil berseru seorang
kepada yang lain, para biarawan itu mulai berlari-lari kecil di
sepanjang pantai?
Apakah bungkusan itu hanya berisi pakaian? Ataukah barang
lain? Atau . . . mungkin isinya . . . barang yang mereka cari.
Dengan rasa ingin tahu para penduduk desa nelayan berkumpul
dan memperhatikan kaum biarawan pada saat mereka mulai membuka
bungkusan itu. Tiada seorang jua di antara mereka yang pernah melihat
benda apa pun yang menyerupai isi bungkusan itu:
Tengoklah, ada helai-helai besar terbuat dari kulit domba dan
tersusun di dalam sampul yang berkilauan dengan emas dan perak!
Batu-batu permata pada sampul kitab itu memantulkan sinar matahari;
terangnya melebihi pantulan cahaya dari permukaan laut. Dan pada
halaman-halaman besar itu terlihat baris-baris tulisan hitam yang
dihiasi gambar-gambar yang semarak warnanya biru, hijau, merah,
kuning keemasan.
"Terpujilah Tuhan Allah!" Demikianlah para biarawan berseru
dalam doa. "Salinan Keempat Kitab Injil kekayaan kita masih
terselamatkan!"
"Dan . . . masih utuh, hanya rusak sedikit saja," salah
seorang biarawan menambahkan "Lihat, hanya beberapa halaman saja yang
pinggirnya ternodai karena terkena air laut!"
Sekali lagi Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu
mulai bepergian. Para biarawan membawa serta harta mereka yang paling
berharga itu, sambil mondar-mandir mencari suatu tempat yang aman.
Mereka tidak lagi berusaha mengantar kitab kekayaan mereka itu ke
pulau Irlandia, walau beberapa orang di antara mereka memang pindah
ke sana serta meneruskan keahlian mereka dalam membuat salinan Kitab
Suci yang sangat elok.
Akhirnya pada suatu hari, kaum biarawan itu mencari
perlindungan di sebuah biara kaum Kristen di kota Chester. Dan di
sanalah mereka mendapat tempat perhentian untuk harta milik mereka.
Para biarawan setempat melihat dengan rasa kagum akan hasil karya
Eadfrith, bapak kepala biara dulu, serta Billfrith, rahib suci yang
suka tinggal sendirian itu. Dengan penuh khidmat mereka
membolakbalikkan halaman-halaman dari Salinan Keempat Kitab Injil
yang Paling Indah itu. Sungguh mereka sadar bahwa hanya keahlian yang
sangat tinggi serta kegigihan yang luar biasa dapat menghasilkan
suatu benda yang sedemikian eloknya.
Para biarawan di kota Chester itu kurang terpelajar. Mereka
hanya dapat berbicara dalam bahasa Inggris kuno. Sedikit saja di
antara mereka yang pandai bahasa Latin, walau ada kerinduan besar pada
mereka untuk dapat membaca Firman Tuhan dalam bahasa kesarjanaan itu.
Maka salah seorang biarawan itu yang bernama Aldred
mengutarakan suatu gagasan baru. Rencana itu dijelaskannya kepada
kaum pengungsi dari pulau Lindesfarne. Setelah lama berpikir dan lama
berdoa, para biarawan pendatang itu menyetujui rencana Aldred.
Pohon-pohon buah apel mengeluarkan bunganya; lebah-lebah
mendengung di padang rumput yang harum. Namun Aldred tidak mendengar
suara lebah atau mencium wangi bunga. Ia pun tidak menghiraukan
burung-burung yang berkicau, menyongsong kedatangan musim semi.
Aldred duduk menghadapi halaman-halaman besar yang indah itu.
Di antara setiap baris tulisan Salinan Keempat Kitab Injil itu ada
tempat kosong--seolah-olah sejak semula dimaksudkan untuk diisi
dengan sesuatu. Di dalam ruang-ruang luas itulah Aldred menulis arti
dalam bahasa Inggris kuno dari setiap kata bahasa Latin.
Baris demi baris, halaman demi halaman, Kitab Injil demi
Kitab Injil semuanya disisipi oleh Aldred dengan bahasanya sendiri,
yaitu bahasa sehari-hari yang dipakai oleh para rekannya di biara
itu.
Karena bagaimanakah pedang dan tombak akan berhenti mengamuk
(demikianlah pikir Aldred), kecuali jika Kabar Baik tentang Dia yang
sanggup menyelamatkan dunia dari dosa dan sengsara itu akan
diberitakan di mana-mana? Dan bagaimanakah Kabar Baik itu akan
diberitakan, kecuali jika setiap orang dapat memahaminya dalam
bahasanya sendiri?
Angin badai masih tetap menghantam pantai Lindesfarne, yaitu
"Pulau Suci." Lebah-lebah masih tetap mendengung di antara pohon-pohon
buah apel di kota Chester yang kuno. Dan di dalam suatu museum di ibu
kota London, tempat bangsa Inggris suka menyimpan harta milik mereka
yang paling berharga, Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah
itu masih tetap dapat dilihat. Para pengunjung yang datang ke sana
boleh memandang dengan mata kepala sendiri kata-kata itu yang pernah
ditulis oleh Eadfrith di pulau Lindesfarne dan oleh Aldred di kota
Chester, . . . lebih dari seribu tahun yang lalu.
TAMAT