12. PERSOALAN PELIK YANG MEMBUAT PUSING PARA PENERJEMAH
(seluruh dunia, sepanjang abad)
Bagaimana kita dapat mengatakan unta dalam bahasa yang
dipakai oleh suku Eskimo?"
Itu salah satu persoalan pelik yang membuat pusing para
penerjemah Alkitab di sebelah utara negeri Kanada.
"Tidak ada kata untuk unta dalam bahasa suku Eskimo," kata
penerjemah yang satu kepada penerjemah yang lain. "Lagi pula, tidak
ada seorang Eskimo pun di daerah dingin di sebelah utara ini yang
pernah melihat seekor unta."
Pada waktu itu, belum ada televisi atau video ataupun
bioskop. Tidak ada cara yang tepat untuk dapat memperlihatkan kepada
suku Eskimo, binatang macam apa seekor unta itu. Padahal kata unta
berkali-kali diperlakukan dalam terjemahan Firman Tuhan.
Persoalan-persoalan pelik seperti itu sering membuat pusing
para penerjemah Alkitab. Sepanjang abad mereka harus menghadapi
pertanyaan-pertanyaan seperti: "Bagaimana kita dapat mengatakan hal
ini? Kata apa yang tepat untuk maksud ini? Bagaimana paham ini dapat
kita gambarkan dengan kata-kata sehingga mulai dipahami. padahal
pahamnya sendiri belum pernah trpikirkan?"
Di seluruh dunia di pegunungan tinggi, di hutan rimba, di
gurun pasir, di padang pasir, di padang luas yang berlapis
salju tiap kali para penerjemah berusaha mengalihbahasakan Firman
Tuhan, mereka pun menghadapi banyak persoalan pelik. Tidak heran
jikalau mereka sering dibuat pusing olehnya!
Para sarjana yang hendak menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa suku Eskimo itu, akhirnya harus menggambarkan unta sebagai
binatang semacam rusa besar yang aneh.
Berikut ini ada beberapa contoh lain dari kata-kata yang
ternyata sulit diterjemahkan. Namun dengan berbagai-bagai cara para
penerjemah akhirnya juga dapat memecahkan setiap persoalan pelik itu,
misalnya sebagai brikut:
"Karena kasih karunia kamu diselamatkan," demikianlah seorang
penerjemah pernah membaca dari Efesus 2:8. "Bagaimana paham kasih
karunia itu tinggal di pulau daerah Lautan Pasifik ini?"
Akhirnya ditemukan sebuah kata. Artinya, pemberian. Tetapi
bukan sembarangan pemberian! Maksudnya jauh lebih dalam daripada itu.
Artinya, pemberian tanpa imbalan, pemberian yang semestinya
tidak diberikan. Lagi pula, yang menerima pemberian macam itu tidak
usah membayar.
Namun ternyata maksudnya masih lebih dalam lagi.
Artinya, pemberian yang menyatakan kebaikan terhadap
seseorang yang seharusnya justru diperlakukan dengan tidak baik,
setimpal dengan perbuatannya sendiri yang tidak baik itu.
Nah, bagaimana sang penerjemah dapat menemukan sebuah kata
dengan arti yang sedemikian dalam?
Ia mula-mula mendengar istilah itu pada waktu ia memberikan
sesuatu kepada seseorang. Ada teman-temannya di antara suku setempat
di pulau itu yang sangat tidak setuju. "Mengapa Bapak mau memberikan
sesuatu kepada orang itu?" mereka memprotes. "Dia kan musuh Bapak!"
Lalu mereka memakai kata yang sudah lama dicari-cari itu:
"Bapak telah memberikan yang baik kepada seseorang yang seharusnya
justru menerima yang tidak baik!"
Banyak istilah kiasan yang dipakai dalam berbagai macam
bahasa! Misalnya, dalam bahasa Indonesia sang surya disebut: matahari
. . . padahal kita semua tahu bahwa hari itu sesungguhnya tidak
mempunyai mata. Demikian juga kita suka mengatakan mata kuliah, dan
mata air, dan mata rantai, dan mata uang.
Tetapi apa gerangan maksud istilah mata jarum, yang biasa
dipakai dalam bahasa Inggris? Hal yang sama itu, oleh suku Indian
Otomi di Meksiko disebut: telinga jarum. Suku Indian Kekchi di
Guatemala menyebutnya: muka jarum. Dan dalam salah satu bahasa lain
lagi, hal yang sama juga disebut: kaki jarum.
Apakah jarum itu mempunyai mata? telinga? muka? kaki?
Mungkin sudah dapat diterka bahwa maksud yang sebenarnya dari
semua istilah itu ialah: lubang jarum. Tuhan sendiri menyebutkannya
secara kiasan dalam Markus 10:25, dikaitkan dengan unta tadi.
Menurut Markus 15:29, banyak orang mengejek Tuhan Yesus pada
saat Ia disalibkan, dengan "menggelengkan kepala mereka." Tetapi
dalam bahasa Subanun di Philipina, ayat itu harus diterjemahkan:
"menganggukkan kepala mereka." Soalnya, suku Subanun di pulau
Mindanao itu biasa mengejek orang dengan berangguk-angguk, dan bukan
dengan bergeleng-geleng!
Dalam Wahyu 3:20, Tuhan Yesus berkata: "Aku berdiri di muka
pintu dan mengetuk." Tetapi dalam bahasa Zanaki di Tanzania, Afrika
Timur, kalimat itu harus diterjemahkan: "Aku berdiri di muka pintu
dan memanggil." Soalnya, jika ada orang dari suku Zanaki yang
mengetuk pintu, pasti dia itu seorang pencuri. Di sana pencuri suka
datang pada waktu malam dan mengetuk pintu dulu, kalau-kalau ada
orang yang masih belum tidur. Jika tidak ada yang menyahut, barulah
si pencuri itu berani menerobos masuk.
Berikut ini ada beberapa pertanyaan yang pernah harus
dihadapi oleh para penerjemah Alkitab di seluruh dunia; cara mereka
menjawab tiap pertanyaan itu pun tertera di sini:
Kata apa yang harus kita pakai untuk guru?
Pengukir pikiran.
Kata apa yang harus kita pakai untuk pintu gerbang?
Mulut jalan?
Kata apa untuk timur?
Tempat kelahiran pagi.
Kata apa untuk awan?
Kegelapan milik hujan.
Bagaimana dengan kata mencium? Orang-orang yang tinggal di
sini tidak pernah saling mencium.
Tetapi mereka itu saling meniup ke dalam telinga.
"Putih seperti salju" (Yesaya 1:18) sama sekali tidak
berarti untuk mereka yang tinggal di daerah
tropika yang panas terik ini.
Namun "putih seperti bulu burung bangau", mudah mereka pahami.
Adakah kata dalam bahsa Bambara untuk paham menebus?" tanya
seorang penerjemah Alkitab di Afrika Barat. "Kata itu amat penting di
dalam Alkitab, karena Tuhan Yesus menebus kita dari kuasa dosa dan
maut."
Seseorang dari suku Bambara itu mengusulkan sebuah istilah
yang secara harfiah berarti: "Tuhan Yesus melepaskan kepala kita."
Tetapi sang penerjemah itu bertambah bingung. "Bagaimana
istilah itu dapat berarti menembus?" tanyanya.
Lalu orang Afrika itu bercerita, bagaimana dahulu kala para
leluhurnya dijual sebagai budak orang Arab. Tiap budak belian itu
dirantai lehernya dan digiring melalui kampung-kampung menuju pantai.
Kalau kebetulan ada budak yang dilihat dan dikenali oleh seorang
kepala kampung, ia dapat menebus orang itu dengan membayar sejumlah
uang emas, gading, atau barang berharga lainnya. Bila harga tebusan
itu telah dibayar, maka rantai dicopot dari leher budak, sehingga
kepalanya lepas dari ikatan.
Maka demikianlah caranya para penginjil suku Bambara pada
masa kini suka bercerita kepada orang-orang sebangsa mereka yang
sedang duduk di sekitar api unggun: "Tuhan Yesus telah datang ke
dunia ini untuk melepaskan kepala kita dari kungkungan dosa dan maut."
Di antara suku Karre di pedalaman Afrika, para penerjemah
Alkitab mendapat kesulitan dalam mencari istilah yang tepat untuk Roh
Kudus, yang datang sebagai Penghibur. Berkali-kali mereka menerangkan
fungsi Roh Kudus, misalnya: meneguhkan orang Kristen, menghibur
hatinya bila sedang berduka, menegakkan dan melindungi serta
membimbing orang Kristen itu.
Setelah mendengar keterangan itu, para penduduk setempat
segera berkata: "Seseorang yang jatuh di samping kita."
Namun para penerjemah bertambah bingung: Apa gerangan
maksudnya?
Orang-orang dari suku Karre itu lalu menjelaskan:
"Bila seseorang mengangkut pikulan yang berat, lalu jatuh
sakit dalam perjalanan dan tidak dapat berjalan terus sampai ke
tujuannya, maka dia pasti kemalaman di jalan. Itu berarti ia diancam
akan dirampok oleh orang jahat atau diterkam oleh harimau. Tetapi
kalau kebetulan ada orang lain yang lewat dan orang itu berbelas
kasihan kepadanya, lalu merawatnya, melindunginya dari segala macam
bahaya, dan membawa dia ke tempat tujuannya, maka kita menyebut orang
yang bersimpati itu: `seseorang yang jatuh di samping kita'."
Jelas sekali keterangan itu . . . sejelas perumpamaan Tuhan
Yesus tentang orang Samaria yang murah hati! Maka dalam Alkitab
bahasa Karre, para penerjemah mulai memakai istilah "seseorang yang
jatuh di samping kita" untuk Roh Kudus, Sang Penghibur.
"Kata! Kata! Kata!" keluh Dr. Edwin Smith. "Seandainya aku
mempunyai semua kata yang kuperlukan, pasti terjemahan Alkitab ini
dapat cepat selesai."
Dr. Smith dan kawan-kawan sekerjanya di Malawi, Afrika Timur,
sedamg menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Ila, supaya Firman Tuhan
dapat dibaca dan dipahami di daerah itu.
Salah seorang Afrika itu memandang Dr. Smith dengan raut muka
yang menyatakan rasa simpati. "Bahasa Ila yang kami pakai di sini
memang kekurangan kata, Pak," katanya. "Kadang-kadang tidak ada kata
dalam bahasa kami yang cocok dengan paham dalam Kitab Suci."
"Ya, ya," kata Dr. Smith sambil iseng-iseng mengetuk-etukkan
pensilnya di atas meja tulisnya. "Namun aku yakin ada juga kata-kata
yang cukup tepat, . . . asal saja kita dapat menemukannya.
Mereka kembali kepada tugas yang sedang mereka kerjakan
bersama. "Nah, ini! Kata percaya ini. Mazmur 56:4 berkata, `Waktu aku
takut, aku ini percaya kepadaMu,' Percaya! Tidak ada lagi kata
seperti itu dalam bahasa Ila."
Berulang kali Dr. Smith berusaha menjelaskan paham percaya.
Berbagai cara digunakannya untuk menerangkan arti kata itu. Namun
dengan segala jerih payahnya itu ia belum juga berhasil menemukan
istilah yang cocok.
"Ah! Kita sudah capai." Dr. Smith meregangkan lengannya.
"Sudah cukup lama kita memeras otak dengan tugas terjemahan ini. Mari
kita mengerjakan yang lain saja. Dinding di ruang depan ini perlu
dicat."
Dr. Edwin Smith tidak sama seperti sarjana-sarjana tertentu
yang takut tangannya akan menjadi kotor kalau melakukan pekerjaan
kasar sehari-hari. Maka ia sendiri pergi mengambil sebuah tangga
bambu yang sudah agak rusak. Dan ia pun menyadarkan tangga itu pada
dinding serta mulai mencat ruang depan.
Sambil bekerja, Dr. Smith sempat mendengar percakapan
kawan-kawannya. Padahal kawan-kawannya itu merasa pasti bahwa karena
sibuk mengecat, Dr. Smith tidak akan mendengar apa yang mereka
bisikkan. Ternyata mereka memberi komentar tentang pekerjaan yang
sedang dilakukan Dr. Smith.
Tiba-tiba Dr. Smith berhenti bekerja; cat dibiarkannya
mulai menjadi kering pada kuasnya.
Kata apa yang baru saja didengarnya itu? Dalam benaknya ia
mengulangi komentar tadi: Seandainya aku jadi dia, aku tidak mau
percaya pada tangga bambu yang sudah setengah rusak itu; lihat saja,
nanti dia jatuh!
Percaya! Nah, itu . . . istilah yang sudah lama mereka
cari-cari!
Dr. Smith memang hampir jatuh, tetapi hal itu disebabkan oleh
karena ia berpaling pada tangga bambu dan mengutip ayat tadi:
```Waktu aku takut, aku ini percaya kepadaMu.''' Dan ia memakai
istilah dalam bahasa Ila yang baru saja dipakai oleh kawan sekerjanya
itu.
Orang-orang Afrika itu memandang kepadanya, terheran-heran.
Lalu salah seorang di antara mereka berseru: "Percaya! itukah arti
istilahnya Pak?"
Berkali-kali orang Afrika itu mengulangi Mazmur 56:4, dengan
memakai kata dalam bahasa Ila tadi: ```Waktu aku takut, aku ini
percaya kepadaMu.''' Berulang-ulang ia menghafalkannya sambil
berpikir. "Nah, barulah jelas, Pak. Baru kami mengerti maksudnya,
jika dikatakan bahwa kita harus percaya kepada Tuhan."
Dr. Smith meneruskan pekerjaannya. Nanti cat akan menjadi
kering semua, jika ia meninggalkan tugasnya begitu saja. Namun ia
hampir tidak dapat menahan diri. Ia ingin segera turun dari tangga
yang sudah agak rusak itu (walau ia memang percaya padanya). Ia ingin
segera kembali ke meja tulisnya dan mencatat istilah yang baru
ditemukannya itu, agar terjemahan Alkitab dalam bahasa Ila dapat
menjadi semakin jelas.
TAMAT