Drama Natal Yang Tak Dapat Dipahami (Pulau Kaledonia Baru, tahun 1980an dan 1990an)

Semestinya Ibu Melanie Kitchine senang sekali ketika ia menyaksikan drama Natal di gerejanya. Bukankah dia sendiri yang sudah melatih para pemain cilik itu, sehingga mereka dapat menghafalkan bagiannya masing-masing dengan sempurna? Bukankah para orang tua mereka sedang hadir, dengan tersenyum lebar karena merasa bangga atas drama Natal yang sedang dipentaskan oleh murid-murid Ibu Melanie?

Namun Ibu Melanie justru merasa kurang senang pada waktu ia menyaksikan drama Natal itu. Rasanya kata-kata indah yang diucapkan para pemain cilik itu sesungguhnya kurang berarti, baik bagi murid-muridnya sendiri maupun bagi para ibu dan bapak mereka.

"Allah menyertai kita," demikianlah berita Natal yang disampaikan kepada Yusuf sebelum Yesus dilahirkan. Namun melalui cara hidup mereka, orang-orang Kristen di pulau Kaledonia itu tidak menunjukkan bahwa Allah benar-benar menyertai mereka.

"Lahir bagimu Juru Selamat," demikianlah berita Natal yang didengar oleh para gembala di padang Efrata. Namun para ibu, bapak, dan anak-anak itu kurang memberi bukti bahwa mereka telah mengenal Sang Juru Selamat secara pribadi.

"Damai sejahtera di bumi," demikianlah berita Natal yang diumumkan oleh para malaikat. Namun orang-orang Kristen yang berkerumun di gedung gereja kecil di daerah pegunungan itu kurang menghayati arti damai sejahtera dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Mungkinkah . . . masalahnya itu masalah bahasa? Ibu Melanie mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Setiap anak didiknya yang membawakan peranan drama Natal itu, telah menghafalkan dengan sempurna kata-kata pada bagiannya dalam bahasa Perancis. Bahasa Perancis itulah bahasa nasional mereka, karena pulau Kaledonia Baru sudah lama dijajah bangsa Perancis. Menjelang akhir abad ke-20, kebanyakan penduduk pulau itu secara bebas memilih untuk tetap berpaut pada Republik Perancis. Akan tetapi, kebanyakan penduduk pulau itu pun kurang pandai berbahasa Perancis.

Misalnya, suku Ibu Melanie sendiri, suku Tieta. Daerah tempat tinggal mereka, di bagian barat laut pulau Kaledonia Baru yang luas itu, jauh sekali dari Noumea, ibu kotanya. Di antara mereka itu sedikit sekali yang sungguh mengerti bahasa Perancis; mereka biasa memakai bahasa Tieta saja. Jadi, anak-anak didik Ibu Melanie pada saat mementaskan drama Natal di gereja itu hanya membeo saja. Dan pada orang tua mereka amat bangga . . . padahal mereka tidak dapat memahami apa yang sedang dibawakan oleh anak-anak itu.

Malam itu sesudah Ibu Melanie Kitchine pulang dari gereja, ia berdoa dengan bersungguh-sungguh: "Ya Tuhan, tolonglah sukuku, orang-orang Tieta, supaya mendapat Firman Tuhan dalam bahasa kami sendiri!"

Berbulan-bulan lamanya Ibu Melanie terus-menerus menaikkan doa yang itu-itu juga. Namun ia kurang yakin apakah permohonannya itu akan dikabulkan. "Ya Tuhan, kiranya siapa yang akan diberi tugas untuk mengerjakan terjemahan itu?" tanyanya sambil bergumul dalam doa. "Pasti bukan aku! Aku sudah berkeluarga, dan suamiku kurang setia kepada Tuhan dan gereja. Kami mempunyai dua orang anak perempuan yang harus dipelihara. Aku sendiri bekerja di pabrik kopi sepenuh waktu. Apalagi, aku kurang berpendidikan dan aku seorang perempuan!"

Pada suatu hari, tiba-tiba Ibu Melanie sadar bahwa Tuhan sama sekali tidak menghiraukan dalihnya. Dia sendirilah orang yang dikehendaki Tuhan supaya mulai menyalin Firman Allah ke dalam bahasa Tieta!

"Wah, Tuhan, mana bisa?" keluh Ibu Melanie dalam doanya. "Memang aku sempat belajar bahasa Perancis sampai lancar, tapi . . ."

Tuhan masih tetap tidak menghiraukan dalih Ibu Melanie.

"Oke, Tuhan, baiklah!" Ibu Menie mencetuskan dalam doa. "Aku akan mencoba saja . . . tapi jangan lupa, ya Tuhan, aku sangat memerlukan pertolongan orang lain!"

Mulai hari itu, Ibu Melanie mengkhususkan satu jam setiap hari untuk panggilan barunya. Ia membaca Alkitab dalam bahasa Perancis. Lalu ia memakai sebuah buku tulis biasa untuk mencatat kata-kata bahasa Tieta yang sama artinya.

Cara bekerjanya itu amat lamban! Dalam doanya berkali-kali Ibu Melanie mengeluh: "Ya Tuhan, jangan lupa, aku sangat memerlukan pertolongan orang lain!"

Pada tahun 1985 Tuhan mengabulkan permohonan Ibu Melanie Kitchine. Beberapa utusan Injil datang ke pulau Kaledonia Baru, khusus untuk mencari orang-orang seperti Ibu Melanie, yaitu orang yang merasa terbeban karena sukunya belum mempunyai Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. Para utusan Injil itu memperkenalkan Ibu Melanie kepada beberapa orang Kristen yang sangat pandai. Orang-orang Kristen itu mulai menolong Ibu Melanie untuk memahami hal-hal berkenaan dengan tugas penerjemahan yang belum pernah ia pelajari sebelumnya.

Pada waktu Ibu Melanie mulai maju dengan pekerjaan, ia pun memerlukan pertolongan dari orang-orang sesukunya yang pandai berbahasa Tieta. Orang-orang itu diperlukan sebagai petugas uji coba, yang harus membaca terjemahan Ibu Melanie dan memberi kritik yang membina.

Sebanyak dua belas orang dikerahkan untuk menolong Ibu Melanie dengan cara itu. Orang-orang yang dipilih itu agak aneh! Di antaranya ada beberapa orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus; ada juga orang-orang Kristen yang kurang setia kepada Tuhan dan gereja-Nya. Rasa-rasanya petugas uji coba yang paling aneh itu ialah . . . suami Ibu Melanie sendiri.

Selama enam tahun Ibu Melanie berjuang terus. Selama enam tahun itu pula, Tuhan bekerja secara ajaib dalam kehidupan kedua belas penolongnya. Di antara mereka itu ada yang sudah lama membaca Alkitab dalam bahasa Perancis. Namun sesungguhnya Sabda Allah baru menjadi berarti bagi mereka, ketika mereka membacanya dalam bahasa suku mereka sendiri. Satu persatu kedua belas orang itu mengaku percaya kepada Tuhan yesus, atau mengambil keputusan untuk kembali setia kepada Dia dan kepada gereja-Nya . . . termasuk suami Ibu Melanie. Alangkah gembiranya!

Pada suatu hari dalam tahun 1991, banyak lagi orang sesuku Ibu Melanie yang bergembira. Pada hari itu, untuk yang pertama kalinya salinan-salinan Kitab Injil Matius dalam bahasa Tieta dibagikan kepada para kepala desa. Dan pada hari itu pula, lebih banyak lagi orang Tieta yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus.

Ibu Melanie Kitchine masih tetap bekerja di pabrik kopi sepenuh waktu. Ia masih memelihara keluarganya, masih menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Namun sebagai seorang penerjemah Firman Allah, ia pun masih menaati panggilan Tuhan. Kitab Injil Markus dan Lukas sudah selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Tieta; Kisah Para Rasul terus dikerjakan. Tambahan pula, Ibu Melanie telah menjadi ketua persekutuan para penerjemah Alkitab di seluruh pulau Kaledonia Baru.

Semuanya itu bertitik tolak pada saat Ibu Melanie telah menghadiri suatu drama Natal yang sudah lama dipersiapkannya dengan anak-anak didiknya. Lalu ia mulai menyadari bahwa tidak seorang pun di antara murid-muridnya ataupun para orang tua mereka yang sungguh dapat memahami berita Natal yang hendak disampaikan itu.

Dengan diterimanya panggilan Tuhan untuk menjadi seorang penerjemah Firman-Nya, Ibu Melanie Kitchine terus-menerus menyampaikan makna Alkitab kepada orang-orang sesukunya dalam bahasa mereka sendiri bukan hanya pada Hari Natal saja, melainkan sepanjang tahun.

TAMAT