Dukungan Ketika Pulang (1)

Kepulangan merupakan pengalaman yang paling berat ketika berada lama di luar negeri. Ada masalah-masalah yang tidak diharapkan saat kepulangan.

"Di situ mereka lama tinggal bersama-sama dengan murid-murid itu." (Kisah Para Rasul 14:28)

Ayah saya adalah seorang utusan Injil. Saya dan saudara-saudari saya lahir di ladang misi. Ini menjadi kenangan hidup kami. Dengan penuh tanggung jawab, Ayah memimpin sebuah sekolah teologi sementara ibu mendampinginya dengan setia. Kami banyak dididik dengan melihat kehidupan praktis mereka, sebagaimana halnya yang diajarkan di kelas kami. Sepanjang tahun, mereka menghadapi berbagai macam tantangan yang merongrong para pekabar Injil. Setiap hambatan telah membawa mereka pada tingkat komitmen yang lebih kuat kepada Allah dan untuk melatih kepemimpinan nasional.

Ketegangan antara orang-orang Kristen nasional dan para pemimpin utusan Injil seringkali terjadi. Namun ayahku adalah seorang juru damai. Dia mampu berdiri di tengah-tengah isu budaya yang sensitif tersebut. Seringkali kami mengalami masa-masa kekurangan dana sehingga kami telah terlatih untuk "mengencangkan ikat pinggang" kami. Kekecewaan yang terjadi karena siswa-siswa 'unggulan' yang mengundurkan diri dari pelayanan Kristen hanya memperkuat keteguhan hati ayah untuk mencurahkan kehidupannya untuk orang lain.

Akan tetapi, tantangan terberat yang dihadapi oleh ayah dan ibu adalah saat penangkapan ayah dan ketidakpastian antara hidup dan mati saat terjadinya kudeta militer. Seperti film perang, tentara-tentara mendobrak rumah kami dan menyandera ayah. Mereka yakin bahwa ayah punya kontak rahasia dengan musuh-musuh mereka.

Setelah disekap selama 3 minggu, kudeta tersebut digagalkan. Ayah dibebaskan dan melanjutkan pekerjaannya di perguruan tinggi.

Kemudian pada suatu musim panas ketika kami, anak-anak mereka, telah dewasa dan beberapa dari kami telah menikah dan ada yang kembali bekerja di ladang misi, ayah memanggil kami semua untuk pertemuan keluarga. Karena undangannya yang singkat serta desakannya untuk kehadiran kami di sana, kami tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam ribuan tahun pun kami tidak akan pernah dapat membayangkan apa yang akan terjadi di pertemuan tersebut. Pertemuan keluarga itu singkat saja dan langsung pada pokok masalahnya. Pada intinya, ayah berkata, "Anak-anak, kalian perlu tahu ayah akan menceraikan ibumu. Ayah berencana menikahi Sue." Sue lebih muda dari saya! Dan selanjutnya, ayah berkata, "Ayah tidak begitu yakin lagi apakah Allah itu ada."

Dunia sekuler pun mengatakan bahwa kepulangan (kembali ke negara asal) merupakan bagian yang paling berat dari seluruh pengalaman orang yang tinggal di luar negeri, dan perasaan itu tidak seharusnya diacuhkan. Ada masalah-masalah yang tidak terduga saat kepulangan mereka. Anggota keluarga yang pernah hidup di lingkungan budaya lain perlu belajar cara mengatasi kesulitan-kesulitan di tempat pekerjaan, komunitas, dan lingkungan sekolah masa kini.

Menurut statistik Kristen, hampir 50 persen utusan Injil yang melakukan pelayanan pertama mereka kembali lebih awal atau tidak melayani lagi untuk masa pelayanan kedua. Orang-orang yang terluka ini perlu untuk mengidentifikasi dan memproses rasa sakit dan rasa marah dari sebuah kegagalan -- untuk mulai membangun kehidupan mereka kembali, agar mereka bertumbuh menuju keutuhan mental serta rohani.

Dalam seminar misi seorang pemimpin menekankan "Setiap kali saya mengajarkan suatu seminar mengenai kebutuhan yang drastis untuk menolong utusan Injil yang baru pulang, selalu ada beberapa utusan Injil yang datang kepada saya dan berkata, 'Saya merasa diri saya aneh. Namun saya tidak sanggup mengutarakan perasaan saya. Terima kasih Anda telah memberitahukan kepada saya bahwa wajar saja jika saya merasa sedikit tidak nyaman saat kembali.'"

Baru-baru ini, saat saya menyelesaikan satu sesi dari seminar mengenai kepulangan, seorang wanita di bagian depan mulai tersedu-sedu, kemudian menangis dengan tidak terkontrol. Akhirnya, dengan mencucurkan air mata, dia meratap, "Saya baru kembali dari Indonesia setelah berada di sana selama 3 bulan. Saya mengalami semua yang Anda katakan. Mohon, tolong saya!"

SITUASI KEPULANGAN

Pada saat seseorang pulang kembali ke negaranya akan ada 'kejutan' yang dirasakan. Gedung-gedung tua telah dihancurkan, gedung-gedung yang baru mengambil alih tempat mereka. Taman menjadi jalan raya. Kursi goyang nenek telah kosong. Utusan Injil tersebut mungkin sudah mendengar kabar tentang semua hal ini. Namun ketika ia sampai di rumah dan melihat sendiri semua itu, ia tersentak. Sama halnya dengan setruman listrik, faktor-raktor ini perlahan-lahan akan dapat dimengerti dan diterima.

'Perasaan tertekan' saat pulang merupakan isu yang lain. Ada kerenggangan mental pada saat ide dan ideal-ideal yang baru bercampur dengan yang lama. Ada tekanan rohani yang disebabkan oleh munculnya pikiran secara terus-menerus tentang dunia yang hilang dalam dosa dan pikiran bahwa kita tidak melakukan apa-apa terhadap kebutuhan tersebut.

Ada pula gaya tarik jasmaniah ketika para utusan Injil yang baru kembali disuguhi oleh orang-orang yang berniat baik dengan makanan yang sangat banyak. "Kamu kurus sekali! Ayo makan lagi!"

Ada perasaan yang janggal ketika dia mencoba membenarkan memakai baju-baju yang baru di lemarinya yang bernilai jutaan rupiah yang baru saja diberikan kepadanya, sementara beberapa hari sebelum dia meninggalkan tempat pelayanannya ada seorang teman menolak menerima sehelai baju pemberiannya dengan berkata, "Saya sudah punya satu baju ketika satu baju yang satu lagi saya cuci. Tiga baju akan sia-sia."

Ya, suasana rumah dengan orang-orang, tempat-tempat dan hal-hal yang erat dengan rumah sudah berubah. Secara dramatis, utusan Injil tersebut telah berubah secara sosial, emosional, mental, fisik, dan lebih dari yang lain adalah secara spiritual. Di antara sesama utusan Injil perubahan ini terjadi secara perlahan sehingga perubahan tersebut hampir tidak disadari. Tetapi ketika bertemu [dengan orang-orang di rumah], perubahan tersebut tampak drastis.

Tidak diragukan lagi, semakin lama utusan Injil tersebut telah pergi, semakin meningkat pula tekanan tersebut saat kepulangan mereka. Seluruh hidup Rasul Paulus diubahkan hanya dalam waktu beberapa menit dalam perjalanannya ke Damsyik!

Ada faktor lain yang perlu diperhitungkan dalam mendukung misionaris-misionaris yang baru kembali: penyangkalan. Beberapa pekerja Tuhan kemungkinan menyiapkan diri kembali ke tanah air dan menyangkal bahwa mereka tidak akan tertekan saat pulang. Beberapa memang melapisi diri mereka sendiri dengan pemikiran: "Tidak mungkin, itu tidak akan terjadi pada saya."

Penyangkalan bisa berarti bunuh diri, baik secara emosional, spiritual, dan mental. Secara literal pun, ada utusan Injil yang bunuh diri karena [tidak kuat menghadapi] kejutan dan tekanan yang dihadapi saat mereka pulang.

Seorang utusan Injil yang kembali barangkali berpikir, "Lihat saja, bagaimana mudahnya saya beradaptasi di ladang misi apalagi ini hanya masalah penyesuaian diri dengan kebudayaan sendiri. Tidak ada masalah. Saya hanya pulang ke rumah!"

Perhatikanlah kekeliruan-kekeliruan dalam pernyataan tersebut:

  1. proses adaptasi [ketika ia pertama melayani] mungkin tidaklah semudah yang ia pikir saat ini;

  2. sebelum ia pergi [bermisi] ia sudah mempersiapkan diri berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun) untuk menyesuaikan diri;

  3. orang-orang yang ia layani mungkin sudah terbiasa dengan budaya Amerika [jika utusan Injilnya dari Amerika], dan tahu cara membantunya beradaptasi. Di berbagai budaya, orang-orang cenderung baik, tidak menuntut, dan pemaaf terhadap utusan Injil.

Tidak ada satu pun dari faktor-faktor tersebut yang akan membantunya ketika ia kembali. Mungkin teman-temannya yang tidak peka menggemakan kata-kata yang sama, "Apa masalahnya? Dia kan hanya pulang kampung!" Karena sebagian besar mereka tidak pernah keluar dari zona kenyamanan mereka, mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah dijalani utusan Injil tersebut untuk hidup dan melayani di tengah-tengah kebudayaan yang berbeda. Banyak pendukung menganggap bahwa kepulangan pada dasarnya bukanlah suatu masalah.

Kesadaran terhadap faktor-faktor ini dapat mempersiapkan Anda untuk menjadi teman yang mendukung dalam proses "kembali ke negara asal" tersebut.

TANTANGAN SAAT PULANG

Sebagai teman yang mendukung utusan Injil yang baru pulang, Anda perlu membuka mata dan telinga Anda terhadap tanda-tanda 'kejutan budaya balik'. Seorang pekerja yang baru kembali dari ladang pelayanan adalah orang yang paling tidak siap menghadapi adanya perubahan situasi dan keadaan. Dia mengetahui ada sesuatu yang tidak beres! Perasaan kesepian, perasaan kecewa dan diabaikan, perasaan terisolasi dan tidak dibutuhkan, dan segala sesuatu di sekitarnya yang berjalan sangat cepat -- semuanya itu bisa membuat ia berteriak dalam hati, "Jangan cepat-cepat! Jangan cepat-cepat!" Tapi tetap saja keadaan tidak bisa menjadi lebih lambat.

Anda harus mengambil inisiatif. Anda harus menjadi unit pertolongan pertama untuk utusan Injil yang baru pulang [di gereja Anda].

Seorang utusan Injil yang baru pulang akan mengalami satu atau lebih dari delapan tantangan di bawah ini. (Kita akan membahas tiga yang pertama, sementara sisanya akan dibahas pada edisi berikutnya)

  1. Bidang Profesional. Setelah berpetualangan di luar negeri dan kembali ke pekerjaan lamanya, seorang utusan Injil bisa merasa bosan. Kemungkinan besar ia akan merasa bahwa kemampuan dan pengalamannya akan tidak terpakai. Ia juga mungkin akan merasa kehilangan kebebasan.
  2. Bidang Material-Finansial. Saat para utusan Injil kembali, kemungkinan masalah finansial akan menimbulkan rasa tertekan. Kesenjangan kekayaan dapat menyebabkan stres bahkan sebelum utusan Injil tersebut berangkat. Dan anak-anak sama rentannya dengan orang dewasa.
  3. Bidang Kebudayaan
  4. Bidang Sosial
  5. Bidang Bahasa
  6. Bidang Politik Nasional
  7. Bidang Pendidikan
  8. Bidang Spiritual-Kerohanian

Bidang Profesional

Setelah berpetualangan di luar negeri dan kembali ke pekerjaan lamanya, dia bisa merasa bosan. Sama halnya dengan itu, ia juga dapat mengalami sindrom "ikan besar dalam kolam yang kecil" [pada saat ia bermisi]. Sesudah pulang, tiba-tiba dia menjadi seekor ikan kecil dalam suatu kolam yang jauh lebih besar! Ia akan meratap, "Oh, pelita kesaksianku bersinar jauh lebih terang ketika aku berada di tempat yang gelap di luar sana!"

Kemungkinan besar utusan Injil ini akan merasa bahwa kemampuan dan pengalaman yang telah ia peroleh selama bekerja di ladang Tuhan akan tidak terpakai. Ia juga mungkin merasa kehilangan kebebasan karena mereka bekerja di bawah orang lain dan terus-menerus diperhatikan. Ada kalanya perasaan lama [duniawi] untuk bekerja mati-matian untuk mengejar sesuatu yang sia-sia kembali menghantuinya.

Pada beberapa bidang pekerjaan, jika tidak bekerja selama setahun hingga 2 tahun maka ia akan kehilangan pekerjaan lama tersebut.

Seorang wanita yang bekerja di bidang komputer menyadari hal ini ketika ia sedang masuk ke tahap pelatihan utusan Injil sebelum dia dikirim bermisi paruh waktu. Dengan membantunya mengatasi stres yang akan terjadi tersebut sebelum ia pergi akan membuat proses kepulangannya lebih mudah untuknya. Setelah ia pulang, ia berkata, "Saya tidak akan bekerja lagi di bidang komputer. Saya saat ini bekerja di rumah perawatan. Saya melihat [pekerjaan saya] sekarang sebagai pelayanan, dan pelatihan medis yang saya dapatkan akan membukakan kesempatan-kesempatan baru bagi saya untuk pergi melayani di ladang-ladang yang memerlukan pekerja [yang menguasai medis]."

Masalah Finansial

Di negara Barat, biaya hidup yang diperlukan biasanya jauh lebih mahal [dibanding dengan negara berkembang yang biasa menjadi tujuan misi]. Hal itu tidak serta-merta berarti bahwa utusan Injil tersebut menghamburkan lebih banyak uang untuk barang-barang yang lain dibanding dengan orang-orang di negara yang ia layani.

Saat para utusan Injil kembali, kemungkinan masalah finansial akan menimbulkan rasa tertekan! Ketika mereka melihat anak-anak remaja yang punya rak yang penuh dengan baju menangis, "Saya tidak punya baju untuk dipakai!" ia teringat dengan waktu yang dihabiskannya untuk mengemis kepada "orang-orang di rumah" beberapa puluh ribu rupiah untuk memberi makan dan pakaian kepada anak-anak di sekitar tempat pelayanannya.

Seorang utusan Injil yang baru kembali berkata, "Kekayaan negara ini sangat sulit untuk dikelola, namun kekayaan gereja jauh lebih sulit lagi untuk saya hadapi." Utusan Injil lain berkata, "Ada suatu peristiwa yang terjadi pada istriku. Beberapa bulan setelah kami kembali dari Mozambik, dia sedang berjalan dengan santai di sebuah supermarket, memilih ini dan itu secara bijaksana. Tiba- tiba, sebuah perasaan mencekam yang kuat menggerogotinya. Ia mulai berpikir, "Terlalu banyak pilihan! Terlalu banyak pilihan! Saya harus keluar dari sini!" Dia meninggalkan kereta belanjanya yang separuh penuh, berjalan cepat ke mobilnya dan pulang ke rumah!"

Seorang utusan Injil yang lain menceritakan pengalamannya, "Di Brasil, karena berbagai kondisi ekonomi dan kehidupan, kami tidak pernah berpikir tentang 'kepemilikan pribadi'. Ketika kami tiba di rumah, saya mulai bekerja dengan rekan sepelayanan yang menggunakan sebuah pulpen Bic yang ujungnya tajam. Ketika kami pergi [ke Brasil] dulu belum ada pena semacam itu di pasaran. Ia meminjamkannya kepadaku. Saya berkata kepadanya bahwa saya suka pena tersebut dan bahwa tulisan saya menjadi bagus. Pada hari berikutnya ia 'memberikan' sebuah pena seperti kepunyaannya itu kepadaku. 'Nih, untukmu.' Selama beberapa hari berikutnya, saya sebentar-sebentar akan berhenti sejenak dan mengamati 'harta' seharga 4.900 perak tersebut. 'Pena ini milikku! Pena ini benar- benar milikku!'"

Anda mungkin akan berkata, "Ah, ada-ada saja!" Ya, tapi inilah sebuah contoh nyata dari kejutan budaya balik.

Kesenjangan kekayaan dapat menyebabkan stres bahkan sebelum utusan Injil tersebut berangkat. Dan anak-anak sama rentannya dengan orang dewasa.

Bill dan Alice pernah menjadi orangtua asuh bagi organisasi Penerjemah Alkitab Wycliffe di rumah untuk anak-anak di bagian utara Filipina. Anak mereka, William, sempat menghabiskan waktunya selama seminggu bersama suku asli di pedalaman.

Sekembalinya mereka ke kantor pusat Wycliffe, Alice memerhatikan William melihat-lihat ke dalam lemari pakaiannya, dan ia menangis. Dengan berpikir bahwa mungkin William sedih karena baju yang ia miliki tidak sebanyak yang ia miliki saat di Amerika, Alice menghampiri William lalu berusaha menghiburnya. Setelah beberapa kali menolak untuk dihiburkan, William berkata, "Tidak Mama, aku sedih karena aku punya 'sangat banyak' dibanding dengan teman-teman baruku di pedalaman."

Masalah Kebudayaan

Kepercayaan, nilai, sikap, dan kebiasaan-kebiasaan yang baru [diperoleh dari ladang misi] telah menjadi sebuah bagian dari kehidupan utusan Injil yang baru kembali. Mungkin ia telah beradaptasi terhadap kebudayaan dengan tempo kehidupan yang lambat, dengan suasana yang lebih santai, perhatian kepada teman dan relasi, makanan yang lebih berbumbu, serta tidur siang....

Utusan Injil tersebut mungkin berusaha untuk mempertahankan kebiasaan-kebiasaan barunya tersebut sedapat mungkin. Ketika jadwal baru dan sikap-sikap orang terhadapnya tidak memungkinkannya untuk melakukan kebiasaan-kebiasaannya tersebut, ia akan merasa tidak senang dan 'tertekan'!

Salah satu harapan utama dari kebanyakan utusan Injil yang baru pulang adalah orang-orang akan tertarik untuk mendengar pengalaman mereka.

"Ketika kami diundang ke rumah seseorang untuk makan malam," seorang misionari yang baru pulang menulis surat, "Kami menduga akan diminta untuk menceritakan pengalaman misi kami yang menarik. Usai makan malam yang lezat, kami diarahkan ke ruangan keluarga. Saya berpikir, 'Sekarang kesempatan kami'. Tetapi ketika sang tuan rumah menyalakan televisi, ia berkata, 'Ayo, saya yakin kamu akan menikmati menonton sepak bola dari TV layar lebar 29 inci kami!' Perkataan itu amat menghancurkan saya!"

Berbeda sekali kisah yang diceritakan tentang gereja di Antiokhia yang menyambut para pionir utusan Injil mereka yang letih karena perjalanan. "Dari situ berlayarlah mereka ke Antiokhia; di tempat itulah mereka dahulu diserahkan kepada kasih karunia Allah untuk memulai pekerjaan, yang telah mereka selesaikan. Setibanya di situ mereka memanggil jemaat berkumpul, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka, dan bahwa Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman." (Kisah Para Rasul 14:26-27).

Diambil dan disunting dari:

Judul buku : Melayani Sebagai Pengutus
Judul buku asli : Serving as Senders
Penulis : Neal Pirolo
Penerjemah : Tim OM Indonesia, Lazarus Toenlioe (koord.)
Penerbit : OM Indonesia
Halaman : 127 -- 136

Diterjemahkan ulang dari:

Judul buku : Serving as Senders
Penulis : Neal Pirolo
Penerbit : Operation Mobilization Literature Ministry,
Waynesboro, GA 30830, 1991
Halaman : 135 -- 142

e-JEMMi 36/2010