Orang Samaria yang Tahu Mengucap Syukur

Oleh: Pdt. Bob Jokiman

Jikalau kita membaca Kitab-Kitab Injil maka kita akan menemukan bahwa orang Samaria, yang dihina oleh bangsa Yahudi, mempunyai tempat tersendiri dalam hati dan pelayanan Tuhan Yesus. Bagi mereka yang senang dengan Penginjilan Pribadi maka penginjilan yang dilakukan Yesus kepada wanita Samaria di tepi sumur dapat menjadi model P.I. Pribadi (Yohanes 4). Dalam memberi teladan bagaimana mengasihi sesama manusia, Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10). Demikian pula ketika Ia akan kembali ke surga maka Ia mengingatkan murid-murid-Nya untuk tidak lupa bersaksi kepada orang Samaria: "Tetapi kamu akan menerima kuasa kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8)

Dalam rangka Hari Thanksgiving ini, saya mengajak Anda semua untuk belajar dari orang Samaria yang tahu mengucap syukur seperti yang dikisahkan dalam Injil Lukas 17:11-19:

"Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" Lalu Ia memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam- imam." Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?" Lalu Ia berkata kepada orang itu: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau."

Kita tidak tahu bilamana mereka menyadari atau mengetahui bahwa mereka telah sembuh atau tahir. Hal itu bisa terjadi tidak lama setelah mereka meninggalkan Yesus. Melihat satu dengan yang lain mungkin ada diantara mereka yang berkata: "Hei apa yang terjadi dengan engkau. Kustamu nampaknya sudah sembuh. Wajahmu sudah bersih. Lihat tanganmu sudah licin dan lembut." Kemudian setiap mereka memeriksa diri masing-masing. Betapa mereka kaget, heran dan terpesonanya mereka, semuanya sembuh, kustanya telah lenyap, kutukan telah terangkat! Suatu peristiwa ajaib yang harus dirayakan! Lalu mereka cepat-cepat berlari untuk menunjukkan kesembuhan mereka kepada imam di desa terdekat. Mereka sudah tidak sabar untuk kembali dan bertemu dengan sanak-keluarga masing-masing, dengan isteri atau anak-anak yang sudah sekian lama ditinggal karena mereka dikucilkan dari masyarakat menurut hukum Yahudi (Imamat 13-14). Namun salah seorang diantara mereka, yaitu orang Samaria itu tidak seperti rekan-rekannya yang lain, ia berhenti, tertekun, dan merenung. Alkitab mencatat ia kembali kepada Yesus sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Kesepuluh penderita kusta itu sadar dan tahu bahwa mereka sudah disembuhkan tetapi hanya seorang yang kembali mengucap syukur sambil memuliakan Allah. Mengapa orang Samaria tersebut tahu mengucap syukur dan tidak seperti kesembilan orang Yahudi kusta lain yang disembuhkan itu namun tidak tahu mengucap syukur?

MENGAPA DIRI TIDAK LAYAK MENERIMA KESEMBUHAN

Mungkin sekali ketika ia tahu bahwa kustanya telah sembuh ia bertanya dalam hatinya: "Ke mana aku harus pergi sekarang?". Bukankah Tuhan menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam, sesuai dengan Hukum Taurat "Inilah yang harus menjadi hukum tentang orang yang sakit kusta pada hari pentahirannya: ia harus dibawa kepada imam, dan imam harus pergi ke luar perkemahan; kalau menurut pemeriksaan imam penyakit kusta itu telah sembuh dari padanya" (Imamat 14:2-3). Orang Samaria itu bisa berkata dalam hatinya: "Tetapi aku, siapakah aku ini, aku bukan orang Yahudi, aku bukan umat pilihan Allah. Aku tidak layak mendapat kesembuhan ini. Karenanya aku tidak layak menghadap para imam Yahudi." Orang Samaria itu sadar bahwa dirinya adalah dari etnis yang rendah. Orang Samaria dihina oleh orang Yahudi karena ras mereka campuran dan tidak murni lagi, juga adalah orang melalaikan Hukum Musa. Mereka adalah pelanggar Hukum dan Peraturan Yahudi karena orang Samaria membangun tempat ibadah sendiri untuk menyaingi Bait Allah di Yerusalem. Orang Yahudi menganggap bahwa memakan roti orang Samaria sama dengan makan daging babi. Bahkan orang Yahudi berdoa supaya orang Samaria tidak masuk ke dalam hidup kekal.

Nama Samaria diberikan kepada penduduk campuran yang dibawa oleh Raja Asyur atau Assyria, Esarhaddon (2Raja 19:36-38)(677 BC) dari Babilonia dan tempat-tempat lain serta ditempatkan di kota-kota Samaria (Israel Utara) menggantikan penduduk asli yang telah dipindahkan ke pembuangan (2Raja 17:24; Ezra 4:2,9,10) oleh Raja Sargon (721 BC). Orang-orang asing ini membaur dengan orang Yahudi yang masih tertinggal dan dengan perlahan namun pasti meninggalkan penyembahan berhala lama mereka dan mengadaptasi sebagian agama Yahudi. Setelah kembali dari pembuangan, orang Yahudi di Yerusalem tidak mengizinkan mereka untuk mengambil bahagian dalam pembangunan kembali Bait Allah yang mengakibatkan permusuhan terbuka antara keduanya. Orang Samaria lalu membangun Bait Allah saingan di gunung Gerizim, yang kelak dimusnahkan oleh Raja Yahudi pada tahun 130 BC. Kemudian mereka membangun lagi yang lain di Sikhar. Permusuhan yang pahit antara orang Yahudi dan Samaria berkelanjutan hingga di masa Tuhan Yesus "Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria" (Yohanes 4:9) Tuhan Yesus sendiri pernah diejek sebagai orang Samaria (Yohanes 8:48).

Dengan latar belakang itulah orang Samaria tersebut menganggap dirinya tidak layak menerima penyembuhan tersebut seperti Rasul Paulus yang menyatakan bahwa ia tidak layak menerima pengampunan Tuhan: "Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.'" (1Timotius 1:15). Hingga tidak heran jika orang Samaria "lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya". Dengan tersungkur bukan saja menyatakan kerendahan hati orang Samaria itu untuk mengakui ketidak- layakannya menerima kesembuhan itu, tetapi juga sekaligus mengakui bahwa Yesus adalah Allah, karena hanya Allah yang patut disembah sambil tersungkur. Itulah sebabnya Tuhan berkata: "Imanmu telah menyelamatkan engkau." (Lukas 17:19). Iman orang Samaria itu telah memberinya kesembuhan fisik sekaligus keselamatan bagi jiwa dan rohnya. Di bulan Thanksgiving ini adakah kita juga mengucap syukur sambil tersungkur kepada Tuhan yang telah menyembuhkan dan menyelamatkan kita dari penyakit dosa?

DOA PERMOHONANNYA DIKABULKAN TUHAN

Sangat menarik sekali jika kita perhatikan bahwa ketika mereka tahu Yesus sedang lewat mereka berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" Dan sekarang setelah orang Samaria disembuhkan ia juga memuliakan Allah dengan suara nyaring. Sekalipun orang Yahudi dan orang Samaria bermusuhan, namun dalam keterkucilan karena kusta mereka bisa bersatu. Hal ini menunjukkan bahwa penderitaan menyebabkan manusia yang bermusuhan bisa bersatu. Penyakit kusta adalah simbol daripada dosa dan dibawah dosa kita semua menjadi satu "Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah," (Roma 3:23). Tuhan yang maha kuasa dan pengasih, bukan saja mendengarkan doa mereka tetapi juga mengabulkan permohonan mereka. Semuanya disembuhkan tanpa kecuali. Tapi sayang hanya seorang, yaitu orang Samaria yang kembali dan mengucap syukur. Di bulan Thanksgiving ini dapatkah ucapan syukur kita senyaring doa permohonan kita kepada Tuhan?

Leluhur bangsa Amerika mengadakan Thanksgiving pertama pada tahun 1621 setelah mereka menuai hasil panen yang pertama. Jadi mereka menghitung berkat Tuhan selama setahun yang sedang berjalan, lalu memanjatkan doa ucapan syukur. Dalam tahun ini ada berapa banyak doa permohonan kita yang didengar dan telah dikabulkan Tuhan? Marilah kita memghitung berkat-Nya seperti syair yang ditulis oleh Johnson Oatman Jr.: "Berkat Tuhan, mari hitunglah, kau 'kan kagum oleh kasih-Nya. Berkat Tuhan mari hitunglah, kau niscaya kagum oleh kasih-Nya" (Nyanyian Kidung Jemaat No. 439)

Kita terlalu sering dirasuk dengan banyak doa permohonan yang tak habis-habisnya sehingga kita tidak punya waktu untuk menghitung berkat-Nya sepanjang tahun ini. Marilah di bulan Thanksgiving ini kita mau berhenti sejenak, menghitung doa-doa permohonan kita yang sudah dikabulkan Tuhan setahun ini:


Sudahkah kita mengucap syukur untuk semuanya itu seperti yang dilakukan oleh orang Samaria tersebut?

Sangat jelas dalam peristiwa itu Tuhan menghendaki agar kita dapat menjadi anak-anak-Nya yang tahu mengucap syukur sebagai orang percaya serta yang telah diselamatkan dan diberkati-Nya. Jelas juga Tuhan kecewa dengan kesembilan orang kusta Yahudi itu yang tidak kembali untuk bersyukur pada-Nya. Itulah sebabnya Ia bertanya: "Di manakah yang sembilan orang itu?" Kita yang telah menerima kasih, karunia, keselamatan, dan semua berkat rohani dari Allah tidak boleh lupa untuk mengucap syukur kepada-Nya. Apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita dan keluarga serta gereja, khususnya di tahun ini seharusnya mendorong kita untuk datang kepada-Nya dengan hati yang penuh syukur. Kiranya Tuhan menolong kita meneladani orang Samaria yang tahu mengucap syukur itu.

Sumber: Newsletter GKI Monrovia, Edisi November 2002
==> http://www.gki.org/article/

e-JEMMi 47/2003