Penyesuaian dalam Misi

Masalah penyesuaian sebenarnya sudah ada sejak awal sejarah misi. Misionaris perintis yang ada di ladang misi harus bergelut dengan masalah ini sejak awal. Dia akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru semampu mungkin -- mendirikan rumah yang serupa, makan makanan yang sama, mempelajari bahasa mereka, dan menghormati adat-istiadat dan kebiasaan mereka. Dia akan berperilaku seperti halnya salah seorang dari mereka. Akan tetapi, semua penyesuaian itu hanya sementara sifatnya, tidak permanen. Sebagai contoh, seorang penginjil mengamati beberapa orang biasanya membicarakan masalah-masalah keagamaan hanya di malam hari dengan menggunakan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh semua orang dengan baik. Dalam kasus tersebut, mungkin misionaris itu akan ikut dalam diskusi tersebut dengan bahasa yang sama, meski ia menyadari keesokan harinya ia akan menginjili dengan bahasa umum masyarakat setempat.

Penyesuaian diri pada pendekatan pertama biasanya tidak membahayakan penginjil. Ia bisa dengan leluasa beradaptasi. Namun, situasinya akan berbeda saat sekelompok orang Kristen mulai berkumpul. Masalah penyesuaian diri adalah sesuatu yang sangat penting bagi mereka. Jika mereka kebablasan dalam menyesuaikan diri, mereka akan terseret arus penyembahan berhala. Namun, jika mereka kurang menyesuaikan diri, mereka tidak akan mampu menjembatani celah antara mereka dan sesama.

Karena itu, untuk melakukan penyesuaian diri dengan tepat, kita harus mengenal beberapa jenis penyesuaian.

Johann Thauren membedakan enam tipe penyesuaian yang berbeda.

  1. Eksternal

    Penyesuaian ini berkaitan dengan hal-hal seperti pakaian dan kesopanan. Penyesuaian ini biasanya dilakukan oleh misionaris asing.

  2. Linguistik

    Penyesuaian ini harus dilakukan oleh misionaris yang harus menyesuaikan dirinya dengan bahasa di mana ia menginjili.

  3. Estetis

    Ini menyangkut masalah pembangunan gereja serta dekorasi dan liturginya.

  4. Sosial dan Hukum

    Hal ini berkaitan dengan kebiasaan sosial, pernikahan, poligami, mahar, dan institusi hukum.

  5. Intelektual

    Sejauh mungkin, gereja harus memanfaatkan literatur-literatur filosofi dan himne-himne rohani, setidaknya sampai pada tingkat nilai-nilai yang diusung dari bahan-bahan tersebut.

  6. Rohani dan Etika

    Dengan menghargai beberapa hal, seperti sikap doa, perayaan, dan hari libur keagamaan, kita bisa memanfaatkan apa yang ada.

Ketika ditanya adat-istiadat apa yang bisa diadaptasi dan yang tidak, Thauren menjawab dengan jelas bahwa beberapa adat bertentangan dengan iman Kristen, seperti penyembahan berhala, sihir, dan sejenisnya. Tentu saja kita tidak bisa mengadaptasinya. Tapi untuk hal lain, seperti kesederhanaan dalam berpakaian dan kesopanan, tidak menjadi masalah bagi kita untuk mengadaptasinya. Yang paling sulit adalah mengadaptasi kebiasaan yang tidak berbahaya, namun di bawah pengaruh pemberhalaan, misalnya keberadaan kasta di India. Dan kebiasaan yang sebenarnya netral, namun bertentangan dengan aturan gereja, seperti memakai topi selama ibadah.

Untuk membantu kita menentukan mana yang bisa kita adaptasi atau tidak, mungkin kita harus memerhatikan beberapa hal. Kita dapat berusaha menentukan sejauh mana adat dan kebiasaan menopang nilai-nilai pemberhalaan. Apakah suatu kebiasaan nampak jelas berada dalam lingkup pemberhalaan? Beberapa kebiasaan masih sangat dekat dengan esensi pemberhalaan dan karena itu harus ditolak. Namun, ada juga kebiasaan lain yang telah jauh dari esensi pemberhalaan, dan meski secara emosional kebiasaan itu masih memiliki nilai-nilai agama, namun kebiasaan itu telah menjadi sejenis institusi sosial. Kebiasaan ini tidak perlu ditolak mentah-mentah. Dalam praktiknya, tidak mudah untuk memutuskan, namun kedekatan suatu kebiasaan dengan pemberhalaan menciptakan suatu acuan yang memungkinkan kita untuk melayani dengan kompetensi dan hikmat.

Untuk itu, coba perhatikan tiga pertimbangan berikut.

  1. Banyak tradisi para penyembah berhala biasanya memiliki fungsi ganda: fungsi agama dan sosial. Sebagai aturan, keduanya tidak beda jauh, karena kehidupan beragama tidak dirasa sebagai hubungan pribadi antara individu dengan Allahnya. Kehidupan beragama lebih banyak dipandang sebagai sikap kolektif suku bangsa atau orang-orang berkenaan dengan kuasa ilahi, yang dengannya ada semacam hubungan dekat, karena setiap orang adalah bagian dari kumpulan orang-orang suci. Di sisi lain, kehidupan sosial tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang di luar pemikiran agama. Suatu suku atau bangsa menyadari bidang sakral dalam kehidupan sosialnya. Kebiasaan yang mendominasi kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari dasar kepercayaan mereka.

    Kebiasaan tertentu sangat didominasi oleh agama sehingga mustahil untuk memandang sosial sebagai elemen yang terpisah. Dan kebiasaan lain sangat memasyarakat (sosial) sehingga agama yang mengikat kebiasaan itu menjadi sangat lemah. Selanjutnya sangatlah tepat bagi gereja perintisan, yang tidak ingin meninggalkan persekutuan yang erat dengan masyarakatnya, untuk sebisa mungkin berpartisipasi dalam tradisi tersebut. Agar orang Kristen tidak memutuskan ikatan dengan sesama non-Kristen, mereka tidak perlu buru-buru menolak untuk ikut dalam pertemuan panen raya dan kegiatan sejenisnya yang melibatkan seluruh masyarakat. Di saat seperti ini, orang Kristen mengalami dilema karena jika dia tinggal dalam masyarakat, pada level tertentu, dia harus selalu berhubungan dengan penyembah-penyembah berhala, karena jika dia ingin menghindarinya, dia harus "meninggalkan dunia ini" (1 Korintus 5:10).

    Dalam Perjanjian Baru terbukti bahwa masalah ini juga sudah terjadi pada era gereja mula-mula (2 Korintus 6:14). Paulus memperingatkan "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" Jelas pada era gereja mula-mula Perjanjian Baru, berbagai macam orang menduduki status sosial yang menonjol. Bendahara Korintus, Erastus, nampaknya adalah orang Kristen (Roma 16:23), begitu juga dengan beberapa orang yang bekerja di istana Kaisar (Filipi 4:22). Orang-orang tersebut setiap hari diperhadapkan dengan satu pertanyaan, apakah mereka bisa mempertahankan keyakinan mereka karena setidaknya tempat di mana mereka bekerja mengharuskan mereka menyaksikan banyak praktik penyembahan berhala. Atau tetap bertahan sebagai orang Kristen, tetap melayani dan berhati-hati supaya tidak merusak ikatan sosial?

    Menarik garis pembatasnya sangat sulit. Pada umumnya, bisa dikatakan bahwa sangat penting bagi gereja baru untuk tidak memutuskan secara radikal ikatan dan hubungan dengan masyarakat non-Kristen. Jika hubungan tersebut terputus, maka akan terjadi penurunan kekuatan misi secara serentak. Aliran Injil tidak bisa mengalir.

  2. Gereja yang baru berdiri biasanya memiliki penilaian yang lebih baik mengenai masalah ini. Ada banyak contoh dalam sejarah misi di mana para misionaris berpikir bahwa para pemuda Kristen bisa terus terlibat dalam berbagai tradisi, sementara mereka sendiri menunjukkan sikap penolakan. Ada juga contoh yang sebaliknya. Pada umumnya, misionaris Barat tidak memahami efek dari tradisi tersebut bagi pemuda Kristen. Namun, bagi pemuda Kristen yang menjadi bagian kebudayaan, situasinya sangat berbeda. Seorang misionaris mungkin dapat menikmati musik penyembahan berhala, namun hal itu sangat berbahaya bagi pemuda Kristen. Beberapa pemuda Kristen lokal Indonesia mengakui bahwa musik kuno dapat membawa mereka kembali ke dunia pemberhalaan, dan karena itu mereka harus memnghindarinya. Efek yang sama juga dapat muncul dari tradisi lain yang nampaknya biasa-biasa saja. Untuk hal ini, adalah hal yang bijak untuk membiarkan orang-orang Kristen lokal membuat keputusan sendiri mengenai masalah ini.

    Dalam konteks sekarang, kita juga harus mempertimbangkan fakta bahwa orang-orang yang baru bertobat sangat khawatir mengadopsi adat kebiasaan misi dan memutuskan hubungan dengan tradisi nenek moyangnya. Jika mereka terlalu diasingkan dari tradisi nenek moyangnya untuk menyesuaikan diri dengan tradisi yang dibawa misionaris (tradisi Barat misalnya), efeknya akan menjadi tidak baik bagi upaya penginjilan. Berdasar kehidupan barunya dalam Yesus Kristus, sebuah gereja baru harus berusaha mendapatkan bentuknya sendiri, bentuk yang sesuai dengan gaya lingkungan di mana ia berada.

  3. Istilah "penyesuaian" tidak tepat menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Istilah ini menunjuk pada penyesuaian diri kepada tradisi dan kebiasaan yang asing terhadap Injil. "Penyesuaian" mengonotasikan suatu hasil penyangkalan, pemotongan. Oleh sebab itu kami lebih suka menggunakan istilah "possessio" yang berarti memiliki. Kehidupan Kristen tidak menyesuaikan atau pun mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan para penyembah berhala, tapi memilikinya dan kemudian memperbaruinya. "Barangsiapa di dalam Kristus, dia adalah ciptaan baru". Dalam kerangka kehidupan non-Kristen, adat dan kebiasaan memiliki kecenderungan mendorong orang menyembah berhala dan menjauh dari Allah. Kehidupan Kristen mengambil mereka dan membawa mereka kembali pada arah yang berbeda. Meskipun secara eksternal mereka masih serupa dengan masa lalunya, dalam kenyataannya sesungguhnya mereka sudah menjadi baru, yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang. Kristus menguasai kehidupan orang, Dia memperbarui dan membangun kembali orang-orang yang penuh cela; Dia memenuhi setiap hal, kata, dan kebiasaan dengan pengertian baru dan memberinya arah yang baru. Hal seperti itu bukan "adaptasi" atau juga "penyesuaian"; hal itu berbicara tentang kepemilikan sah akan sesuatu oleh Dia yang kepada-Nya diberikan kuasa atas surga dan bumi. (t/Setya)

Diringkas dan diterjemahkan dari:

Judul buku : An Introduction to the Science of Missions
Judul bab : The Threefold Aim
Judul asli artikel : Accomodation
Penulis : J. H. Bavinck
Penerbit : Presbyterian and Reformed Publishing Co, New Jersey 1960
Halaman : 169 -- 179

e-JEMMi 07/2009