You are hererenungan / Ekspektasi Tuhan dan Ekspektasi Manusia

Ekspektasi Tuhan dan Ekspektasi Manusia


By suwandisetiawan - Posted on 02 April 2019

Jika saya bertanya, manakah yang lebih sulit, memenuhi ekspektasi Tuhan atau ekspektasi manusia? Apakah jawaban Anda? Dulu, saya merasa bahwa memenuhi ekspektasi Tuhan sangatlah sulit, bahkan mustahil. Namun, ada satu peristiwa yang mengubahkan pandangan saya.

Saat saya mulai bekerja pada sebuah bisnis keluarga yang dirintis oleh ayah saya, saya diharuskan menghabiskan lebih banyak waktu bersama beliau. Saya bertemu dengannya di kantor maupun di rumah. Ayah saya berpembawaan dominan dan koleris, dengan cara respon alami menyerang. Sementara, karakter saya melankolis koleris. Tak pelak, perbedaan pola pikir dan gaya merespon kami menimbulkan banyak perselisihan tajam. Tak jarang perselisihan itu membuat saya menangis.

Pada suatu ketika, terjadi sebuah konflik dengan klimaks yang tajam. Peristiwa itu membuat saya berpikir, betapa tidak mudahnya memenuhi ekspetasi seseorang. Padahal, orang itu adalah ayah saya sendiri. Yang saya rasakan, ayah saya mengasihi dan menyayangi saya HANYA JIKA saya memenuhi ekspetasinya dan melakukan hal-hal yang menyenangkan hatinya.

Peristiwa itu membuat saya berpikir, ternyata memenuhi ekspektasi manusia juga sulit. Lalu, apa yang membuat kita seringnya cenderung berjuang untuk memenuhi ekspektasi manusia daripada ekspektasi Tuhan?

1. Kita Tidak Memahami Kasih Tuhan Sepenuhnya

Mazmur 145:8 – Tuhan itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setiaNya.

Apakah kasih sayang Tuhan kepada saya berkurang saat saya tidak taat kepada-Nya? Atau saat sedang tidak konsisten dalam kerohanian dan kurang banyak melayani-Nya? Apakah Tuhan lebih mengasihi saya ketika saat teduh saya konsisten? Ketika saya sedang mengalami banyak kemenangan demi nama-Nya?

Ternyata inilah yang gagal saya pahami. Kasih sayang Tuhan tidak pernah berubah. Kasih-Nya kekal dan abadi, tidak naik turun mengikuti emosi dan juga tidak bersyarat.

Pernahkah Anda melihat orang-orang yang berlomba-lomba mengambil hati atasan di tempat kerja? Mereka rela melakukan lebih agar dapat menjadi orang kepercayaan atasannya. Tak jarang, mereka sampai mengorbankan hal-hal lain yang penting untuk memenuhi ekspektasi sang atasan. Tetapi, ada juga orang-orang yang sudah berusaha mati-matian, tetapi seakan tidak pernah cukup bagi atasan atau rekan kerja mereka.

Bukankah lebih sulit memenuhi ekspektasi manusia daripada memenuhi ekspektasi Tuhan? Ekspektasi manusia seringkali di luar nalar, sulit dijangkau, dan berubah-ubah. Banyak syarat dan ketentuan untuk dapat dipandang cukup baik oleh seseorang. Namun, ekspektasi Tuhan? Sudah dinyatakan-Nya dengan jelas dan tidak pernah berubah. Ekspektasi Tuhan kepada kita didasarkan oleh kasih dan kepercayaan-Nya kepada kita. Dia menginginkan yang terbaik untuk kita.

2. Kita Lebih Suka Mendapat Hormat Manusia daripada Kehormatan Tuhan

Di Yohanes 12:43, firman Tuhan mengatakan, “Sebab mereka lebih suka kehormatan manusia daripada kehormatan Tuhan.” Saya teringat kisah Saul ketika berada dalam situasi terdesak saat menghadapi bangsa Filistin (1 Samuel 13). Saat itu Nabi Samuel belum datang dan dalam ketakutannya, Saul mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan yang bukan haknya.

Tetapi kata Samuel, “Apa yang kau perbuat?” Jawab Saul; “Karena aku melihat rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku….” (1 Samuel 13:11) Saul tidak ingin kehilangan rakyatnya dan melanggar perintah Tuhan karena ingin menyenangkan hati orang-orang.

Yang membuat kita seringkali gagal memenuhi ekspetasi Tuhan adalah karena kita lebih suka kehormatan manusia daripada kehormatan Tuhan. Mungkin kita takut ditinggalkan teman-teman atau orang-orang yang kita sayangi. Mungkin kita takut tidak disukai, dianggap sok suci, dan diolok-olok jika kita lebih peduli akan perintah Tuhan. Kita pun berkompromi. Mengetahui apa yang benar, tetapi tidak berani mengambil tindakan yang benar. Kita lebih memikirkan ekspektasi manusia daripada ekspektasi Tuhan.

Letakkan Ekspetasi Anda Kepada Tuhan

Bagaimana dengan ekspektasi saya sendiri? Pada suatu titik di dalam perjalanan hidup saya, saya akhirnya mengerti bahwa ekspetasi saya di dunia ini tidak ada yang abadi. Rencana-rencana dan keinginan saya di dalam hidup tidak sepenuhnya berada di dalam kontrol saya. Di dalam hubungan, saya melihat bagaimana sahabat yang saya kasihi menjadi orang yang berbeda di kemudian hari. Hubungan di antara kami pun berubah. Padahal, saya berharap dapat seterusnya menjadi sahabat bagi satu sama lain.

Saat saya menaruh ekspektasi saya bukan kepada Tuhan, saya akan mengalami kekecewaan, sakit hati, bahkan kepahitan. Namun, apakah itu artinya kita tidak perlu mempunyai ekspektasi dan mempercayai orang lagi? Saya percaya tidak demikian. Tentu saja penting untuk kita mempunyai gol dan pengharapan dalam pekerjaan, dalam hubungan, maupun dalam cita-cita. Tetapi, saya perlu mengingat untuk selalu menyerahkan ekspektasi-ekspektasi saya ke dalam tangan Tuhan saja.

Berharaplah kepada Tuhan, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya! (Mazmur 131:1)

Berbahagialah orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada Tuhan, Allahnya. (Mazmur 146:5)

Source : https://gkdi.org/blog/ekspektasi/

Tags