KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DALAM PELAYANAN
Apakah Anda pernah menjumpai seorang yang tidak bersedia mendengar
ketika Anda memberitakan Injil? Pernahkah Anda merasa frustrasi
dengan seorang yang tidak mau mengerti atau sulit mengerti sekalipun
penyampaian Anda sudah jelas? Atau, apakah Anda pernah bahkan
sekarang ini sedang kesal karena melihat orang yang Anda layani
belum juga mengambil keputusan untuk berubah? Jika ya, berarti Anda
sedang berurusan dengan masalah komunikasi.
Komunikasi? Bukankah itu sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan? Nah,
justru di sinilah persoalannya, yakni ketika Anda merasa komunikasi
tidak perlu dipersoalkan.
Komunikasi sering dipahami sebagai sesuatu yang biasa saja, sama
seperti sistem peredaran darah dalam tubuh dan sistem pernafasan.
Tetapi ketika yang "biasa" itu mengalami gangguan, barulah orang
sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan sesuatu yang menentukan,
mati atau hidup, sesuatu yang vital.
Komunikasi merupakan bagian yang sangat vital dalam berhubungan
dengan orang lain. Begitu banyak persoalan yang muncul di tengah
kehidupan manusia gara-gara masalah komunikasi. Kesalahpahaman telah
menimbulkan masalah-masalah sekunder seperti sakit hati, kecewa,
marah, bahkan pembunuhan. Begitu juga dalam pelayanan gerejawi.
Tidak jarang terjadi, hanya karena masalah komunikasi, gereja pecah,
iman menjadi luntur, orang tidak mengerti, satu dengan lainnya
menjadi tersinggung, dan sebagainya.
Tetapi berapa banyak di antara kita yang telah sadar dan mulai
membenahi komunikasi dan sistem komunikasi agar pelayanan kita bisa
efektif, dan lebih dari itu, memuliakan nama Tuhan? Memang
keberhasilan suatu pelayanan pekerjaan ditentukan oleh Allah sendiri
melalui kuasa Roh Kudus. Namun demikian, kita juga diberi tanggung
jawab dalam pelayanan oleh-Nya. Rasul Paulus adalah orang yang
sangat bergantung kepada kuasa Roh Kudus dalam pelayanannya, namun
sebagai hamba Tuhan yang bersungguh-sungguh ia "berusaha meyakinkan
orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani" tentang Injil (Kisah Para
Rasul 18:4).
"Berusaha meyakinkan" Injil kepada orang lain merupakan usaha untuk
mengomunikasikan firman Tuhan kepada orang lain. Allah sudah
menyediakan Injil yang berkuasa mengubah hati orang. Kita tinggal
mengomunikasikan Injil itu kepada orang lain. Kalau Injil itu
sampai, hati orang akan berubah; bukan karena usaha kita, tetapi
karena kuasa Firman itu.
PENGERTIAN
Kalau Si Andi dan Si Susi sedang bercakap-cakap, kita akan
berkomentar bahwa mereka sedang berkomunikasi. Pengertian yang
sederhana ini membuat kebanyakan orang beranggapan bahwa semua orang
dapat berkomunikasi tanpa diajar dan tanpa belajar.
Sebenarnya, istilah komunikasi dalam bahasa Latin (comunicare)
berarti "kesamaan". Berkomunikasi berarti kedua pihak ikut terlibat
di dalam usaha mencari kesamaan. Dengan demikian, komunikasi itu
lebih dari sekadar berkhotbah, berceramah, berbicara, dan
sebagainya.
Kesamaan itu dapat berupa rasa kesamaan daerah atau suku, juga rasa
sepenanggungan, seperasaan, sepikir, sehati, sejenis. Kesamaan
tersebut akan membesar jika keduanya berusaha memahami latar
belakang keluarga, budaya, dan pendidikan masing-masing. Semakin
besar kesamaan di antara dua orang yang berkomunikasi, semakin
memungkinkan keduanya untuk efektif dalam berkomunikasi. Dapat
dikatakan bahwa kesamaan itu merupakan jembatan komunikasi.
Kekeliruan kita di dalam berkomunikasi ialah mengabaikan partisipasi
pihak lain. Kita sering merasa tidak perlu untuk memahami orang
lain; yang penting bahwa "kabar baik" ini harus didengar. Benar,
bahwa firman Tuhan itu harus didengar, tetapi bagaimana mereka
mendengar jika pengomunikasiannya sudah salah, yakni tidak
memperhitungkan pihak lain!
Pengomunikasian Injil tanpa memperhitungkan pihak "pendengar`
adalah suatu pemaksaan yang kadang-kadang berbentuk manipulasi.
Yesus adalah komunikator yang agung. Ia memahami keadaan manusia
(Yohanes 2:25). Ia, tahu setiap orang adalah berdosa dan membutuhkan
Juruselamat (Lukas 5:30-32). Yesus berjalan bersama dengan orang-
orang berdosa, berbicara dengan mereka, dan ikut merasakan apa yang
mereka rasakan. Ia mendatangi orang-orang itu di pinggir jalan, di
ladang, di pesta pernikahan. Ia betul-betul mengenal audience-Nya.
AUDIENCE ORIENTED
Dr. Charles H. Craft, mahaguru di bidang Antropologi dan Komunikasi
Antarbudaya dari Fuller Theological Seminary, Amerika Serikat,
mengemukakan bahwa Alkitab kita tidak hanya berisi berita yang baik
dan menyelamatkan, tetapi juga berisi metode penyampaian berita itu.
Allah tidak hanya memikirkan apa yang harus disampaikan tetapi juga
metode untuk menyampaikannya.
Kita sering terjebak ke dalam "message oriented". Kita mengutamakan
berita itu dengan beranggapan bahwa firman Tuhan adalah seperti
pedang yang bisa mengoyakkan hati orang ketika mendengarkannya.
Memang keyakinan kita yang demikian tidaklah salah, namun kalau
hanya memandang demikian, kita menjadi berat sebelah.
Kedatangan Yesus ke dalam dunia merupakan metode Allah untuk
berkomunikasi dengan manusia. Allah mempunyai berita, pesan, firman
yang harus disampaikan kepada manusia. Tetapi Ia juga tidak
mengabaikan metode penyampaiannya. Cara Tuhan menyampaikan firman
kepada manusia pun beraneka ragam. Kepada Adam dan Hawa, Allah
menyampaikan perintah-Nya dengan suara yang jelas. Kepada Raja Daud,
Allah menegur melalui Nabi Natan dengan sindiran yang tegas dan
keras. Kepada orang banyak, Yesus banyak menyampaikan perumpamaan-
perumpamaan. Dan itu baru sebagian dari cara Tuhan kita
berkomunikasi.
Tetapi di balik semua metode yang kreatif itu, Yesus memulai dari
pengenalan dan pemahaman mengenai manusia yang dihadapi-Nya. Berita
yang disampaikan-Nya selalu berorientasi kepada kebutuhan audience-
Nya. Perhatikanlah bagaimana Ia mendekati perempuan Samaria
sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab Injil Yohanes pasal 4. Yesus
tidak mulai dengan "message" atau berita atau firman yang hidup itu.
Memang Kabar Baik itulah yang menjadi kebutuhan utama wanita Samaria
tersebut. Itu juga yang menjadi kebutuhan yang sebenarnya (real
need) dari manusia. Tetapi dalam pendekatan-Nya, Yesus mulai dengan
apa yang dirasakan (felt need) perempuan Samaria itu. "Berilah Aku
minum" adalah kata-kata pembukaan Yesus ketika Ia mendekati
perempuan Samaria itu pada waktu terik matahari di pinggir sumur
Yakub. Kalimat itu tidak sekadar menyatakan bahwa Yesus membutuhkan
air minum, tetapi kata-kata itu bisa juga berarti "Aku mau
bersahabat denganmu". Ungkapan ini sungguh menggetarkan hati
perempuan Samaria itu. Sebab baginya tidak mungkin seorang Yahudi
mengungkapkan kata-kata seperti yang Yesus ucapkan kepada seorang
Samaria.
Pendekatan Yesus kepada perempuan Samaria langsung menyentuh
kebutuhannya. Rupanya wanita Samaria itu merasa tertolak oleh kaum
Yahudi yang, sebagaimana kebanyakan kita, tidak senang dengan sikap
penolakan oleh orang lain. Manusia membutuhkan penerimaan dan
pengakuan orang lain. Ia akan merasa tidak aman kalau ditolak. Nah,
Yesus mengetahui keadaan ini. Karena itu, Ia mulai dengan suatu
sikap bersahabat, "Berilah Aku minum."
Komunikasi dikatakan sukses bila pihak lain (dalam hal ini pendengar
atau audience, ada juga yang mengistilahkannya dengan komunikan),
mengerti maksud kita sebagai pembawa pesan (komunikator) dan
bertindak sesuai dengan keinginan kita terhadapnya. Namun untuk
sampai kepada taraf itu, kita harus mulai memahami kebutuhan
audience.
Bahan diambil dan diedit dari sumber:
Judul MAjalah | : | Sahabat Gembala, Juli 1992 |
Judul Artikel | : | Komunikasi yang Efektif Dalam Pelayanan |
Penulis | : | Yopie F.M Buyung |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung |
Halaman | : | 65 - 68 |
|